"Ismael...Ismael...Ismael....!." Panggilan keras janda tua seketika membuyarkan lamunanku. Cepat-cepat kusembunyikan sarung pemberian Sumarni, sarung yang mencerminkan pemberian cinta absolut yang sukar ditemukan masa ini.
"Janganlah kau siksa dirimu dengan terus menerus melihat sarung pemberian almarhumah. Itu hanya membuatmu sulit mengenal gadis lain. Sampai kapan kamu begini Is? Aku sudah tua dan aku ingin mendapatkan cucu sebelum aku mati."
"Siapkan dirimu untuk sholat. Doakan saja Sumarnimu, dia telah bahagia bersama Allah," tutup janda itu.
Benar juga kata ibuku yang janda itu. Sarung ini sering memenjarakan aku bersama perasaanku. Sarung ini pula membuatku gagal mengenali gadis lain selain dia. Aku harus bangkit meskipun kisah tua bersama almarhumah Sumarni masih menyiksa.
"Sumarni...Kau telah menipu aku. Sarung yang ujungnya kau belitkan di leherku, yang mungkin suatu saat bakal jadi ayunan anak-anak kita, hanya menjadi tanda perpisahanmu denganku. Semoga kau bahagia di alam sana," doaku membatin, sembari menuju surau depan rumah reyotku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H