Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membongkar Potensi Banalitas dalam Kasus Harley Davidson

8 Desember 2019   14:50 Diperbarui: 8 Desember 2019   14:54 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo sebagai Menteri BUMN, Erick Thohir tancap gas dengan melakukan beberapa terobosan. Tak tanggung-tanggung mantan nara pidana, Basuki Cahaya Purnama alias Ahok dipasangnya sebagai komisaris Pertamina untuk membasmi mafia Migas di tubuh Pertamina.

Kehebohan terbaru Erick Thohir adalah pemecatan Dirut PT. Garuda Indonesia, Aria Ashkara yang ketahuan 'nakal' menyelundup sebuah motor Harley Davidson dan dua buah sepeda mahal di dalam pesawat Garuda Indonesia tipe Airbus A330-900 seri Neo yang datang dari pabrik Airbus di Perancis. Penemuan kejahatan ini lantas menciptakan informasi tak sedap bahwa ada yang tidak beres dalam Kementerian BUMN beberapa tahun terakhir ini.

Tulisan ini ingin menelisik lebih dalam bahwa apakah mungkin kasus penyelundupan Harley Davidson oleh Aria Ashkara itu memiliki potensi banalitas yang baru terbaca oleh publik atau bukan. Mari kita uji bersama filsuf wanita berdarah Yahudi, Hannah Arendt.

Berselancar bersama Hannah Arendt

Hannah Arendt adalah salah seorang seorang filsuf wanita yang hidup dalam pemerintahan totaliter Adolf Hitler di Jerman. Sebagai korban genosida holocaust, Arendt menghasilkan pemikiran dari hasil refleksi atas kesewenangan Adolf Hitler. Dari permenungan filsafatnya, harendt menginginkan agar masyarakat di jamannya dan  di jaman kekinian tak bodoh mengulangi kejahatan Adolf Hitler, yang ia namakan sebagai Banalitas Kejahatan (1963).

Etimologis dan kamus Bahasa Indonesia mengartikan 'banalitas' sebagai 'menganggap biasa', 'hal yang sudah terbiasa', 'memaklumi hal yang sudah biasa'.

Arendt mengartikan 'banalitas' sebagai anggapan wajar dan benar terhadap kejahatan karena sudah biasa dan menganggap kejahatan itu bukan hal yang salah, atau melupakan begitu saja kejahatan dan menganggapnya tak pernah ada.

Melalui banalitas kejahatan, Arendt sesungguhnya menarasikan dukungan rakyat Jerman terhadap platform politik Hitler yang marginalisasi dan segeregasi religius Yahudi dan keturunannya di jerman kala itu.

Lebih dalam lagi Arendt dalam karyanya, The Life of Mind, menjelaskan tentang brutalitas, kejahatan, anarkis dan hal sejenisnya sebagai 'banalitas'. Menurutnya, orang melakukan kejahatan dan tindakan banal lainnya disebabkan emptiness of thought (kekosongan daya pikir). Demikian muasal sebuah kejahatan yang banal menurut Arendt, yang bukan dari the unconscious melainkan karena stok akal sehat yang sudah menipis sehingga kehilangan kekritisan, termasuk loyalitas absolut yang menyempitkan ruang kemungkinan untuk mengkritik.

Adakah Potensi Banalitas dalam Kasus Penyelundupan?

Dalam Kompas TV yang ditayangkan kemarin, Zaenal Muttaqin (Ketua Umum IKAGI), Said Didu (Mantan Sekretaris Kementerian BUMN) dan Darmadi Durianto (Anggota Komisi VI DPR RI) membahas profil kepemimpinan Aria Ashkara sebagai Dirut PT. Garuda Indonesia serta jejak kepemimpinan Ibu Rini Soemarno di Kementerian BUMN sebelumnya.

Ada hal menarik yang diungkapkan oleh Zaenal Muttaqin tentang tipikal defensif seorang Aria Ashkara yang anti-kritik. Zaenal mengungkapkan bahwa bila seseorang melawan kebijakan Aria Ashkara maka resikonya akan dimutasikan ke tempat lain.

