Seperti pohon dan tiang listrik membenturi wajahku. Aku tak percaya. Ya Allah, makhluk apa yang Kau hadirkan di depan mataku ini? Tubuh molek itu berdiri tegak di depanku. Sejurus aku terhenyak. Percikan kebeningan kasihnya mengalir di mataku,menjalar jauh ke ceruk rasa. Tak kuasa kudangakkan kepala.
"Kaukah itu Sumarni?", ucapku lirih.
"Kau pikir aku sama seperti gadis masa kini yang memoleskan bibir dengan janji ilusif tak bermakna?" Jawabannya seakan menggelegar memenuhi batok kepalaku yang sejak tadi diracuni pikiran kotor.
"Aku sengaja tak menepati waktu yang telah kujanjikan. Hanya untuk tahu semahal apakah kesetiaan itu di matamu Ismael," bisiknya sambil membaluti sepotong sarung Lebaran ke leher dekilku.
"Ini kado Lebaranku untukmu, bukan pinjaman yang seperti kau minta. Sarung ini kau pakai besok dan simpan untuk kita ceritakan ke anak cucu kita bahwa janji Lebaran itu tak sesederhana yang diucapkan para bujang di kalanganmu."
Aku tahu Sumarni menyindirku. Memang di jaman ini, janji sama dengan bualan. Janji Lebaran mengalami distorsi makna. Janji itu tak sedalam makna yang pernah diajarkan para ustad dan kyai.
Kata-katanya kurasa bagaikan pisau menghunus jauh ke jantungku. Tetapi di balik kata-katanya yang pedas, aku mudah temukan kebahagiaan. Yah, seperti Jibril yang membawa berita gembira 'zamzam' di kaki Ismail.
Inikah surga cinta yang diceritakan banyak orang? Aku masih diam seribu bahasa. Perlahan-lahan senja menguliti kami. Jarum-jarum gerimis menancap di tubuh kami dan suara adzan mulai memanggil.
"Terima kasih sayang," aku memecahkan kesunyian.
"Maafkan aku. Sedari tadi aku telah memenjarakanmu dalam pikiranku yang kotor. Percayalah. Tak akan kulakukan coretan hitam pada kanvas cintamu seperti para bujang di zaman ini."
Senja telah jatuh dan mengurung kami. Rindu yang berjilid-jilid sudah kami kepak dan aku berharap cinta yang tersembunyi di kedalaman matanya akan membekali hidup kami.