Mohon tunggu...
Richardus Beda Toulwala
Richardus Beda Toulwala Mohon Tunggu... Penulis - Dosen STPM St. Ursula, Pengamat Politik dan Pembangunan Sosial

Menulis dari Kegelisahan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pancasila di Tahun 2030

1 Juni 2019   06:50 Diperbarui: 1 Juni 2019   07:07 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BIN mencatat ada 39% mahasiswa perguruan tinggi terpapar paham radikalisme (MI, 30/05/2018). Tiga dosen pun dipecat karena terindikasi menyebarkan paham radikal (Tribunews.com, 16/5/2018). Data yang belum selesai disebutkan ini setidaknya menjadi dasar kegelisahan kita tentang eksistensi Pancasila.

Data ini pula yang melatari kecemasan kita tenang nasib Pancasila di angka 2030. Siapakah yang mampu menjamin bila di angka itu Pancasila masih bertahan? Keragu-raguan dalam menjawab membuat kita perlu berpikir lebih tentang bagaimana melindungi Pancasila di era kebangkitan kaum fundamentalisme ini.

Pembatasan terhadap ruang gerak fundamentalis atau paham radikal bukan solusi yang tepat untuk mempertahankan eksistensi Pancasila. Sebab dengan demikian Pancasila hanyalah tempat perlindungan dan pemihakan terhadap kaum nasionalis. Pada konteks ini jiwa Pancasilais justru kehilangan roh. 

Nilai-nilai Pancasila menembus segala perbedaan ruang dan waktu termasuk kelompok anti-Pancasila selama mereka tidak mempolitisasi Pancasila seperti yang sering dilakukan dalam gerakan-gerakan radikalis keagamaan.

Pancasila Tak Selesai di Ideologi

Sebenarnya sederhana bila ingin masa depan Pancasila di tahun 2030 masih cerah secerah harapan kita. Pancasila bukan agama sehingga harus dipelintir pembahasannya seperti yang sudah biasa terjadi pada kelompok tertentu. 

Pancasila adalah rujukan kerukunan kita, kerukunan yang tentu diajarkan dalam agama mana pun. Oleh karena itu, Pancasila harus diberi tempat dalam pendidikan keluarga yang adalah basis dasar pendidikan. 

Selanjutnya Pancasila diterjemahkan ke dalam bahasa dan sistem di lembaga pendidikan. Tidak selesai di situ, Pancasila harus diejawantahkan dalam sistem nilai dan perilaku di masyarakat.

Pancasila bukan bahasa doktrin yang kemudian disalahtafsir ke dalam pergerakan anti-fundamentalisme. Pancasila adalah sebuah ideologi yang tak terbatas pada ruang dan waktu dan bebas dari kooptasi pihak mana pun. Pancasila yang adalah jimat kerukunan mesti dipraktekkan dari sila ke sila. 

Di sini pemahaman Pancasila sebagai hanya sebuah ideologi hangus terbakar, sebab bila Pancasila cuma sebatas Ideologi yang beroperasi pada aras konseptual maka Pancasila pada tahun 2030 akan habis dibabat ideologi tandingan lainnya. Tamatlah riwayat Pancasila di bumi pertiwi ini.

Penggarapan ideologi ke dalam actus humanus tidak boleh ditunda. Urgensivitas perwujudan nilai-nilai Pancasila tak bisa ditawar-tawar seperti pemindahan Ibu Kota Negara ke kota lain sebab berkaitan dengan integrasi sebuah bangsa yang beradab. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun