Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Media dalam Pusaran Ekonomi Politik

20 Juni 2023   07:59 Diperbarui: 21 Juni 2023   01:36 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir sulit ditemukan di negeri ini media (pers) yang independen dan bebas dari kooptasi kepentingan ekonomi dan politik. Baik media skala nasional maupun skala lokal nyaris tak ada yang bebas dari hegemoni ekonomi dan politik. Relasi ini tampak seperti sebuah habitus bagi media, ekonomi kapitalis dan politik. 

Daya cengkeraman hegemoni politik ekonomi yang begitu kuat menyebabkan media mengalami distorsi fungsi. Media sebagai corong informasi dan edukasi masyarakat tampak bias karena sibuk memasarkan kepentingan partikular aktor-aktor yang menghidupinya.

Kalau kita jujur, banyak media main stream di Indonesia yang dimiliki oleh para politisi-politisi ternama. Bukan hanya sebagai politisi, mereka juga masuk dalam deretan konglomerat. 

Ada ruang kemungkinan kepentingan partikular politisi pemegang saham media diperjuangkan oleh media agar terbentuk opini publik. Tidak mengherankan bila hari ini kita melihat media-media main stream seperti TV On*, Metr* TV, MN* TV, dan lainnya yang mempromosikan tokoh-tokoh tertentu.

Terlepas dari media mains stream di atas, yang lebih payah adalah media-media lokal yang rentan terhadap kooptasi aktor politik. Media di mata politisi adalah sarana yang paling mudah untuk menyalurkan pesan politik demi mendapat pengaruh, kekuasaan otoritas, membentuk dan mengubah opini publik atau mendapatkan dukungan dan citra politik dari khalayak yang lebih luas atau yang tidak bisa dijangkau oleh bentuk komunikasi lainnya. Pandangan ini sejurus membuat media menjelma menjadi panggung politik yang bergengsi (Toulwala, 2022).

Di sisi lain, media membutuhkan aliran dana untuk menghidupi dirinya agar survive dari waktu ke waktu. Selain periklanan, media juga kerap mengharapkan sokongan dana dari para pelaku politik dengan kesepakatan-kesepakatan di labirin gelap. 

Praktek politik transaksional semacam ini seolah-olah menjadi sebuah habitus dalam dunia pers. Relasi politik dengan media terbentuk karena memang keduanya saling membutuhkan. Hubungan terlarang yang mendestruksi etika politik sembari menghancurkan status indepedensi media. Ujung-ujungnya media berafiliasi dengan kekuatan politik tertentu.

Baca juga: Ketika

Ilustrasi: tempo.co
Ilustrasi: tempo.co

Di Indonesia hari ini, media-media tampil sebagai 'humas'para pelaku politik. Demikian adanya karena memang media dibayar untuk itu. Para politisi dan komunitas politik cenderung membangun kesepakatan dengan media-media untuk memuluskan pesan politik kepada para komunikan. 

Media-media tak lagi berperan sebagai corong kebenaran informasi kepada komunikan. Media membawa kampanye hitam para politisi busuk yang terselubung dalam berbagai konstruksi wacana media  (Toulwala R. , 2022).

Hegemoni ekonomi dan politik yang begitu kuat menekan media sehingga media berperan sebagai pelayan para politisi. Perlu diakui bahwa 'Perselingkuhan' yang tak wajar ini menciderai demokrasi. Rakyat tidak lagi diasupi informasi yang benar dan kredibel dari media, melainkan rakyat disuguhi berbagai 'tema gelap' hasil konspirasi media vs politisi.  

Dalam pandangan saya, ada beberapa 'tema gelap' yang sering diinjeksi politisi ke dalam media untuk kemudian dipresentasikan ke hadapan publik.

Pertama: Media kerap digunakan oleh politisi untuk merusak reputasi lawan politiknya. Tema ini digunakan oleh politisi untuk membunuh karakter lawan politiknya. 

Kedua: Media sebagai medan penyebarluasan hoax. Tidak dapat dipungkiri bahwa hoax adalah salah satu senjata bagi politisi untuk menyebarkan kabar bohong dan data palsu tentang lawan politik. Ketika media digunakan sebagai alat untuk menyebarkan kebohongan maka media indentik dengan alat pembohong. 

Ketiga: Media sering menjadi panggung para politisi untuk pencitraan. 

Keempat: Politik ekstrem yang dititip dalam bentuk hujatan, makian, radikalisasi agama, teriakan rasis sering dipresentasikan oleh media secara telanjang.

Ulasan di atas menyadarkan kita bahwa betapa mudahnya tema-tema gelap merengsek masuk ke dalam media. Media tampil begitu permisif dan akomodatif terhadap kepentingan partikular politisi.

Media membiarkan dirinya dijejali dan dikooptasi oleh politisi-politisi yang mewartakan tema-tema gelap itu. Dengan demikian masyarakat pengonsumsi media tersebutpun menelan mentah-mentah bila tanpa sikap kritis.

Distorsi nilai independensi media ini bisa saja karena ada yang cacat di meja redaksi. Ada permainan transaksional di sana. Namun jika bukan di meja redaksi maka sangat mungkin sumber kejahatan itu ada pada pemilik media. Kalau memang demikian adanya maka sulit untuk meliterasikan media dan pemiliknya selain memperkuat peraturan perundang-undangan untuk membereskannya.

Kita perlu mempertanyakan kekuatan hukum yang mampu menjerat kelakuan media-media nakal ini. Mengapa tangan hukum tidak mampu menjamah jauh ke dalam praktek-praktek seperti ini? Seolah-olah negara ini sedang membiarkan media melakukan pembodohan publik. Kemerdekaan jenis apa yang sedang digunakan oleh media-media jenis ini sehingga begitu leluasa mempresentasikan nilai-nilai yang tidak mesti ditawarkan ke hadapan publik?

Beberapa pertanyaan retoris di atas sesungguhnya adalah pertanyaan yang sering dilontarkan oleh masyarakat kritis yang gelisah. Negara ini terkesan lamban menangani kasus-kasus ini. Ketika negara semakin lamban maka semakin kuat hegemoni ekonomi politik mencengkeram media. 

Semakin lamban, negara semakin dicurigai berkonspirasi dengan media-media, atau kecurigaan yang paling buruk adalah negara takut berhadapan dengan kekuatan oligarki yang menguasai media.

Di ujung tulisan ini, saya masih bersangsi bahwa upaya menyelamatkan media dari kooptasi ekonomi politik tidak bisa lakukan dengan berteori kepada para pelaku media atau politisi. Hal ini karena kebiasaan itu sudah menjadi habitus dan bisa saja ada konspirasi yang dibangun dalam labirin gelap politik kekuasaan.

Oleh karena itu, yang paling bisa dilakukan adalah penyadaran terhadap masyarakat untuk bersikap kritis terhadap media. Masyarakat tak perlu menyimak informasi dari satu sumber/media saja melainkan melakukan pembanding dengan sumber/media lainnya. 

Sikap kritis masyarakat juga dapat dilakukan dengan membaca apa yang tidak ditulis atau diwartakan media. Mengenal pemilik media dan profilnya juga tidak bisa ditolak sebagai sikap kritis terhadap media.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun