Perlu diakui pada awal tulisan ini bahwa koperasi merupakan pilar perekonomian Indonesia. Sejauh ini koperasi digunakan oleh masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Melalui koperasi masyarakat menyimpan modalnya, meminjam, dan membangun usaha-usaha. Dampak koperasi begitu nyata sehingga tidak mengherankan apabila animo masyarakat untuk mendirikan koperasi sangat tinggi.
Meningkatnya kuanititas koperasi diimbangi dengan harapan bahwa koperasi baru tersebut berkembang hingga bisa memberikan kesejahteraan kepada anggota. Oleh karena itu, koperasi membutuhkan keterlibatan semua pihak baik manajemen, pemerintah, pengurus, dan para anggotnya untuk menjaga dan mengelola koperasi dengan baik agar tetap eksis dari waktu ke waktu.
Alih-alih menjaganya, koperasi justru dihancurkan oleh anggotanya sendiri. Anggota koperasi berkontribusi atas persoalan portopolio at risk (PAR) yang tengah melanda hampir setiap koperasi kredit di Indonesia. PAR merupakan suatu ratio untuk mengukur pinjaman yang tertunggak yang diukur dari jumlah saldo pinjaman yang menunggak dengan realisasi saldo pinjaman.Â
Perosalan PAR yang tengah melanda koperasi bisa ditengarai karena dampak Pandemi Covid-19 yang meluluhlantakkan setiap sendi ekonomi masyarakat. Pada masa Pandemi dan Pasca-Pandemi banyak kredit macet di banyak koperasi kredit. Jumlah anggota yang mengalami wanprestasi pun kian menigkat. Banyak pinjaman yang dinyatakan lalai. Â
Persoalan portofolio at risk (PAR) telah menjadi hal yang sangat urgen di dalam Gerakan Koperasi Kredit Indonesia (GKKI. Dalam setiap Rapat Akhir Tahun (RAT), Â masalah PAR selalu didiskusikan dalam ruang rapat hampir di setiap koperasi kredit (kopdit). Hal ini penting karena PAR sangat berpengaruh terhadap maju-mundurnya sebuah koperasi kredit. Di lain pihak, berdasarkan standar akuntansi keuangan, apabila suatu badan usaha keuangan memiliki tingkat PAR lebih dari 10%, maka badan usaha keuangan itu sudah dinyatakan tidak sehat.
Apabila hal ini tidak tertangani secara serius, maka kopdit-kopdit berpotensi gulung tikar. Oleh sebab itu, tingkat PAR yang tinggi, bukan saja mengakibatkan kopdit tidak mampu melunasi kewajiban-kewajiban keuangan kepada anggota tetapi hal ini akan mengakibatkan kebangkrutan kopdit.
PAR bukan sebuah masalah yang sepeleh untuk koperasi kredit dan karena itu harus dilihat sebagai sebuah masalah. Koperasi kredit mestinya melihat masalah ini sebagai masalah urgent yang mau tidak mau harus segera diatasi sebab apabila koperasi kredit tidak segera mencari solusi dalam menangani PAR yang cenderung meningkat maka sesungguhnya koperasi kredit tersebut sedang menggali "liang kubur"nya sendiri. Jika demikian adanya maka koperasi kredit sedang menguburkan impian masa depan ribuan bahkan mungkin jutaan anggota yang telah menginvestasi masa depan mereka pada koperasi kredit.
Mengacu pada ulasan di atas maka perlu diakui bahwa PAR pertama-tama disebabkan oleh anggota. Kualitas kedispilinan anggota koperasi kredit dalam mengembalikan pinjaman sangat lemah. Oleh karena itu upaya mengatasi masalah ini harus dimulai dari mengevaluasi dan memperbaiki tingkat kesadaran anggota koperasi kredit melalui proses-proses pemberdayaan.
Memberdayakan anggota koperasi dalam mengatasi PAR dilakukan dengan terlebih dahulu menyentuh kesadaran anggota koperasi tentang pengelolaan keuangan atau cerdas keuangan. Cerdas keuangan adalah "kegiatan pendidikan keuangan yang memungkinkan seseorang memproses berbagai informasi keuangan dan memiliki pengetahuan keuangan (Agung, 2012).
Pengetahuan tentang cerdas keuangan diawali dengan memperlihatkan alasan-alasan yang menunjukkan betapa pentingnya cerdas keuangan. Selanjutnya anggota diberikan pemahaman tentang aturan manajemen keuangan pribadi. Aturan-aturan menajemen keuangan ini dapat mengantar seseorang untuk mengembangkan uang yang dimiliki sehingga asetnya terus mengalami pertumbuhan. Setelah memahami aturan manajemen keuangan, selanjutnya anggota dibimbing untuk merencanakan keuangan pribadi atau keluarga (Hurint & Toulwala, 2023).