Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membongkar Potensi Banalitas dalam Kasus Harley Davidson

8 Desember 2019   14:50 Diperbarui: 8 Desember 2019   14:54 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada hal menarik yang diungkapkan oleh Zaenal Muttaqin tentang tipikal defensif seorang Aria Ashkara yang anti-kritik. Zaenal mengungkapkan bahwa bila seseorang melawan kebijakan Aria Ashkara maka resikonya akan dimutasikan ke tempat lain.

Selain itu, seperangkat kebijakan Aria terkesan melawan aturan main tetapi sosok ini kerap dilindungi oleh atasan. Zaenal juga menuturkan bahwa hanya IKAGI yang berani melawan kebijakannya meskipun pada akhirnya mendapat tekanan, sedangkan karyawan dan orang-orang seputar mantan Dirut takut melontarkan kritik atau mengorganisir perlawanan.

Said Didu bahkan lebih blak-blakan melukis watak Aria Ashkara sebagai pejabat publik yang doyan menikmati jabatan untuk kepentingan pribadi. Mantan sekretaris Kementerian BUMN tersebut malah mengklaim mantan Dirut itu diperlakukan istimewa oleh menteri sebelumnya dan biasanya perilaku seperti mantan Dirut dianggap sebagai titipan yang kuat.

Darmadi Durianto tak banyak mengulas soal kebiasaan mantan Dirut melainkan fokus membahas kepemimpinan menteri sebelumnya yang tak pernah mendengar masukan dari Komisi VI DPR RI, bahkan absen konsultasi di Komisi VI DPR RI selama 4 tahun.

Dari kesaksian ketiga tokoh di atas dapat diekstraksikan beberapa asumsi sebagai berikut:

Pertama; pasifnya orang-orang internal di PT. Garuda Indonesia dalam memberikan perlawanan atau kritik terhadap kearogansian kebijakan yang sistematis oleh mantan Dirut. Keengganan tersebut mungkin karena takut dipecat atau memang telah berada dalam zona nyaman dan tak ingin keluar dari kemewahan itu.

Karyawan yang pasif perlahan-lahan membenarkan kejahatan itu dan ini adalah banalitas kejahatan yang paling transparan. Pembiaran atas ketidakberesan mantan Dirut itu membenarkan konsep banalitas kejahatan yang ditawarkan oleh Arendt.

Arendt berpendapat bahwa banalitas kejahatan itu terjadi ketika kejahatan itu lazim dilakukan sehingga dianggap publik bukan lagi sebuah kesalahan melainkan hal yang wajar dan lumrah. Persis yang dilakukan oleh karyawan PT. Garuda Indonesia atau orang-orang dekat Aria Ashkara, bahwasannya kebijakan irasional atau borok kepemimpin Aria Ashkara telah dianggap hal biasa dan normal sehingga tidak perlu melayangkan kritik atau dinamika protes lainnya.

Kedua; banalitas kejahatan dalam kasus penyelundupan oleh Aria Ashkara ditandai juga dengan kekosongan daya pikir baik oleh pelaku maupun orang-orang sekitarnya untuk bernalar.

Kekosongan daya pikir ini disebabkan karena  loyalitas absolut yang kemudian menghilangkan kemampuan untuk berpikir kritis dan benar serta kemampuan untuk berani menyuarakan kebenaran.

Kondisi ini menurut Arendt bukan karena the unconscious melainkan stok akal sehat yang telah menipis lantas mematikan daya kritis. Loyalitas absolut terhadap mantan Dirut tersebut akan berdampak pada raibnya daya kritis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun