Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Menambal Lubang Proporsional Terbuka

18 Juni 2023   18:17 Diperbarui: 19 Juni 2023   09:00 780
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinamika diskursus tentang sistem Pemilu Legislatif terhenti ketika Mahkama Konstitusi (MK) mengetuk palu untuk diberlakukannya sistem Pemilu Terbuka. 

Celoteh Denny Indrayana tentang pembocoran pemberlakuan sistem Pemilu Proporsional Tertutup dan beserta efek tuduhan publik mengenai  kemunduran demokrasi dalam negara ini serentak berhenti. 

Keputusan ini memberikan kebebasan bagi masyarakat pemilih untuk memilih wakilnya secara langsung. Dengan demikian masyarakat pemilih otomatis akan berinteraksi secara langsung baik dengan para calon wakil maupun partai politik.

Baca juga: Ketika

Sebagai sebuah sistem seturut pandangan Talcott Parsons, Proporsional Terbuka memiliki komponen-komponen (sub-sub sistem) yang berinteraksi satu dengan yang lainnya mewujudkan keinginan/tujuan sistem. 

Masyarakat pemilih, partai politik, aktor politik, penyelenggara Pemilu, pangawas Pemilu, dan media adalah komponen-komponen yang memanfaatkan ruang-ruang di dalam sistem untuk berinteraksi. 

Ketika ada ruang interaksi yang luas maka ada kemungkinan terjadi tabrakan kepentigan yang kemudian berdampak pada disfungsi komponen-komponen. Akhirnya sistem tampak pincang.

Sistem Proporsional Terbuka dapat mengalami situasi ini. Artinya sistem ini bukanlah sebuah sistem Pemilu yang sempurna dan bebas dari nilai minus. Dalam bentangan konseptual dan jaringan teori, sistem ini memiliki kelebihan dan kekurangannya. 

Sistem ini memiliki derajat keterwakilan yang tinggi karena pemilih bebas memilih wakilnya yang akan duduk di legislatif secara langsung, sehingga pemilih dapat terus mengontrol orang yang dipilihnya. 

Ketika masyarakat bebas memilih maka akan mendorong para kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk sebuah kemenangan. Dengan demikian kedekatan antara pemilih dengan yang dipilih dapat terbangun.

Namun di balik kelebihan di atas, sistem ini memiliki sisi gelap. Proporsional Terbuka memberi peluang terjadinya politik uang yang sangat tinggi sehingga membutuhkan modal politik yang cukup besar. 

Sementara itu kandidat-kandidat yang diusung hanya berkonsentrasi untuk mendulang suara terbanyak dan mengabaikan edukasi politik. Partai politik juga tidak lagi membina kader muda untuk serius membawa ideologi partai dalam jangka panjang. 

Mereka hanya ingin mencari jalan pintas dengan memburu calon legislatif (caleg) yang populer. Kader-kader terbaik yang memiliki kapasitas untuk bekerja, namun tidak populer, perlahan akan tersingkir dari lingkaran partai dan diganti oleh figur-figur terkenal yang terkadang belum tentu bisa bekerja dengan baik.

Bukan hanya itu, para caleg yang memiliki kekuatan modal finansial akan menguasai panggung ini untuk membatalkan kecerdasan memilih masyarakat pemilih. Tidak mengherankan bila di parlemen saat ini banyak wakil rakyat memiliki kekayaan di mana-mana namun kurang mampu merepresentasikan kepentingan rakyat.

Ulasan sisi gelap Proporsional Terbuka di atas adalah kegelisahan kita bersama namun tidak serta merta merontokkan semangat memilih kita. Kita juga tidak boleh hanya gelisah dan meratapi kekurangan sistem ini, melainkan harus kreatif mencari bahan untuk menutupi kekurangan yang ada. 

Menurut saya ada beberapa komponen dalam sistem ini yang perlu merevitalisasi diri dan serentak mengubah peran menjelang Pemilu 2024 ini.

Pertama; Masyarakat Pemilih. Konsekuensi  dari ditetapkannya Proporsional Terbuka adalah dihasilkannya para pemimpin yang benar-benar hasil pilihan rakyat. Hal ini karena rakyatlah yang menentukan para pemimpinnya secara langsung.

Faktor utama yang menentukan hasil pemilu rakyat adalah tingkat kemampuan rakyat atau pemilih dalam melihat, mengamati, hingga memilih para calon yang berkualiatas dan benar-benar amanah. 

Rakyat harus benar-benar bisa membedakan mana calon yang hanya mengumbar janji belaka, membagi-bagi uang, dengan calon yang benar-benar mau bekerja untuk rakyat. 

Konsekuensi logisnya bahwa seburuk apapun pemerintah/wakil rakayat adalah hasil pilihan rakyat, rakyat yang merusak nasibnya sendiri apabila menyerahkan kewenangannya kepada orang-orang yang salah.

Kedua; Partai Politik. Meskipun kita akan menggunakan Proporsional Terbuka namun itu tidak berarti menghilangkan peran partai politik. Partai politik tetap memiliki kewenangan untuk mengajukan caleg sesuai dengan keinginan, tak peduli disukai masyarakat atau sebaliknya. 

Dalam konteks ini, partai politik sangat mungkin merekrut para caleg yang loyal terhadap partai sehingga mudah dikendalikan. Cara rekrutmen seperti ini yang membuat masyarakat pemilih tak ada pilihan lain selain memilih yang buruk dari semua yang terburuk. 

Bila demikian adanya maka fungsi partai politik dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat gagal. Bagaimana mungkin parpol dapat memberikan pedidikan politik kepada masyarakat dengan baik kalau dirinya sendiri mempraktekkan politik yang keliru. 

Oleh karena itu, dalam upaya menambal lubang sistem Proporsional Terbuka maka parpol mestinya merekrut para caleg yang memiliki kemampuan representatif yang mumpuni dan kredibel.

Ketiga; aktor politik (caleg). Tampaknya para caleg senyum-senyum ketika MK memutuskan sistem Pemilu Proporsional Terbuka. Mengapa tidak? Ini adalah kesempatan di mana para caleg akan sangat leluasa memainkan perannya untuk memengaruhi masyarakat pemilih dengan cara apapun.

 Dengan modal finansial para caleg dapat meraih banyak suara meskipun minus rasionalitas dan sosialitas yang lemah. Dengan uang juga para caleg dengan gampang memperkuat ketidakberdayaan politik masyarakat. Hal ini tidak boleh terjadi lagi. Para caleg mestinya mempertimbangkan sisi kemanusiaan. 

Bahwasannya mewakili sekian banyak orang di parlemen adalah salah satu bentuk ibadah dan pertanggungjawaban moril. Kursi di parlemen adalah sebuah rahmat yang tidak bisa dibeli dengan uang.

Keempat; media. Hari ini agak sulit mencari media yang independen. 

Distorsi independensi media disebabkan karena orientasi ekonomi kapitalis yang kalkulatif sebagai jaminan survive. Orientasi ini membawa media terperangkap dalam kepentingan partikular para aktor politik yang berlomba-lomba untuk membentuk opini publik. 

Akhirnya, media tak lagi menjalankan tugasnya sebagai sumber informasi dan edukasi yang benar kepada publik. Yang terjadi hari ini adalah media memberi ruang kepada pelaku politik untuk menyebarluaskan hoax, politik ekstrem, dan pencitraan. 

Terhadap hal ini, independensi media adalah solusinya. Untuk mengembalikan media pada posisi itu membutuhkan energi ekstra baik dari pemerintah, pemilik media, dan pelaku media.

Kelima; penyelenggara  dan pengawas Pemilu. Dua komponen ini tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam upaya menjaga Pemilu yang berkualitas. 

KPU sebagai penyelenggara Pemilu dan Bawaslu sebagai pengawas Pemilu adalah dua organ yang dalam pekerjaannya harus bebas dari tekanan atau dikte pihak lain. 

Saya membayangkan bahwa apabila kedua lembaga ini bekerja secara profesional maka kegelisahan-kegelisahan di atas tidak akan terjadi. Oleh karena itu tugas kita adalah memberikan dukungan penuh kepada dua lembaga ini tanpa memandang mereka dengan penuh curiga.

Beberapa komponen di atas saat ini sedang bekerja dan terus membaharui diri. Kalau kita memandang Pemilu sebagai momentum memperbaiki diri maka ziarah panjang bangsa ini akan sampai pada kematangan demokrasi. 

Perlu diakui bahwa negara sebesar Amerika Serikat pun masih memiliki cela-cela dalam sistem Pemilu yang dianut. Artinya Demokrasi bukan kitab suci yang diturunkan dari surga yang bersifat sempurna. 

Demokrasi adalah sebuah biduk yang tengah mengantar kita pada sebuah pulau yang bernama bonum communae. 

Keberhasilan kita mencapai pulau itu tergantung dari kemampuan kita mengendalikan biduk demokrasi dan berupaya menambal setiap lubangnya ketika dihantam gelombang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun