Entah mengapa, saya selalu terdorong untuk menuliskan suatu pesan pada setiap hari raya suci umat Islam. Bagi saya Islam itu indah dan keindahannya senantiasa menarik segala sesuatu untuk berada di dekatnya. Saya adalah salah satu penikmat keindahannya yang selalu mengantar aku menikmati kedalamannya tanpa harus merontokkan iman kekatolikan saya.
Hari ini pada kelender tercatat tanggal merah yang berarti hari libur nasional. Pada hari ini umat Islam memperingati Tahun Baru Islam 1 Muharam 1445 Hijriyah. Pada hari ini juga hampir setiap media sosial bertaburan ucapan-ucapan kepada saudara-saudara kita yang merayakannya. Rasa-rasanya Indonesia perlahan-lahan meskipun dengan merangkak memperbaiki kualitas toleransi.
Sebagai tahun baru umat Islam, hari raya ini memiliki kekayaan makna berdasarkan cara pandang makna umat Islam. Dalam tulisan ini saya mengambil satu makna seperti yang diuraikan dalam https://sditattaubahbatuajibatam.sch.id/. Tahun baru 1 Muharram bagi umat Muslim pada tahun baru Hijriyah mengandung semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa optimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal yang baik ke yang lebih baik lagi. Rasulullah SAW dan para sahabatnya telah melawan rasa sedih dan takut dengan berhijrah. Hijrah mengandung semangat persaudaraan, seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW saat beliau mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar.Â
Bahkan beliau telah membina hubungan baik dengan beberapa kelompok Yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya pada waktu itu (https://sditattaubahbatuajibatam.sch.id/).
Kedalaman makna ini sesungguhnya melintasi sekat keberagaman kita. Indonesia sebagai sebuah bangsa yang majemuk mestinya menarik makna simbol keagamaan tertentu yang meskipun berbeda namun bermakna kemanusiaan universal untuk dipraktekkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Teladan Nabi Muhamad di atas sesungguhnya amat relevan bila dikorelasikan dengan kondisi politik nasional saat ini.
Menjelang Pemilu 2024 banyak muncul persoalan politik di tanah air. Narasi-narasi hoax, data palsu, politik ekstrem, hujatan, radikalisasi agama, dan teriakan rasis sering dipresentasikan secara telanjang di hadapan publik. Kekejian ini dilakukan secara berulang-ulang untuk mencederai lawan politik. Dosa-dosa politik ini terasa seperti sebuah habitus baru dalam wajah perpolitikan kita dan kita mngamininya sebagai sebuah proses kematangan demokrasi. Miris, bila demokrasi dijadikan sebagai senjata untuk mematikan sesama yang lain.
Hari raya tahun baru umat islam adalah kesempatan untuk memperbaiki kesemrawutan politik kita. Sebagaimana Sang Nabi melakukan hijrah dari Makkah menuju ke Madinah yang diabadikan dalam catatan sejarah sucinya, demikian kita mestinya mengambil hikmah tahun baru ini sebagai sebuah hijrah dari politik busuk kepada politik yang berakhlak dan bermartabat.
Hari ini di atas  momen introspeksi diri atau muhasabah, kita mesti bersepakat bahwa sengketa politik adalah kewajaran yang dibangun di atas rivalitas yang berkualitas dan bukan demonstrasi sentimental dan agresivitas yang destruktif.
Perlu kita sadari bahwa kita tengah membangun bangsa ini menjadi sebuah tempat hunian yang layak bagi anak cucu kita. Oleh karenanya peradaban kemanusiaan adalah keniscayaan yang perlu kita bangun sejak saat ini.
Saya membayangkan betapa rusaknya sekian generasi kita mendatang ketika hidup dalam budaya politik yang ditata atas nama kebencian. Kita perlu jujur dengan realitas saat ini bahwa yang dipertandingkan dalam politik sesungguhnya adalah agama, ras, suku, keluarga, status sosial, pertikaian fisik, hoaks, fitnah dan marginalisasi lawan. Fakta ini sebenarnya menelanjangkan kemaksiatan politik kita di negara-negara tetangga, bahkan di dunia internasional. Cara membangun peradaban seperti ini tidak bisa diteruskan karena anak-anak kita atau generasi muda akan melihat dan menirunya. Sebuah pembelajaran politik yang mengabsenkan kehadiran moralitas.
Hari raya ini sejenak kita disentuh oleh Sang Nabi tentang bagaimana membangun tali persaudaraan. Beliau menjadikan kaum Muhajirin dan kaum Anshar sebagai saudara. Bahkan beliau membina hubungan baik dengan beberapa kelompok Yahudi. Persaudaraan lintas sekat. Cara seperti ini mesti diteladani dalam praktek politik kita. Politik menegasikan perbedaan, karena itu perbedaan bukan alasan untuk pertengkaran politik. Politik justru memaklumkan persahabatan dan persaudaraan.
Di hari raya ini, kita mestinya bersepakat untuk 'lahir ulang' dan membaharui diri. Cara berpolitik yang usang dan penuh dosa mesti ditinggalkan di hari ini. Kita memulainya dengan cara yang elegan dan berakhlak ketika harus berkonfrontasi dengan sikap politik yang berbeda sekalipun. Dalam konsep agonisme politik, yang dipertandingkan adalah kemampuan intelektual, kematangan emosional, moralitas, visi/misi, dan kebijakan. Mari kita memulainya dengan cara ini di hari yang berahmat ini. Selamat Tahun Baru Islam 1 Muharam 1445 H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H