Sadar atau tidak, Indonesia saat ini berada dalam situasi yang disebutkan Seyla Benhabib sebagai efek dari post sekularisasi. Penggunaan agama yang melampaui batas-batas kesuciannya justru menjadi bumerang bagi agama. Tantangan kita pada saat ini adalah mampukah kita menjadikan agama sebagai mesin moral dan sedapat mungkin mematikan daya agama sebagai mesin politik?
Secara historis, bangsa ini pernah melalui masa kelam pertarungan politik berbasis agama. Pilkada Jakarta bagi sebagaian orang adalah contoh yang paling nyata pemanfaatan kebablasan agama di ruang publik untuk kepentingan politik. Fakta tersebut seolah-olah menjadi pengalaman traumatis yang mencekam sampai saat ini.
Hidup dalam pengalaman traumatis kebablasan agama menguras energi bangsa ini. Kita kehabisan waktu dan energi hanya untuk memperdebatkan  ketidakmampuan kita dalam menempatkan agama pada peran yang sesungguhnya. Oleh sebab itu normalisasi peran agama menjadi kata kunci yang solutif.
Dalam menormalisasi peran agama, hendaknya pemikiran dua sosok filsuf di atas menjadi rujukan. Seperti yang diutarakan Habermas, agama boleh ditampilkan ke ruang publik selama agama menjadi mesin moral yang mengontrol perilaku. Sebaliknya seperti Seyla Binhabib, agama tidak perlu dipaksakan menjadi preferensi politik untuk melicinkan kepentingan politik dan pada akhirnya digunakan sebagai simbol perebutan kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H