[caption caption="Sumber Gambar: batam.bisnis.com"][/caption]
Perkembangan kota di Indonesia, sebagaimana umumnya di negara berkembang, selain menunjukkan kemajuan yang menggembirakan juga menimbulkan dilema yang mengkhawatirkan. Kota cenderung berkembang secara fisik dan ekonomis, tetapi menurun secara kultural dan ekologis. Fisiografi perkotaan terus meluas menembus batas administratif menuju wilayah pinggirannya. Perkembangan sarana prasarana fisik jauh meninggalkan bahkan meminggirkan kebutuhan ekologis kota. Pembangunan telah memicu konversi lahan pertanian yang tak terkendali. Akibatnya fungsi resapan air menurun drastis dan sebaliknya laju limpasan air permukaan meningkat. Berkurangnya lahan hijau dan meningkatnya kepemilikan kendaraan bermotor juga telah mengakibatkan polusi udara yang tinggi dan pemanasan mikro kota.
Target nasional untuk membebaskan kawasan kumuh di perkotaan adalah tahun 2020. Ibarat manusia, di tengah usia yang semakin senja, kota membutuhkan perawatan berkala agar tetap tampak muda. Dalam hal ini, kawasan perkotaan membutuhkan upaya mengelola kelestarian lingkungan serta kekumuhan permukiman demi menjamin keberlanjutan pembangunannya. Tuntutan ini tentu tak sekadar demi menampilkan wajah kota yang indah, tapi juga menghadirkan ruang yang ramah bagi kelangsungan hidup penduduknya.
Ibarat wajah manusia, penuaan kota dapat dikendalikan dengan metode spa. Dalam konteks perkotaan, salah satu upaya perbaikannya dengan peremajaaan, khususnya permukiman. Peremajaan atau revitalisasi pada hakekatnya merupakan proses yang terintegrasi antara pemberdayaan kekuatan-kekuatan sosial, kekuatan-kekuatan ekonomi dan kekuatan-kekuatan lingkungan fisik dalam menunjang kehidupan masyarakat. Karakteristik suatu kawasan akan sangat menentukan konsep, strategi dan bentuk penanganan dalam revitalisasi (Yunus, 2006). Secara umum, peremajaan dapat dilakukan secara vertikal maupun horisontal.
Peremajaan Vertikal
Kota-kota di Indonesia sebagian besar sudah sarat muatan. Yogyakarta misalnya, Bapedalda DIY (2008) melaporkan bahwa daya dukung lahan untuk permukiman sudah masuk kategori aman bersyarat hingga melebihi ambang batas. Meskipun tergolong kota kecil dan kelihatan masih baik, daya dukung lahan permukiman diprediksikan akan terlampaui sekitar 37 tahun lagi. Salah satu konsep yang sesuai untuk mengantisipasinya adalah mengembangkan rumah susun bagi warga. Prioritas penanganan dapat diarahkan pada kawasan-kawasan kumuh yang dapat diakses oleh kaum miskin kota.
Beberapa pertimbangan dalam memilih lokasi rumah susun dintaranya adalah tidak melanggar tata ruang (seperti bebas dari penetapan garis sempadan sungai), kemungkinan mendapat sinar matahari sangat besar, dekat dengan fasilitas umum lingkungan, serta mendapatkan nilai efisensi yang besar dalam penggunaan lahan. Jenis rumah susun yang dapat dipilih antara lain rumah susun sistem sewa (rusunawa) atau rumah susun hak milik (rusunami). Rusunami lebih direkomendasikan, karena akan lebih optimal pencapaian misi perbaikan kawasan permukiman. Dengan rusunami, rumah-rumah yang semula didiami warga dapat dikembangkan sebagai ruang terbuka hijau (RTH) atau fungsi konservasi lain. Rusunawa masih menyisakan tanda tanya dalam optimalisasinya, karena berdasar pengalaman yang sudah dibangun, para penghuninya justru berasal dari luar kawasan, sehingga tiak menyelesaikan masalah.
Peremajaan Horisontal
Guna mendukung peremajaan vertikal perlu pula dilakukan peremajaan horisontal, yakni dengan penataan lingkungan biofisik. Peremajaan horisontal diarahkan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan mendukung terciptanya kualitas kehidupan yang lebih baik. Akan lebih optimal jika dilakukan bersama-sama dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peremajaan vertikal.
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam penataan horisontal. Pertama adalah membatasi, bahkan hingga melarang penambahan bangunan baru. Pembatasan ini hendaknya dilakukan dengan proses pendidikan masyarakat secara terus menerus. Disamping itu perlu ditegakkan peraturan sebagai instrumen pengendali pembangunan, misalnya Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Kedua adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas ruang terbuka. Ruang terbuka mesti dipahami sebagai aset yang bernilai tinggi bagi kehidupan. Ruang ini dapat diwujudkan dalam bentuk ruang kehidupan sosial, misalnya ruang terbuka untuk berkumpul dan bermain atau sebagai instrumen mekanisme alam dalam menjaga kualitas lingkungan, misalnya ruang terbuka hijau.
Ketiga adalah mengembangkan arsitektur hijau. Prinsip arsitektur hijau tidak hanya menonjolkan artistik semata, melainkan juga fungsi ekologisnya. Beberapa bentuk arsitektur bangunan yang dapat dipertimbangkan seperti atap rumah yang cerah, atap dilapisi tumbuhan, penggunaan pagar dengan tanaman, dan lainnya.
Keempat adalah meningkatkan aksesibilitas dan utilitas ramah lingkungan. Kawasan permukiman padat perlu diupayakan terpenuhinya jaringan jalan masuk yang memadai, karena akan berguna banyak ketika misalnya terjadi kebakaran. Jalan juga semestinya dilengkapi dengan tanaman perindang, sarana drainase, dan peresapan air hujan. Pada lingkungan rumah dan permukiman juga dilengkapi fasilitas limbah komunal, tempat sampah dengan pemilahan, tamanisasi, dan lainnya.
Gambaran upaya peremajaan di atas hanya tinggal konsep di atas kertas saja, jika dalam palaksananaan tidak dilakukan secara terpadu. Kebijakan pemerintah saja tidak cukup, meskipun kemauan politis pemerintah serta penegakan hukum menjadi ujung tombaknya. Yang paling mendasar perlu dijiwai dengan pemberdayaan sosial budaya. Semua hendaknya dilakukan melalui partisipasi masyarakat.
Salah satu pendekatan partisipatif yang dapat dilakukan adalah konsep pembangunan berbasis masyarakat (community-based development). Pembangunan berbasis masyarakat dapat dimaknai sebagai co-management (pengelolaan bersama), yakni pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat bersama-sama dengan pemerintah setempat. Tujuannya untuk melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam pembangunan.
Pengembangan masyarakat (community development) adalah suatu upaya perubahan terencana (planned change) yang dilakukan secara sadar dan sungguh-sungguh melalui usaha bersama masyarakat untuk memperbaiki keragaan sistem kemasyarakatan (Chambers, 2006). Arah perubahan akan sesuai dengan kesepakatan yang telah dirumuskan bersama. Pada intinya instrumen yang digunakan dalam community development adalah pemberdayaan (empowerment). Partisipasi yang tinggi terhadap pembangunan akan menimbulkan rasa ikut memiliki dari masyarakat atas semua sumber daya yang bersifat open acces dan common property di lingkungannya.
Pendekatan partisipatif perlu ditempuh karena masyarakat lokal adalah orang-orang yang paling tahu kondisi sosial budaya setempat. Setiap kegiatan pembangunan harus memperhatikan nilai-nilai sosial budaya pembangunan. Setiap langkah keputusan perencanaan harus mencerminkan keaktifan masyarakat lokal yang ikut terlibat di dalamnya. Pelibatan masyarakat sejak awal akan lebih menjamin kesesuaian program pengembangan dengan aspirasi masyarakat karena adanya rasa memiliki yang kuat. Konsep pendekatan ini akan menjamin tingkat keberlanjutannya.
Orientasi penyejahteraan masyarakat juga mesti dititikberatkan tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. Pelestarian lingkungan kota dapat diupayakan agar menggerakkan sektor-sektor perekonomian. Apabila ini dilakukan secara sistematis dan terpadu, bukan hal yang sulit kiranya untuk memenuhi target nasional terbebas dari kawasan kumuh pada tahun 2020 nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H