Gempuran pandemi covid-19 sejak awal tahun 2020, telah memberikan dampak pada berbagai sisi kehidupan masyarakat. Krisis multi dimensi sebagai akibat dari pandemi terus berlanjut tanpa kepastian kapan akan berakhirnya. Perekonomian Indonesia juga tergilas olehnya sehingga menimbulkan kepanikan terhadap stabilitas sistem keuangan (SSK) Indonesia.
Bahaya Pandemi Covid-19 Terhadap Perekonomian
Majalah Tempo edisi 21 Maret 2020 dengan lugas mendeskripsikan kondisi ekonomi Indonesia masa pandemi corona. Sejak pandemi corona menyasar di Indonesia, Indeks saham Bursa Efek Indonesia  melemah menjadi 33 persen dibandingkan dengan awal 2020, terburuk sejak 2015. Sementara itu nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga anjlok ke level 16.273, terendah sejak Juni 1998.Â
Kondisi ini diperparah oleh menguatnya intensitas investor asing di pasar uang dan pasar modal yang terus menarik dananya dari pasar Indonesia. Kondisi ini kemungkinan bakal semakin buruk bila pandemi corona masih meraja di negeri ini.
Keberlanjutan kondisi ekonomi yang buruk akibat covid-19 tersebut telah dikaji melalui riset oleh prognosis ekonom Australian National University, Warwick McKibbin dan Roshen Fernando.Â
Dalam riset bertajuk "The Global Macroeconomic impacts of Covid 19" terpapar dampak ekonomi akibat corona yang sangat mengkhawatirkan semua orang. Hasil riset tersebut menyatakan bahwa dampak ekonomi akibat corona jauh lebih buruk dibanding Flu Spanyol pada 1918-1919. Padahal wabah Flu Spanyol telah diakui dunia sebagai wabah paling mematikan sepanjang sejarah karena sanggup menewaskan 40 juta orang di seluruh dunia. Riset tersebut juga menyatakan bahwa dampak corona kemungkinan bisa mencapai angka US$ 2,4 triliun.
Kedua ekonom tersebut melakukan prognosis berdasarkan lima faktor yakni suplai tenaga kerja, equity rick premium, biaya produksi, permintaan konsumsi dan belanja pemerintah.Â
Kelima faktor tersebut mereka menyebutnya sebagai guncangan (shock). Keduanya kemudian membuat tujuh skenario berdasarkan tingkat sebaran virus corona, kasus, dan jumlah korban tewas. Skenario 1-3 diumpamakan corona hanya terjadi di Cina dan bersifat sementara. Skenario 4-6, corona menyebar ke seluruh dunia dan bersifat sementara. Skenario 7, corona menyebar ke seluruh dunia dan wabah ringan akan berulang pada tahun-tahun mendatang.
Terhadap kondisi di atas dan sebagai antisipasi Indonesia terjebak dalam skenario ke-7, maka wajar bila Bank Indonesia menunjukkan sikap responsif untuk bertanggung jawab  mencegah dampak lanjutan yang berpotensi merusak SSK di Indonesia. Kerja keras Bank Indonesia yang memiliki peran penting menjaga SKK tidak serta merta berbuah manis bila tidak didukung oleh perilaku masyarakat Indonesia.Â
Menimbun barang yang dapat menimbulkan lonjakkan harga, penarikan simpanan di bank secara besar-besaran (rush), bertransaksi spekulasi sekedar mencari keuntungan pribadi, melakukan panic selling dan mengumbar hoaks yang melahirkan kepanikan massal adalah sikap-sikap yang mencederai perekonomian bangsa.
Sikap tidak cerdas dalam mengelola keuangan seperti yang diuraikan di atas, disebabkan oleh pesimisme akan keterpenuhan kebutuhan hidup dan kepanikan terhadap kemapanan ekonomi rumah tangga di masa pandemi.Â
Dengan ini menjadi jelas bahwa kualitas SDM adalah faktor fundamental yang memengaruhi stabilitas ekonomi seperti yang diuraikan oleh para ahli ekonomi dalam berbagai literatur. Kultur masyarakat yang belum dewasa dan madani akan riskan terkena pengaruh opini publik terkait pandemi covid-19. Akibatnya masyarakat cenderung berperilaku kurang cerdas dalam mengelola sistem keuangan.
Diversifikasi Pangan Lokal, Kecerdasan yang Terlupakan
Kepanikkan dan kegelisahan terhadap biaya hidup di tengah pandemi covid-19 sesungguhnya dapat ditanggulangi dengan diversifikasi pangan lokal. Hal ini penting dilakukan untuk mengatasi lemahnya daya beli masyarakat di tengah meroketnya harga pangan di masa pandemi. Kegalauan masyarakat tersebut lantas mengarahkan mereka untuk menarik simpanan sebanyak mungkin di bank agar dapat memenuhi kebutuhan hidup di masa pandemi.Â
Diversifikasi pangan lokal adalah langkah cerdas yang kerap dilupakan begitu saja dalam setiap kajian. Padahal pangan lokal merupakan aset penting yang sangat berguna untuk kelangsungan hidup di tengah ancaman pandemi covid-19. Diversifikasi pangan lokal dapat memutuskan ketergantungan impor yang memicu lonjakkan harga berbagai kebutuhan bahan pokok.Â
Kondisi 'hiperinflasi' inilah dalam berbagai diskusi ilmiah di ruang publik ditengarai sebagai penyebab kegelisahan masyarakat yang berujung pada perilaku tidak cerdas dalam manajemen keuangan. Pada akhirnya hal ini menyebabkan ambruknya tatanan ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu solusi yang tepat dan nyaris terlupakan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia adalah diversifikasi pangan lokal.
Diversifikasi pangan adalah salah satu komponen strategis pemantapan ketahanan pangan. Dalam "twintrack approach" FAO (2006) secara eksplisit disebutkan bahwa diversifying agricullture and employment adalah  salah satu opsi terpenting pada dimensi stabilitas ketahanan pangan.Â
Diversifikasi berbasis pangan lokal juga merupakan alternatif paling layak untuk memantapkan ketahanan pangan yang dapat menekan ketergantungan terhadap belanja kebutuhan dasar.
Benang Merah Diversifikasi Pangan dan SSK
Seperti yang sudah diulaskan di atas bahwa kekhawatiran terhadap eksistensi ekonomi di tengah pandemi covid-19 membuat masyarakat gagal mengelola keuangannya secara cerdas.Â
Hal itu tidak terlepas dari upaya survive agar tidak ingin 'mati konyol' karena kelaparan atau pun gagal memenuhi kebutuhan pokok. Namun faktanya, banyak masyarakat yang keliru mengelola keuangannya hanya untuk sebuah 'survive'. Menarik uang hanya untuk biaya hidup di masa pandemi sungguh tak rasional sebab sesungguhnya kebutuhan pokok dapat dipenuhi dengan mengintensifkan pangan lokal. Selain dapat dikonsumsi, pangan lokal juga mampu mendatangkan uang dan bahkan menyerap tenaga kerja.
Pengembangan diversifikasi pangan dimaknai sebagai upaya pemerataan dan peningkatan pendapatan, stabilisasi sistem keuangan, perluasan kesempatan usaha dan kesempatan kerja, serta relevan dengan kondisi pandemi covid-19. Bagi Indonesia yang penduduknya mayoritas bertani, diversifikasi pangan lokal  sangat diperlukan untuk menekan pengeluaran keuangan yang berlebihan pada masa pandemi covid-19. Hal ini penting karena diversifikasi pangan lokal berkontribusi terhadap peningkatan kapasitas produksi pangan, perbaikan pendapatan petani dan adaptasi terhadap ancaman pandemi covid-19.
Hasil riset yang dilakukan oleh dua ekonom asal Australia di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa diversifikasi pangan adalah solusi yang tepat untuk diterapkan pada skenario ke-7. Mengapa demikian? Ada kemungkinan skenario 7 terjadi nyata karena hingga sampai tulisan ini ditulis, para ahli di dunia ini belum menemukan vaksin yang tepat untuk mengobati pasien yang terpapar covid-19. Oleh karena itu diversifikasi pangan adalah upaya stabilitas pangan untuk jangka panjang yang mampu mengatasi masalah finansial.
Upaya mitigasi ancaman pandemi covid-19 terhadap sistem keuangan membutuhkan pendekatan lintas disiplin ilmu, holistik, sistematis dan koordinasi yang baik. Oleh karenanya, diversifikasi pangan lokal adalah salah satu tawaran yang niscaya mampu mengatasi masalah sistem keuangan di Indonesia. Memang pada dasarnya masalah yang dialami oleh setiap orang berbeda-beda di daerah yang juga berbeda, tetapi solusi seperti ini layak diterapkan di Indonesia yang mayoritas penduduknya hidup dari hasil pertanian. Tanpa menegasikan solusi lain, satu hal yang pasti dan logis yakni dengan diversifikasi pangan lokal kita telah menunjukkan cara yang cerdas dalam menjaga SSK di Indonesia.
Diversifikasi Pangan dari RT
Diversifikasi pangan sesungguhnya sudah termuat dalam kebijakan pemerintah (Keppres No.22 tahun 2009). Dalam perkembangannya pun kebijakan tersebut diperkuat lagi oleh Presiden Joko Widodo, misalnya infrastruktur pertanian, upaya stabilisasi harga pangan, modernisasi, distribusi dan ketersediaan. Hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan pangan memang berdampak pada sistem ekonomi.
Namun betapapun saratnya kebijakan diversifikasi pangan sesungguhnya tidak bermakna bila tidak dimulai oleh masyarakat lokal, rumah tangga dan bahkan individu. Sebagaimana sebuah kebijakan, kearifan pangan lokal juga dapat dijadikan sebagai panduan untuk menciptakan kemapanan pangan.
Hal sesederhana apa pun harus berani dimulai dan mentalitas yang buruk seperti gengsi-gengsian juga harus ditumbalkan demi keamanan pangan. Sebagai misal, di NTT (tempat asal penulis) banyak stok pangan lokal di ladang yang tidak terurus dan dikelola secara baik. Padahal bila disadari, surplus pangan lokal tersebut bernilai uang dan mampu mengembalikan SSK bila dikelola secara teratur.
Bila tulisan ini adalah sebuah edukasi imperatif maka mulailah berperilaku cerdas mengelola keuangan rumah tangga dengan cara mengintensifikasikan pangan lokal. Ada jaminan bahwa bila pangan lokal tersedia maka kita tak perlu menghambur-hamburkan uang hanya untuk membeli beras, terigu, gula atau kebutuhan lainnya dengan membongkar simpanan kita di setiap bank. Sekali kita mencabut simpanan maka sama halnya dengan menghilangkan investasi masa depan. Pada hal ketika memperkuat pangan lokal, kita telah melakukan tiga hal yang cerdas yakni menjaga SSK, menjaga eksistensi di tengah pandemi dan merawat investasi masa depan kita yang terjaga aman di bank.
Mari kita mendukung tugas Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah agar stabil nilainya terhadap barang dan jasa dan stabil terhadap nilai mata uang negara lain dengan menggalakkan diversifikasi pangan lokal dari dalam rumah tangga kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H