Pro-kontra belanja kado Ramadan dilatarbelakangi oleh situasi pandemi covid-19 yang kian meraja lela. Belanja online dan belanja offline kini tengah menjadi polemik heboh di berbagai medsos.
Mengapa belanja kado Ramadan online dipersoalkan publik? Argumentasi penolakan belanja online didasarkan pada pengalaman beberapa negara yang terpapar virus corona oleh media pembayaran berupa ATM dan paketan belanja yang dikirim.
Meskipun para penjual online menyatakan bahwa mereka menjaga kebersihan produk sampai proses pengemasan barang untuk diantar ke tempat tujuan namun tetap saja ada potensi keterjangkitan. Apalagi kurir yang menghantar pesanan online belum tentu bersih dari virus tersebut.
Sebagai misal, Rachel Brummer, wanita asal North Carolina, Amerika Serikat. Sebagaimana dilansir New York Post, wanita ini terpapar virus corona karena paket belanja online. Contoh ini merupakan salah satu contoh dari sekian banyak kejadian yang terjadi di negara-negara luar.
Di Indonesia malah marak terjadi kasus virus corona oleh ibu-ibu rumah tangga yang memiliki mobilisasi rendah. Menurut informasi yang beredar di ruang publik, ada beberapa di antara ibu-ibu rumah tangga tersebut yang terkonfirmasi corona karena barang belanjaan yang dipesan secara online.
Lalu, bagaimana bila belanja kado Ramadan melalui offline? Belanja offline juga dipertentangkan banyak orang. Justru melalui belanja offline potensi penyebaran virus corona lebih tinggi.
Tidak perlu saya sebutkan bukti sebagai data untuk memperkuat argumentasi di atas, sebab sesungguhnya terlalu banyak kasus virus corona yang terdeteksi keterjangkitannya karena aktivitas jual-beli di pasar dan swalayan.
Sebagai dampaknya, muncul ketakutan masif yang menyebabkan banyak pasar lokal ditutup atas perintah kepala desa karena salah tafsir pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Akibatnya lanjutannya, ekonomi pedesaan rontok seketika.
Terhadap belanja online maupun offline, keduanya ternyata sama-sama berrisiko penularan covid-19. Terhadap kedua jenis belanja itu pula, tak ada satu pun yang dapat kita andalkan untuk dapat kita gunakan sebagai cara terbaik untuk menghindarkan kita dari potensi keterjangkitan tanpa disertai panduan protokol kesehatan.Â
Jalan tengah yang ditawarkan penulis pada artikel ini sesungguhnya bukan alternatif lain di antara keduanya. Baik belanja online maupun belanja offline tetap digunakan namun harus memperhatikan protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Protokol kesehatan memungkinkan kedua jenis belanja tersebut dapat digunakan, sekaligus memutus rantai penyebaran covid-19. Hemat penulis, tak ada alternatif lain yang lebih menjanjikan dari pada tawaran protokol kesehatan oleh pemerintah.
Sebaik apa pun protokol kesehatan itu dirancang namun minus loyalitas dari masyarakat maka yang terjadi adalah awetnya pandemi covid-19. Oleh karena itu jalan tengah untuk mendamaikan pro-kontra belanja online dan offline adalah melengkapi keduanya dengan panduan protokol kesehatan.
Sudah terbukti di negeri ini bahwa protokol kesehatan mampu memutuskan mata rantai penyebaran covid-19. Protokol kesehatan juga mampu mengatasi keterpurukan ekonomi masyarakat pedesaan. Pasar lokal dan swalayan tak harus ditutup karena bila ditutup maka ekonomi stagnan adalah konsekwensi logis darinya. Pasar-pasar tetap dibuka sambil mewajibkan penggunaan pedoman protokol kesehatan.
Protokol kesehatan jangan dianggap sebagai sebuah beban. Hanya kita sendiri yang mampu menjaga diri kita dari keterjangkitan virus. Sebagai misal, banyak orang mengabaikan penggunaan masker dengan alasan petugas keamanan atau pemerintah tidak menyumbangkannya.
Contoh di atas adalah cerminan tipisnya rasionalitas kita dalam menyikapi gempuran pandemi. Serangan virus tidak hanya ditujukan kepada orang yang menggunakan masker dari sumbangan para petugas atau pemerintah. Oleh karena itu proteksilah diri anda dengan rasionalitas secukupnya karena keselamatan anda berada di tangan anda, bukan di tangan pemerintah.
Pada konteks ini, urgensi protokol kesehatan tak dapat dibantah. Keselamatan ketika belanja kado Ramadan tidak diukur dari belanja online maupun offline melainkan loyalitas kita dalam mempedomani protokol kesehatan.
Runutan tulisan ini berakhir pada sebuah rekomendasi sederhana bahwa protokol kesehatan adalah syarat utama dalam melakukan belanja online maupun offline. Dengan demikian pendamaian terhadap pro-kontra belanja online dan offline tercapai. Keduanya dapat dilakukan dengan aman bila memperhatikan protokol kesehatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H