Sudah terlalu klise untuk menyebut bahwa negara kita Indonesia sudah merdeka dari seluruh lini kehidupan. Sudah terlampau sering pula kita membanggakan diri dengan sebutan orang-orang merdeka.
Sedemikian seringnya ucapan-ucapan itu dilontarkan dari mulut ke mulut, sehingga kemerdekaan disadari sebagai taken for granted. Padahal, kemerdekaan mengandung nilai yang otokhton dan bebas dari dirinya sendiri.
Bila demikian, maka pantaskah kita menamakan bangsa ini sebagai bangsa yang merdeka? Mari kita temukan jawabannya.
Tepat 74 tahun yang lalu mendiang bung Karno dan bung Hatta sukses memproklamirkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat. Lahirnya Indonesia sebagai bangsa yang merdeka adalah konsekuensi logis dari perjuangan.
 Kemerdekaan yang waktu itu dinilai sebagai bebas dari penjajahan dan perbudakan bangsa asing terseret begitu saja dari zaman ke zaman. Eksistensi bangsa Indonesia yang menampung seluruh perbedaan, suku, agama, ras, bangsa dan budaya, diakui oleh bangsa-bangsa di dunia. Sebegitu megahnya kemerdekaan kita, lantas diwariskan secara turun temurun sebagai sesuatu yang harus diterima tanpa pernah dikritisi.
Memang kemerdekaan RI dari penjajahan adalah fakta tak terbantahkan dan tanpa kepalsuan. Namun siapakah yang mampu menjamin bahwa pasca proklamasi, totalitas kemerdekaan sungguh dialami oleh bangsa ini? Saya dan barangkali pembaca menyangsikan bahwa 74 tahun kita hidup dalam kemerdekaan yang total tanpa kepalsuan.
Apabila ada kesangsian maka kesangsian itu perlu dibuktikan dengan dalil logis dan rasional sebagai indikator penyangkalan terhadap kemerdekaan. Bahwasannya bukti-bukti tersebut dapat memberikan data yang eviden kepada publik bahwa memang 74 tahun ini kita masih hidup dalam kemerdekaan yang palsu.
"Penjara" Berpikir
Indonesia dalam konteks bonum communae atau the good life memang jauh panggang dari api. Kemerdekaan yang dikumandangkan oleh bung Karno seolah dipasung dan mengalami distorsi karena kebebasan berpikir kita sedang dipenjarakan. Padahal menurut fisuf Perancis, Rene Descartes, berpikir adalah cara menemukan kebenaran. Jadi, bila kebebasan berpikir dikekang maka terjadilah devisit kebenaran.
Kemerdekaan sudah menginjak usia 74 tahun, namun kita belum merdeka untuk berpikir. Proses berpikir kita masih dikendali oleh presure pemikiran ruang publik. Loyalitas buta terhadap otoritas, kepatuhan pada moral tradisional yang tak lagi relevan dan ketaatan total terhadap figur-figur tertentu mencederai proses berpikir kita. Kita tak lagi berpikir secara otonom melainkan kolektif dan mewakili kepentingan tertentu.
Kita memang belum merdeka dalam berpikir. Penjajahan berpikir terjadi ketika daya kritis kita melemah dan menerima begitu saja komando dan instruksi tanpa mengunyah dengan akal sehat. Penjajahan berpikir juga dapat terbaca ketika orang malas berpikir dan menyerah begitu saja pada nasib dan otoritas.
Akibatnya, konsensus yang dihasilkan tak lagi rasional karena dihasilkan melalui uang atau kekerasan dan hanya memenuhi tuntutan-tuntutan parsial dari pihak yang berkuasa. Ini adalah sebuah anomali, penjajahan berpikir di bangsa yang berstatus politik "Merdeka". Sungguh sebuah kemerdekaan yang palsu.
Pikiran yang tak merdeka membawa konsekuensi hingga pada sistem politik kita. Penjajahan berpikir menyebabkan kita takhluk begitu saja pada para pemilik modal dan kapitalis. Mungkin sudah 74 tahun lamanya, nasib bangsa ini seolah-olah ditentukan oleh negara-negara kapitalis dan perekonomian dunia, meskipun sebenarnya kita bisa mandiri. Swasembada pangan dan swasembada lainnya seolah-olah slogan ilusif tak bermakna.
Kemerdekaan berpikir yang terpasung juga mematikan kreativitas dan inovasi. Derap globalisasi yang begitu cepat tak bisa dihadapi tanpa kreativitas dan kemandirian. Lumpuhnya kreativitas dan otonomi berpikir juga menyebabkan bentangan jurang disparitas antara kaum miskin dan kaya semakin melebar.
Oleh karena itu kemerdekaan berpikir adalah sebuah tuntutan yang harus diwujudkan. Cara dan sistem berpikir harus segera diubah agar tidak mudah terpengaruh oleh dominasi eksternal.
Banyak literatur yang menyediakan tulisan berkualitas mengenai cara berpikir yang memerdekakan. Untuk itu maka peran kaum intelektual harus didorong untuk menciptakan banyak literatur tentang sistem berpikir atau cara menuju berpikir yang otonom seperti kebanyakan filsuf moderen dan abad pertengahan. Dengan demikian, di bangsa ini akan hilang kesan anti-intelektualisme yang pernah menjadi ciri khas fasisme Jerman dan Italia.
Menjadi Pemikir yang Otokhton
Jika memang kita belum merdeka dalam berpikir, lantas siapakah yang bertanggung jawab? Pemerintah? Swasta? Atau kita? Hemat saya, cederanya proses berpikir bisa disembuhkan oleh diri sendiri. Kemerdekaan berpikir tak harus melibatkan pemerintah dan dunia pasar.
Imanuel Kant dalam filsafatnya, menjadikan ilmu pengetahuan sebagai pangkal dan pokok yang di dalamnya terkandung beberapa hal yakni: apa dapat kita kerjakan (metafisika), apa yang seharusnya kita kerjakan (etika), sampai di manakah harapan kita (agama), apakah yang dinamakan manusia (antropologi).
Berkaitan dengan proses berpikir, Kant meyakini bahwa kondisi tertentu dalam pikiran manusia dapat menentukan konsepsi. Fenomena yang kita tangkap melalui intuisi mendahului pengalaman. Pengetahuan muncul dari dua sumber yaitu sensibility dan understanding.Â
Sensibility adalah kemampuan penerimaan kesan-kesan indrawi, sedangkan understanding adalah kemapuan membuat keputusan tentang kesan-kesan indrawi yang diperoleh melalui kemampuan pertama.
Lebih lanjut tokoh kritisisme paling terkenal ini menjelaskan bahwa kedua kemampuan tersebut bersinergi untuk menciptakan pengetahuan. Kemampuan sensibility merupakan pengetahuan apriori intuisi ruang dan waktu.Â
Sementara kemampuan pemahaman (understanding) mensintesiskan pengalaman-pengalaman yang telah terbaca melalui intuisi menjadi keputusan-keputusan rasional. Dengan ini pula sebenarnya Kant ingin mendamaikan pertentangan antara rasionalisme dan empirisme.
Cara berpikir untuk menghasilkan pengetahuan seperti yang dijelaskan Kant sesungguhnya mampu membantu kita untuk keluar dari penjara berpikir. Sebab dengan itu, kebenaran untuk kehidupan tak lagi bergantung pada otoritas atau pihak lain. Pengetahuan yang otonom bisa dihasilkan sendiri tanpa mengabdikan diri pada kemauan pihak lain bila kita menyadari proses berpikir yang ditawari oleh Kant.
Sudah saatnya untuk memerdekakan diri dari proses berpikir yang selama ini didikte oleh sumber lain di luar diri. Dengan berpikir merdeka dan otokhton, maka harga diri, kesejahteraan, sosialitas menjadi niscaya. Hanya dengan demikian sejarah panjang pemalsuan kemerdekaan berpikir bisa dihentikan dan kita menjadi sunguh-sungguh merdeka dalam berpikir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H