Selain itu, seperangkat kebijakan Aria terkesan melawan aturan main tetapi sosok ini kerap dilindungi oleh atasan. Zaenal juga menuturkan bahwa hanya IKAGI yang berani melawan kebijakannya meskipun pada akhirnya mendapat tekanan, sedangkan karyawan dan orang-orang seputar mantan Dirut takut melontarkan kritik atau mengorganisir perlawanan.

Said Didu bahkan lebih blak-blakan melukis watak Aria Ashkara sebagai pejabat publik yang doyan menikmati jabatan untuk kepentingan pribadi. Mantan sekretaris Kementerian BUMN tersebut malah mengklaim mantan Dirut itu diperlakukan istimewa oleh menteri sebelumnya dan biasanya perilaku seperti mantan Dirut dianggap sebagai titipan yang kuat.

Darmadi Durianto tak banyak mengulas soal kebiasaan mantan Dirut melainkan fokus membahas kepemimpinan menteri sebelumnya yang tak pernah mendengar masukan dari Komisi VI DPR RI, bahkan absen konsultasi di Komisi VI DPR RI selama 4 tahun.

Dari kesaksian ketiga tokoh di atas dapat diekstraksikan beberapa asumsi sebagai berikut:

Pertama; pasifnya orang-orang internal di PT. Garuda Indonesia dalam memberikan perlawanan atau kritik terhadap kearogansian kebijakan yang sistematis oleh mantan Dirut. Keengganan tersebut mungkin karena takut dipecat atau memang telah berada dalam zona nyaman dan tak ingin keluar dari kemewahan itu.

Karyawan yang pasif perlahan-lahan membenarkan kejahatan itu dan ini adalah banalitas kejahatan yang paling transparan. Pembiaran atas ketidakberesan mantan Dirut itu membenarkan konsep banalitas kejahatan yang ditawarkan oleh Arendt.

Arendt berpendapat bahwa banalitas kejahatan itu terjadi ketika kejahatan itu lazim dilakukan sehingga dianggap publik bukan lagi sebuah kesalahan melainkan hal yang wajar dan lumrah. Persis yang dilakukan oleh karyawan PT. Garuda Indonesia atau orang-orang dekat Aria Ashkara, bahwasannya kebijakan irasional atau borok kepemimpin Aria Ashkara telah dianggap hal biasa dan normal sehingga tidak perlu melayangkan kritik atau dinamika protes lainnya.

Kedua; banalitas kejahatan dalam kasus penyelundupan oleh Aria Ashkara ditandai juga dengan kekosongan daya pikir baik oleh pelaku maupun orang-orang sekitarnya untuk bernalar.

Kekosongan daya pikir ini disebabkan karena  loyalitas absolut yang kemudian menghilangkan kemampuan untuk berpikir kritis dan benar serta kemampuan untuk berani menyuarakan kebenaran.

Kondisi ini menurut Arendt bukan karena the unconscious melainkan stok akal sehat yang telah menipis lantas mematikan daya kritis. Loyalitas absolut terhadap mantan Dirut tersebut akan berdampak pada raibnya daya kritis.

Terhadap analisis sederhana di atas, gampang dipastikan bahwa skandal Aria Ashkara menyimpan potensi banalitas kejahatan yang radiks. Oleh karena ada banalitas kejahatan dalam kasus ini maka kebiasaan penyelundupan serupa atau kejahatan lain telah lazim terjadi sebelumnya.

Pertanyaan untuk direnungkan di akhir tulisan ini: Apakah mungkin hanya kasus mantan Dirut PT. Garuda Indonesia yang menyimpan banalitas kejahatan atau juga BUMN secara kompleks menyimpan skandal yang sama? Asumsi dasarnya adalah menteri BUMN sebelumnya juga menyimpan masalah dengan DPR RI, jadi mungkinkah ada Aria Ashkara lain yang masih menyembunyikan borok di tubuh BUMN? Cukup untuk direnungkan.

Kompas.com
Kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun