Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyoal Sila Kedua; Layakkah Ende Menyandang Kota Pancasila?

1 Juni 2020   10:01 Diperbarui: 1 Juni 2020   18:49 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ende adalah kota yang menginspirasi presiden pertama Republik Indonesia, bung Karno melahirkan ide pancasila. Tidak mengherankan bila Ende sontak menyedot perhatian media di setiap tanggal 1 Juni.

Di tempat inilah, Soekarno mengaku buah pemikiran Pancasila tercetus. Pengakuan sebagai sebuah kota Pancasila tidak terlepas dari  tuturan bung Karno berikut ini:

"Suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari... Di sana, dengan pemandangan laut lepas tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung.., di sanalah aku duduk termenung berjam-jam. Aku memandangi samudera bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukuli pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang surut, namun ia tetap menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudra luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada." 

(kompas.com. Penulis: Sabrina Asril)

Nilai Sila Kedua

Dalam pemahaman Pancasila khususnya sila kedua: "Kemanusiaan yang adil dan beradab", terinklud nilai-nilai yang memuat pengakuan manusia yang memiliki harkat dan martabat  sebagai makhluk Tuhan. Di dalamnya persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan agama, keturunan, suku, kedudukan sosial, dan sebagainya mendapat pengakuan.

Nilai sila kedua juga menuntut pengembangan sikap saling mencintai antar sesama manusia, tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap orang lain, membela kebenaran dan keadilan serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Nilai-nilai tersebut di atas sesungguhnya sudah terjabarkan dalam butir-butir P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Bagi yang anti Orde Baru, tentu anti juga terhadap produk Orde Baru, termasuk di dalamnya P4. Namun hemat saya, P4 yang adalah produk Orde Baru justru mendapat tempat yang istimewa dalam situasi bangsa yang tengah menghadapi krisis jati diri seperti sekarang ini.

Tidak mengherankan muncul berbagai perdebatan untuk merevitalisasi butir-butir P4. Hal itu tidak terlepas dari roh kemanusiaan yang tersembunyi di dalam butir-butir tersebut. Cermin realitas juga rupanya mengharuskan kita untuk kembali menengok nilai-nilai itu untuk dijadikan sebagai panduan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Agar menjadi manusia yang produktif, kita tidak hanya memerlukan keterampilan, keahlian, dan penguasaan Iptek, tetapi juga perlu memiliki suatu sistem nilai. Sistem nilai berperan penting memengaruhi sikap mental dan mentalitas manusia sebagai landasan perilaku sehari-hari.

Realitas Kehidupan Kota Ende

Ende sebagai sebuah kota Pancasila sudah semestinya wajib mewarisi sikap yang pancasilais. Euforia sebagai kota pancasila lantas menghadirkan senyum kebanggaan tetapi refleksi terhadap pelaksanaan nilai-nilai Pancasila kerap diacuhkan.

Menyandang julukan sebagai kota Pancasila, Ende seharusnya menjadi contoh bagi kota lain di Indonesia yang mewarisi nilai-nilai pancasilais. Nilai-nilai yang terkandung dalam butir-butir P4 semestinya menjadi pedoman yang tidak dapat ditawar-tawar. Benarkah Ende sudah mewarisi nilai-nilai tersebut?  Realitas kehidupan di kota Ende yang bisa mennjawabi pertanyaan ini.

Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah Ende gagal menyelesaikan kasus-kasus kemanusiaan. Sebagai misal, substansi keadilan kasus pembunuhan Ansel Wora yang meluap hilang bersama waktu, kasus penyiraman air keras terhadap seorang ibu yang juga hingga saat ini belum terungkap jelas pelakunya. Ada juga kasus kemanusiaan lain yang raib.

Masalah distribusi keadilan berupa pemerataan pembangunan juga sebetulnya bermasalah. Pelayanan publik yang berbau partisan juga marak ditemukan hampir di setiap instansi publik. Tidak mengherankan banyak daerah-daerah terpencil di kabupaten ini yang menghembuskan dinamika protes ketidakadilan. Memang masalah keadilan bukan persoalan yang baru. Masalah ini tidak hanya datang dari sebuah kebijakan yang tidak berkeadilan melainkan juga masalah itu sudah membudaya dan menyasar dalam setiap kehidupan masyarakat dan bahkan antarindividu.

Namun demikian, agar sajian realitas ini berimbang maka saya perlu menulis juga tentang nilai-nilai kemanusiaan yang baik secara sadar atau tidak sadar sudah dilakukan di bumi pancasila ini.

Di tengah pandemi covid-19 yang semakin marak, pemerintah kabupaten Ende juga tak tinggal diam. Berbagai penanganan terkait masalah ini sudah dilakukan oleh pemerintah demi nama 'kemanusiaan'. 

Bahkan Bupati Ende sudah menyerukan berkali-kali tentang pentingnya penanganan covid-19. Rumah jabatan sang bupati pun telah direlakan menjadi tempat karantina pasien covid-19. Meskipun masih ada kelemahan di sana-sini namun setidaknya pemerintah kabupaten Ende sudah menunjukkan antusias terhadap nilai kemanusiaan dan ini patut mendapatkan apresiasi.

Layakkah Ende Menyandang Kota Pancasila?

Masalah kebenaran dan keadilan yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan memang hampir terjadi di setiap daerah. Persoalan yang sesungguhnya adalah bagaimana upaya untuk mengikis ketidakadilan dan menegakkan keadilan menjadi kepedulian bagi pemerintah, lembaga kemasyarakatan dan bahkan individu.

Kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai suatu masalah yang persisten sudah pasti menjadi kepedulian berbagai disiplin ilmu dan multi aspek. Penegakkan nilai-nilai kemanusiaan adalah prioritas utama, sebab jika itu tidak diupayakan dengan sunguh-sungguh maka persoalan-persoalan lain akan terus bermunculan.

Masalah-masalah kemanusiaan yang ada di Ende akan menjadikan Ende sebagai bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledakan persoalan lain bila tidak ditangani secara tuntas. Seruan moral dari pemuka agama dan kebijakan yang humanis oleh pemerintah daerah adalah modal utama pengakuan Ende layak menyandang kota pancasila.

Layak atau tidaknya Ende sebagai kota pancasila dari perspektif sila kedua berada di tangan masyarakat dan pemerintah kabupaten Ende. Jangan berharap mujizat Tuhan menyata di kabupaten ini bila tak ada kesadaran dari pemerintah dan masyarakat. 

Bila Ende layak disebut kota pancasila maka berbagai kebijakan dan seruan moral mestinya segera dilakukan untuk menjaga stabilitas 'kemanusiaan' di bumi Ende. Namun bila dianggap belum layak maka hanya dengan seruan moral, perubahan orientasi nilai dan kebijakan yang humanis juga yang mampu mengembalikan status kelayakannya.

Paparan realitas tersebut sudah cukup jelas bagi kita untuk menilai sejauh mana praktek-praktek kemanusiaan di kabupaten Ende sebagai kota pancasila. Sudahkah masyarakat dan pemerintah kabupaten Ende mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan? Masihkah relevan Ende disebut kota Pancasila? Layakkah Ende menyandang kota pancasila dari perspektif sila kedua? Hanya pembaca opini ini, masyarakat dan pemerintah kabupaten Ende yang bisa menilainya sendiri secara jujur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun