Mohon tunggu...
Richa Miskiyya
Richa Miskiyya Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Perempuan biasa dengan kehidupan biasa, namun selalu menganggap jika kehidupannya itu luar biasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memutus Mata Rantai Pernikahan Dini untuk Masa Depan Berseri

25 Agustus 2016   21:12 Diperbarui: 9 Februari 2020   18:37 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Nikah (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Saat meneliti tentang maraknya pernikahan usia dini ini, saya juga bertemu dengan Nurul Indriyani, seorang aktivis muda dari Grobogan yang menggaungkan kampanye ‘Stop Pernikahan Usia Dini’. Saya kagum dengan sosok Nurul, meski usianya masih belia dan tinggal di sebuah desa kecil, ia mampu membuat gerakan masyarakat yang bermanfaat. Dan karena gerakan yang dikampanyekannya itu, tahun 2012, saat ia masih duduk di SMA, Nurul diundang sebagai duta dari Indonesia pada Konferensi Hari Perempuan Internasional PBB di New York.

Ketika bertukar pikiran dengan Nurul ini, saya pun semakin memahami bahwa ada banyak faktor yang menjadi penyebab maraknya pernikahan dini di Indonesia, yaitu sebagai berikut:

1. Pola Pikir Masyarakat

Masyarakat Indonesia masih banyak yang memiliki pola pikir untuk menikahkan anaknya sedini mungkin, khususnya anak perempuan karena adanya ketakutan pandangan dari masyarakat bahwa nantinya sang anak akan dicap sebagai perawan tua atau tak laku. Padahal, jika dilihat dari segi usia masih tergolong sangat belia. Pola pikir masyarakat ini haruslah diubah karena dalam pernikahan seharusnya karena sebuah kesadaran dan tanggung jawab untuk membina rumah tangga yang bahagia, bukan karena gunjingan tetangga.

2. Rendahnya Pendidikan Masyarakat

Kualitas pendidikan Indonesia masih tergolong rendah, hingga akhirnya masyarakat yang berpendidikan rendah ini memandang pendidikan sebagai suatu hal yang tidak penting sehingga banyak orang tua yang memasung impian anak-anaknya.

Para anak yang memiliki cita-cita tinggi pun akhirnya terpaksa mengubur impiannya karena masih banyak masyarakat Indonesia yang berpendapat bahwa seorang anak perempuan tak perlu sekolah hingga jenjang yang tinggi karena mereka akan kembali ke sumur, dapur, dan kasur untuk mengabdi pada suami.

Padahal, setiap anak memiliki hak, selain hak untuk mendapatkan pendidikan, juga hak untuk berkespresi, dan berkreasi. Tak hanya anak perempuan, tapi juga anak laki-laki.

3. Rendahnya Ekonomi Masyarakat

Masyarakat dengan ekonomi yang rendah dan memiliki banyak anak, cenderung akan menikahkan anaknya di usia dini. Selain karena tak memiliki biaya untuk menyekolahkan anaknya, juga karena orangtua berharap dengan anaknya menikah, maka beban hidup orangtua akan berkurang.

4. Seks Bebas dan Kehamilan di Luar Pernikahan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun