Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cukup Togog Mbilung Saja yang Mengalami

20 November 2024   19:41 Diperbarui: 20 November 2024   20:22 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Tak peduli lagi petuah-petuah bijak guru, yang mungkin kalau di era media sosial telah disematkan sebagai kata-kata hari ini di akun mereka. Bagi mereka, kata-kata hari ini hanya hiburan receh atau bahkan sekadar ujaran orang-orang yang kalah. Sambil meledek, mulut mereka mudah saja menyemburkan ludah. Cuh!

Lantas, sakit hatikah Geng Togog? Untungnya tidak. Mungkin lebih tepatnya tidak sempat. Dalam situasi seperti itu, Togog dan Mbilung memilih menyingkir dari keriuhan. Yang penting, tugas telah mereka laksanakan. Soal hasil, bukan mereka penentunya. 

Pembaca yang berhati penuh cahaya, tak terbayang sungguh kepahitan nasib Togog dan Mbilung. Bagaimana perasaan mereka yang selalu gagal mengajarkan kebijaksanaan, kira-kira? Tak cukup sekali, berkali-kali. Diulang dan terus berulang. 

Saya---dan tentu saja Anda, pembaca yang budiman---tidak menghendaki yang demikian. Cukuplah gambaran kisah pewayangan itu menjadi pengajaran dan pengingat, agar tidak terjadi yang demikian pada kita, pada pemimpin-pemimpin kita. Siapa pun itu nanti.

Sebab, dalam sebuah catatan yang ditulis Seno Gumira Ajidarma (2012) menyebutkan, Panakawan merupakan representasi dari rakyat kalangan bawah. Perannya, menghibur, mengasuh, membimbing, dan menjaga para ksatria yang berkuasa, yang pada masa krisis rupanya panakawan ini dianggap sahih menggunakan cara-cara eksterm. 

Atau, meminjam istilah Bing Bedjo Tanudjaja (2022), Panakawan merupakan dialektika kultural sekaligus kesadaran kolektif rakyat pinggiran yang tidak memiliki akses kepada jalur birokrasi kekuasaan. Sehingga, memungkinkan bagi ruang kritik karikatural atas ketidakpatuhan dan dorongan bagi sikap kekuasaan yang diarahkan pada bentuk egalitarian. 

Tentu, kita semua berharap yang terbaik dari hasil Pilkada 2024. Seperti yang juga diharapkan mas Ketua KPU Kota Pekalongan saat membaca naskah sambutan dari gawainya. Bahwa, kita semua mesti mampu mengambil gambaran tokoh-tokoh protagonis dari kisah-kisah pewayangan. Tujuannya, demi mewujudkan cita-cita bersama atas Kota Pekalongan yang kita cintai. 

Yuk, kita jaga bersama penuh kasih sayang dan rasa cinta yang membawa damai. Bijaksanalah dalam bersikap. Cerdaslah dalam menentukan arah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun