Lembayung senja bergelayut di sepanjang garis laut, sementara mendung muncul sporadis di beberapa sudut langit yang menua, pertanda sebentar lagi akan turun hujan. Kujejaki pantai itu lagi. Pantai yang sering kulepaskan permintaan mata ketika senja merambat.
Gumpalan pasir pantai masih kugenggam erat. Pikiran masih berkelana meraba-raba sepotong janji yang kemarin dia bisikan ke telingaku ketika magrib tiba. Yah, dia Sumarni. Gadis lugu yang pernah menghangatkan hati ketika dingin menguliti sekujur tubuh kala menikmati senja bersamanya. Pancaran matanya hangat, lebih hangat dari matahari. Di tengah matanya ada telaga yang memuaskan dahaga.
Besok lebaran telah datang, tetapi sarung lusuh yang saya pakai sudah robek. Kalut semakin menjadi-jadi kalau saja besok tidak bisa Lebaran bareng teman hanya karena tanpa sarung. Hidup bersama si janda miskin, semua pendapatan dari jasa ojek tak menyanggupi aku untuk membeli sarung Lebaran.
Senja makin memucat. Angin laut menusuk dingin tetapi aku masih setia menunggu. Kaki kutahan untuk segera bergegas pergi. Di ujung pantai, para nelayan buru-buru menambatkan perahu sebelum suara adzan memanggil. Gadis itu juga tak kunjung datang sementara kecemasan makin mendayu-dayu bersama gulungan ombak yang datang dan pergi.
Penantian ini sesungguhnya bukan hanya karena sepotong sarung. Tetapi ada juga sepotong rindu yang menabuh jantung ini berkali-kali. Sumarni, kapan kau tiba lalu mengeruk isi jantungku yang hampir saja meledak ini? Jangan-jangan seutai janjimu kemarin hanya bualan cerita Abu Nawas semata? Aku masih ingat bibirmu yang kau basahi ketika kau takut berjanji. Akankah ketakutanmu itu terbukti benar?
Sedang aku bertanya-tanya di balik gulungan ombak, sepasang camar membuyarkan lamunanku. Akan kusudahi saja penantian tak berguna ini. Butiran pasir kubuang dengan kesal seraya bangkit berdiri.
Biar sudah. Besok akan kupakai lagi sarung tua yang dicampakkan si janda miskin itu di balik jerami. Tak masalah, itu pemberian janda miskin yang merahimi aku. Biar kupakai sarung itu lagi sebagai kenangan sebelum ajal menjemputnya pergi.
"Sumarni, kau telah menipu saya," ucapku kesal membatin. Rupanya Sumarni adalah satu dari barisan wanita yang doyan mengkhianati para tukang ojek di dunia ini.
"Kau tak ubahnya dengan gadis lain yang suka membuat lelaki bergulat dengan perasaannya sendiri."
"Ini bulan puasa, aku tak boleh melanjutkan sumpah serapah ini," ucapku membatin lalu pergi.