[caption caption="Sumber Gambar: pemudatataruang.org"][/caption]
Mobilitas dan akses manusia terhadap jasa dan pelayanan sangat penting untuk menunjang fungsi kota yang efektif. Faktanya sebagian warga kota masih terkucilkan dari berbagai fasilitas kota akibat kemiskinan, ketidakadilan, proses pengkumuhan bagian-bagian kota, dan pertumbuhan ekonomi perkotaan yang timpang. Konsekuensinya butuh perwujudan hak atas kota (rights to the city), kemudahan aksesibilitas masyarakat terhadap berbagai sarana, prasarana dan jasa pelayanan kota, keterlibatan seluruh masyarakat, keadilan, dan tata kelola pemerintah yang baik (good governance).
Jumlah penduduk Indonesia yang menyesaki perkotaan telah mencapai 54 persen atau sekitar 129,6 juta orang pada tahun 2012 (BPS, 2013). Angka ini melambung tinggi dibandingkankan hasil sensus penduduk 2010 yang baru 49,8 persen dari 237,6 juta penduduk.
Problematika Kota
Pembangunan di Indonesia secara umum masih mengindikasikan terjadinya ketimpangan spasial, sosial, dan sektoral. Pembangunan secara spasial nyata timpang antara Jawa dan Luar Jawa serta antara desa dan kota. Indeks ketimpangan wilayah menurut studi Sjarizal (2002) antara tahun 1995-2003 terus mengalami peningkatan. Â
Pandangan neo klasik memperingatkan bahwa pembangunan dapat menyebabkan polarisasi wilayah, yaitu wilayah maju (development region) dan wilayah terbelakang (underdevelopment region) atau wilayah pusat (center) dan pinggiran (pherypery). Konteks Indonesia menunjukkan Pulau Jawa dan wilayah kota sebagai wilayah maju dan pusat, sedangkan Pulau Luar Jawa dan wilayah desa adalah wilayah terbelakang dan pinggiran.
Kota yang dijejali manusia hingga mencapai titik jenuh akan menurunkan daya dukung keruangannya. Penduduk semakin sulit mengakses kebutuhan dasar, seperti lahan bermukim, air bersih, lingkungan sehat, hingga mata pencaharian. Implikasi hal tersebut adalah hadirnya permasalahan kota yang semakin pelik. Kemiskinan terus merangkak naik, permukiman kumuh dan liar kian menjalar, pengangguran meninggi, kemacetan merajalela, penyakit sosial mewabah, dan lainnya.
Kota cenderung berkembang secara fisik dan ekonomis, tetapi menurun secara kultural dan ekologis. Kota menurut Sri Sultan Hamengku Buwono x seharusnya ibarat Ayodya atau tempat Sri Rama bertahta yang memberikan daya kenyamanan hidup.
Pembangunan kota telah memicu konversi lahan yang tidak terkendali. Akibatnya fungsi resapan air menurun drastis dan sebaliknya laju limpasan air permukaan meningkat tajam. Banjir melanda ketika hujan. Sebaliknya kekeringan menjadi hantu setiap kemarau. Berkurangnya lahan hijau dan meningkatnya kepemilikan kendaraan bermotor juga telah mengakibatkan polusi udara dan pemanasan mikro kota. Bencana visual akibat kesemrawutan media iklan di jalanan ikut memperburuk kinerja layanan dan kenyamanan kota. Â
Peta Jalan
Pemenuhan sarana dasar perkotaan penting diakomodasikan melalui penataan kota yang dibangun atas kepemimpinan yang visioner dan berwibawa, serta tata kelola perkotaan yang tangguh berbasis tata ruang. Manajemen pembangunan perkotaan membutuhkan dukungan dari seluruh komponen, baik komitmen pemerintah, partisipasi masyarakat, maupun kepedulian dunia usaha.