Sebagaimana yang diulaskan oleh banyak pakar dan penulis opini di berbagai media, pandemi covid-19 membawa dampak yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Salah satu aktivitas rutin tahunan untuk umat Muslim yang terkena dampak pandemi adalah mudik.
Mudik merupakan moment yang ditunggu-tunggu oleh semua orang ketika menjelang Lebaran. Mudik sama artinya dengan aktivitas orang yang berbondong-bondong pulang ke kampung halaman untuk bertemu keluarga, bersilaturahmi, dan membawa kebahagiaan bagi 'orang-orang rumah' pada saat Lebaran.
Sayangnya, mudik kali ini terbentur dengan wabah covid-19 yang mendorong pemerintah mengeluarkan kebijakan lock down, social distance dan pembatasan berskala besar. Akan tetapi di beberapa titik dalam negeri kita masih terdapat beberapa kelompok yang nekad melakukan mudik. Maklum saja, Lebaran tinggal menghitung hari.
Sekelompok orang yang nekad melakukan mudik didukung dengan kelonggaran yang diberikan oleh pemerintah. Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah terkadang pusing menghadapi rakyatnya yang susah diurus.
Terlepas dari kelemahan di atas, tulisan ini menyoroti seberapa penting aktivitas mudik jika dilakukan saat ini. Tulisan ini kemudian mengerucut pada sebuah imperatif '#JanganMudikDulu'.
Benarkah Mudik Urgensif?
Lebaran adalah moment sakral bagi umat Islam di mana pada hari suci ini umat Islam berbagi kebahagiaan dengan keluarganya. Atas dasar  ini, banyak perantau yang menggunakan moment Lebaran untuk mudik alias pulang kampung agar dapat bertemu, bersilaturhami dan berbagi kebahagiaan dengan sanak keluarga.
Mudik juga adalah jawaban atas kerinduan seorang peziarah yang telah meninggalkan keluarganya karena perjuangan hidup. Kerinduan yang mencekam jiwa sekian lama akan ditumpahkan dalam bentuk pendistribusian kebahagiaan. Sekali lagi kebahagiaan adalah alasan di balik aktivitas mudik.
Jika demikian adanya bahwa kebahagiaan adalah alasan logis di balik aktus mudik maka konsekwensi yang diikuti adalah peniadaan terhadap penderitaan. Di dalam mudik tak ada ruang bagi sebuah penderitaan karena telah dimonopoli oleh kebahagiaan. Mudik hanya untuk kebahagiaan dan mudik bukan untuk sebuah penderitaan.
Oleh karena itu jangan mudik bila kemudian subyek yang melakukan mudik absen membawa kebahagiaan bagi keluarganya. Bila mudik hanya untuk menderita maka mudik bukan hal urgensif pada saat ini. Namun bila ada yang bersikeras bahwa mudik adalah hal urgensif saat ini, maka marilah kita berkaca pada realitas saat ini.