Mohon tunggu...
Ribut Lupiyanto
Ribut Lupiyanto Mohon Tunggu... Pecinta Lingkungan dan Keadilan

Pecinta Lingkungan dan Keadilan I @ributlupy I www.lupy-indonesia.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menata Kota Untuk Semua

28 September 2015   05:09 Diperbarui: 28 September 2015   08:29 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gambar: pemudatataruang.org"][/caption]

Mobilitas dan akses manusia terhadap jasa dan pelayanan sangat penting untuk menunjang fungsi kota yang efektif. Faktanya sebagian warga kota masih terkucilkan dari berbagai fasilitas kota akibat kemiskinan, ketidakadilan, proses pengkumuhan bagian-bagian kota, dan pertumbuhan ekonomi perkotaan yang timpang. Konsekuensinya butuh perwujudan hak atas kota (rights to the city), kemudahan aksesibilitas masyarakat terhadap berbagai sarana, prasarana dan jasa pelayanan kota, keterlibatan seluruh masyarakat, keadilan, dan tata kelola pemerintah yang baik (good governance).

Jumlah penduduk Indonesia yang menyesaki perkotaan telah mencapai 54 persen atau sekitar  129,6 juta orang  pada tahun 2012 (BPS, 2013). Angka ini melambung tinggi dibandingkankan hasil sensus penduduk 2010 yang baru 49,8 persen dari 237,6 juta penduduk.

Problematika Kota

Pembangunan di Indonesia secara umum masih mengindikasikan terjadinya ketimpangan spasial, sosial, dan sektoral. Pembangunan secara spasial nyata timpang antara Jawa dan Luar Jawa serta antara desa dan kota. Indeks ketimpangan wilayah menurut studi Sjarizal (2002) antara tahun 1995-2003 terus mengalami peningkatan.  

Pandangan neo klasik memperingatkan bahwa pembangunan dapat menyebabkan polarisasi wilayah, yaitu wilayah maju (development region) dan wilayah terbelakang (underdevelopment region) atau wilayah pusat (center) dan pinggiran (pherypery). Konteks Indonesia menunjukkan Pulau Jawa dan wilayah kota sebagai wilayah maju dan pusat, sedangkan Pulau Luar Jawa dan wilayah desa adalah wilayah terbelakang dan pinggiran.

Kota yang dijejali manusia hingga mencapai titik jenuh akan menurunkan daya dukung keruangannya. Penduduk semakin sulit mengakses kebutuhan dasar, seperti lahan bermukim, air bersih, lingkungan sehat, hingga mata pencaharian. Implikasi hal tersebut adalah hadirnya permasalahan kota yang semakin pelik. Kemiskinan terus merangkak naik, permukiman kumuh dan liar kian menjalar, pengangguran meninggi, kemacetan merajalela, penyakit sosial mewabah, dan lainnya.

Kota cenderung berkembang secara fisik dan ekonomis, tetapi menurun secara kultural dan ekologis. Kota menurut Sri Sultan Hamengku Buwono x seharusnya ibarat Ayodya atau tempat Sri Rama bertahta yang memberikan daya kenyamanan hidup.

Pembangunan kota telah memicu konversi lahan yang tidak terkendali. Akibatnya fungsi resapan air menurun drastis dan sebaliknya laju limpasan air permukaan meningkat tajam. Banjir melanda ketika hujan. Sebaliknya kekeringan menjadi hantu setiap kemarau. Berkurangnya lahan hijau dan meningkatnya kepemilikan kendaraan bermotor juga telah mengakibatkan polusi udara dan pemanasan mikro kota. Bencana visual akibat  kesemrawutan media iklan di jalanan ikut memperburuk kinerja layanan dan kenyamanan kota.  

Peta Jalan

Pemenuhan sarana dasar perkotaan penting diakomodasikan melalui penataan kota yang dibangun atas kepemimpinan yang visioner dan berwibawa, serta tata kelola perkotaan yang tangguh berbasis tata ruang. Manajemen pembangunan perkotaan membutuhkan dukungan dari seluruh komponen, baik komitmen pemerintah, partisipasi masyarakat, maupun kepedulian dunia usaha.

Kemampuan mengatasi masalah kota nampaknya tidak sebanding dengan perkembangan permasalahan. Permasalahan semakin kompleks dan menyebar seiring dengan laju urbanisasi yang tidak terbendung.

Hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010 mencatat persentase migran di perkotaan tiga kali lipat lebih besar migran di perdesaan. Data tersebut membuktikan teori demografi bahwa migran lebih banyak ke daerah perkotaan (urbanisasi). Alasan utama migrasi adalah mencari atau pindah pekerjaan serta sekolah atau kuliah (BPS, 2010).  

Urbanisasi menurut ilmu demografi disebabkan adanya push and pull factors. Desa mengalami tekanan (push) sedangkan kota melakukan tarikan (pull). Tekanan di desa disebabkan rendahnya produktifitas ekonomi terutama pertanian, meningkatnya angka kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, terbatasnya lapangan kerja, mandulnya regenerasi petani, minimnya fasilitas, dan lainnya.

Kota menarik antara lain dengan kesempatan kerja, banyaknya fasilitas, banyaknya perputaran uang, dan lainnya. Selama pembangunan desa dianaktirikan, maka urbanisasi akan menjadi bom waktu bagi kegagalan pembangunan kota. Upaya menghadang urbanisasi mesti didekati secara komprehensif, baik dari sisi kota sebagai tujuan maupun desa sebagai pemasok.

Pertama, perlu peningkatan produktifitas ekonomi di desa melalui pembukaan lapangan kerja, memperbanyak program padat karya, pengembangan agroindustri, penguatan pertanian modern, dan lainnya. Kedua, penyebaran pembangunan prasarana dasar, seperti perhubungan, pertanian, serta informasi dan komunikasi. Ketiga, mendorong transmigrasi dan migrasi spontan ke Luar Jawa. Keempat, pengembangan pusat pertumbuhan di daerah pinggiran. Kelima, perlu penggalakan kembali gerakan bangga suka desa dan bangga menjadi petani untuk mengurangi ketergantungan ekonomi ke kota.

Upaya menuju “Kota Untuk Semua” mesti disadari tidak bisa sekejap mata dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semua komponen mendesak untuk duduk bersama membicarakan secara intensif solusi permasalahan kota.

Output yang dibutuhkan adalah peta jalan yang sistematis dan komprehensif. Bentuknya dapat diakomodasi dalam master plan, rencana strategis, atau lainnya. RPJP, RPJM, RTRW, dan dokumen perencanaan pembangunan kota lainnya mesti disinkronkan dan direview bersamaan. Isu-isu strategis membutuhkan skala prioritas dan target penyelesaian. Misalnya kemacetan hingga kapan ditargetkan teratasi, kekumuhan kapan akan hilang, dan seterusnya. Siapa berbuat apa juga penting ditetapkan, sehingga tidak terjadi tanggung jawab ganda dan tidak ada yang lari tanggung jawab. “Kota Untuk Semua” dengan demikian akan terwujud jika tumbuh dan terlaksananya semangat “Semua Untuk Kota”.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun