Generasi Z (sering disingkat menjadi Gen Z), yang dalam bahasa sehari-hari dikenal sebagai zoomer.Â
Para peneliti dan media populer menggunakan pertengahan hingga akhir tahun 1990-an sebagai tahun awal kelahiran dan awal tahun 2010-an sebagai tahun akhir kelahiran Gen Z.Â
Sebagai generasi sosial pertama yang tumbuh dengan akses ke Internet dan teknologi digital portabel sejak usia muda, Gen Z, meskipun belum melek digital, telah dijuluki "digital native" atau orang-orang yang tumbuh bersamaan dengan reformasi digital.
Dikutip dari buku karya David Stillman & Jonah Stillman ada 7 sifat utama yang dimiliki oleh generasi Z yaitu:
- Figital (Fisik-Digital), menurut survey ada 91% generasi Z mengatakan bahwa kecanggihan teknologi di dalam sebuah perusahaan akan sangat berdampak pada keputusan mereka saat bekerja.
- Hiper-Kustomisasi, menurut survey ada sekitar 56% generasi Z lebih memilih membuat uraian pekerjaannya sendiri dibandingkan dengan menggunakan deskripsi umum yang sudah ada.
- Realistis, generasi Z memiliki pola pikir yang pragmatis dalam merencanakan dan mempersiapkan masa depan mereka.
- FOMO (Fear of Missing Out), sebanyak 75% generasi Z sangat tertarik dengan situasi yang memungkinkan mereka memiliki peran ganda di dalam sebuah perusahaan.
- Weconomist, menurut survey ada 93% generasi Z yang mengatakan kontribusi perusahaan terhadap masyarakat mempengaruhi keputusan mereka bekerja di dalam sebuah perusahaan.
- DIY (Do-It-Yourself), menurut survey ada sebanyak 71% generasi Z yang percaya dengan pernyataan "Jika ingin melakukannya dengan benar, lakukanlah sendiri"
- Terpacu, menurut survey ada sebanyak 72% generasi Z sangat kompetitif pada orang yang memiliki pekerjaan yang sama dengan mereka.
Di seluruh dunia, Gen Z menghabiskan lebih banyak waktu pada perangkat elektronik dan lebih sedikit waktu untuk membaca buku dibandingkan sebelumnya, yang berdampak pada rentang perhatian, kosa kata, prestasi akademik, dan kontribusi ekonomi masa depan.Â
Gen Z memiliki karakteristik sebagai generasi yang terbuka terhadap berbagai hal, seperti isu sosial dan lingkungan, multikulturalisme, dan kemajuan teknologi.
Kemudian ada yang disebut generasi Alfa, bisa dibilang Generasi Alfa adalah anak dari Generasi Millenials dan adik dari Generasi Z. Kelompok yang masuk ke dalam generasi ini adalah mereka yang lahir di tahun 2010 sampai 2025.
Sebutan Generasi Alfa muncul pada tahun 2005, nama ini ditentukan dari hasil survey yang diadakan oleh Mark McCrindle, seorang analis sosial dan demografi.
Karena generasi sebelumnya sudah menggunakan huruf terakhir dari abjad Romawi, akhirnya penamaan diputuskan dengan mengikuti pola abjad Yunani yang diawali dengan 'alfa'.
Anak-anak Generasi Alfa merupakan generasi pertama yang benar-benar telah hidup berdampingan dengan teknologi canggih sejak mereka dilahirkan.
Hal tersebut dipaparkan dalam Quest Journal. Dari alasan inilah mereka juga kerap disebut sebagai "generasi digital".
Pemandangan anak berusia dua tahun yang telah lihai menggunakan perangkat lunak tentu bukanlah pemandangan yang mengherankan di masa sekarang.
Untuk mendukung perkembangan ini, beberapa kurikulum pendidikan di beberapa negara mulai menambahkan pelajaran pemrograman komputer pada sekolah dasar dan menengah.
Kurikulum tersebut bertujuan untuk membantu pembentukkan siswa yang kreatif dan mampu menggunakan teknologi untuk menghasilkan solusi dalam memecahkan masalah.
Dibesarkan pada era di mana teknologi selalu berkembang secara konstan, Generasi Z dan Alfa dapat menjadi peran penting yang sangat berpengaruh terhadap berbagai industri untuk terus berevolusi dan menciptakan inovasi terbaru.
Generasi Z dan Alfa juga memberikan dampak pada dinamika dunia. Dengan mudahnya akses dan komunikasi secara global, anak-anak yang termasuk generasi ini mungkin akan lebih mampu memperluas kemampuan komunikasi linguistik mereka.
Melihat karateristik Generasi Z dan Alfa tersebut diperlukan penyesuaian dalam sistem belajar untuk mempersiapkan mereka menghadapi as depan yang penuh tantangan agar sesuai dengan kebutuhan mereka tanpa mengesampingkan minat dan habituasi mereka sebagai sebuah kelompok generasi.
Pada karakter fisik digital, guru harus banyak melakukan pengamatan tentang bagaimana siswa memadukan sisi fisik dan digital dalam cara mereka berinteraksi, hidup, dan belajar.Â
Ini kemudian akan menjadi landasan bagi guru untuk menentukan metode pembelajaran yang akan gunakan. Guru sudah harus semakin terbiasa menggunakan sarana pembelajaran yang beragam melalui teknologi digital, agar siswa tetap dapat aktif dan tersambung dalam pembelajaran dalam berbagai kondisi pembelajaran yang ada.Â
Guru juga perlu untuk lebih terbuka terhadap tambahan leksikon baru sebagai media dan perangkat pembelajaran.Â
Ini dapat berupa visual, video, atau bahkan simbol tertentu yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas komunikasi antara siswa dan guru. Guru perlu lebih kreatif dalam mencari dan menerapkan solusi figital untuk meningkatkan dan menyebarkan budaya pembelajaran.
Karakter FOMO juga menjadi salah satu tantangan pendidikan. Pada karakter ini, Gen Z dan Alfa memiliki rasa ingin tahu yang tinggi tentang berbagai hal, khususnya hal-hal baru.Â
Dalam hal ini, pendidikan perlu menjadi media yang terbuka dan mewadahi berbagai informasi yang diperlukan siswa tidak hanya pada hal yang berkaitan dengan pembelajaran, tetapi juga keterampilan hidup.Â
Pendidikan perlu mampu mengkurasi informasi apa saja yang memang bermanfaat bagi siswa, dan yang tidak. Kompetensi guru menjadi sangat penting dalam hal akurasi tersebut.
Dalam konteks pendidikan, memberikan kebebasan siswa menentukan cara belajarnya merupakan sebuah kebutuhan.
Pendidikan perlu untuk mampu melakukan personalisasi cara-cara belajar bagi setiap siswa, dan memberikan siswa lebih banyak kesempatan untuk mencari sumber belajar di luar aktivitas bersekolah.Â
Karakter hiperkustomisasi menyebabkan siswa juga menjadi terbiasa mengkritisi banyak hal di sekelilingnya, termasuk memberikan masukan terhadap media-media belajar yang selama ini digunakannya.Â
Penting bagi ekosistem pendidikan untuk memberikan ruang kepada para siswa untuk menyampaikan gagasan dan penilaiannya tentang proses belajar yang mereka jalani sehari-hari, termasuk berkesempatan merekonstruksi harapan mereka tentang pendidikan di masa depan.
pendidikan khususnya pendidikan untuk mampu memfasilitasi karakter terpacu tersebut melalui berbagai media yang mampu mengakomodasi potensi siswa yang beragam, tanpa mengarahkan pada upaya memperbandingkan antara siswa yang satu dan yang lainnya.Â
Siswa perlu lebih banyak diapresiasi dan menjadikan praktik tersebut sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya-upaya reflektif semua pihak dalam memperbaiki kualitas pembelajaran.
Gen Z dan Alfa yang lebih menyenangi kegiatan yang sifatnya berkelompok dan selalu terhubung dengan sejawatnya.Â
Dalam pembelajaran, karakter ini dapat difasilitasi dengan penerapan pendekatan pembelajaran yang melibatkan lebih dari satu siswa dan mengondisikan siswa untuk saling berkolaborasi dalam menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran yang diberikan.Â
Pendekatan pembelajaran berbasis proyek dan sejenisnya akan membuat siswa terbiasa bekerja dengan kelompok dan berbagi informasi di dalamnya.Â
Siswa perlu lebih banyak didekatkan dengan sesamanya, untuk dapat saling belajar dan memberikan masukan dengan komunitasnya (peer review), dengan tetap menempatkan guru sebagai fasilitator belajar. Kegiatan eksplorasi siswa juga perlu untuk semakin dihidupkan melalui berbagai percakapan/diskusi antar siswa.
Akhir kata Guru mempunyai peran vital dalam mempersiapkan Generazi Z dan Alfa melalui proses pendidikan yang sesuai dengan karakter mereka sehingga mereka dapat beroleh bekal yang mumpuni dalam menghadapi persaingan hidup dan kerja di masa datang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI