Kemampuan mengatasi masalah kota nampaknya tidak sebanding dengan perkembangan permasalahan. Permasalahan semakin kompleks dan menyebar seiring dengan laju urbanisasi yang tidak terbendung.
Hasil Sensus Penduduk Indonesia 2010 mencatat persentase migran di perkotaan tiga kali lipat lebih besar migran di perdesaan. Data tersebut membuktikan teori demografi bahwa migran lebih banyak ke daerah perkotaan (urbanisasi). Alasan utama migrasi adalah mencari atau pindah pekerjaan serta sekolah atau kuliah (BPS, 2010).
Urbanisasi menurut ilmu demografi disebabkan adanya push and pull factors. Desa mengalami tekanan (push) sedangkan kota melakukan tarikan (pull). Tekanan di desa disebabkan rendahnya produktifitas ekonomi terutama pertanian, meningkatnya angka kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan, terbatasnya lapangan kerja, mandulnya regenerasi petani, minimnya fasilitas, dan lainnya.
Kota menarik antara lain dengan kesempatan kerja, banyaknya fasilitas, banyaknya perputaran uang, dan lainnya. Selama pembangunan desa dianaktirikan, maka urbanisasi akan menjadi bom waktu bagi kegagalan pembangunan kota. Upaya menghadang urbanisasi mesti didekati secara komprehensif, baik dari sisi kota sebagai tujuan maupun desa sebagai pemasok.
Pertama, perlu peningkatan produktifitas ekonomi di desa melalui pembukaan lapangan kerja, memperbanyak program padat karya, pengembangan agroindustri, penguatan pertanian modern, dan lainnya. Kedua, penyebaran pembangunan prasarana dasar, seperti perhubungan, pertanian, serta informasi dan komunikasi. Ketiga, mendorong transmigrasi dan migrasi spontan ke Luar Jawa. Keempat, pengembangan pusat pertumbuhan di daerah pinggiran. Kelima, perlu penggalakan kembali gerakan bangga suka desa dan bangga menjadi petani untuk mengurangi ketergantungan ekonomi ke kota.
Upaya menuju “Kota Untuk Semua” mesti disadari tidak bisa sekejap mata dan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semua komponen mendesak untuk duduk bersama membicarakan secara intensif solusi permasalahan kota.
Output yang dibutuhkan adalah peta jalan yang sistematis dan komprehensif. Bentuknya dapat diakomodasi dalam master plan, rencana strategis, atau lainnya. RPJP, RPJM, RTRW, dan dokumen perencanaan pembangunan kota lainnya mesti disinkronkan dan direview bersamaan. Isu-isu strategis membutuhkan skala prioritas dan target penyelesaian. Misalnya kemacetan hingga kapan ditargetkan teratasi, kekumuhan kapan akan hilang, dan seterusnya. Siapa berbuat apa juga penting ditetapkan, sehingga tidak terjadi tanggung jawab ganda dan tidak ada yang lari tanggung jawab. “Kota Untuk Semua” dengan demikian akan terwujud jika tumbuh dan terlaksananya semangat “Semua Untuk Kota”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H