Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Sastra Bukan Lagi Domain Guru Bahasa Indonesia

16 Juli 2024   00:23 Diperbarui: 16 Juli 2024   00:56 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hawa udara siang itu memaksa saya minum es teh jumbo dua gelas plastik ukuran besar. Padahal, kipas angin yang terpasang di dinding ruang kerja sudah disetel pada angka paling tinggi. Tetapi, rasa-rasanya tak cukup mampu mengusir rasa gerah.

Belum selesai dengan masalah hawa udara, rupa-rupanya ada yang tiba-tiba mengajak diskusi lewat japrian. Otomatis, isi kepala bakalan panas nih! Tapi, tak mengapa toh diskusinya juga seru, walau hanya lewat berbalas pesan singkat via WhatsApp.

Semula, penjapri yang mohon maaf tidak bisa saya sebut namanya itu mengirim sebuah potongan video. Tampak pada potongan video itu wajah Prof. Dr. Bambang I. Sugiharto, guru besar di bidang filsafat kebudayaan, Universitas Katolik Parahyangan. Beliau sedang berceramah mengenai pentingnya membaca novel.

Kemudian, penjapri yang seorang guru di salah satu sekolah di kawasan selatan Pekalongan itu menyusulkan teks pesan. "Bagaimana mengenalkan NOVEL pada Gen Tiktok?", begitu tulisnya. Pertanyaan itu membuat saya tertarik dan tertantang untuk menyampaikan argumentasi. Setidaknya, memberikan jawaban-jawaban logis yang dapat diterima oleh sahabat saya yang satu ini.

Benak saya berpikir, karena sahabat saya ini seorang guru, jawaban saya tentunya mesti bersentuhan juga dengan dunia yang digelutinya. Saya ketik saja, "Lewat pembelajaran di sekolah, Pak guru. Kalau tidak dipaksa lewat jalur pendidikan formal agaknya sulit."

Jawaban itu spontan saja saya tuliskan. Belum terbesit tentang topik yang beberapa waktu lalu sempat menghangat, yaitu tentang Sastra Masuk Kurikulum. Yang saya pikirkan, karena ruang yang paling memungkinkan untuk melakukan hal itu adalah sekolah. Memang, bisa juga di keluarga alias rumah. Akan tetapi, dalam rabaan hitungan saya, peluang itu terlalu kecil dan nyaris mustahil dilakukan. Sebab, tidak banyak masyarakat negeri kaya dongeng ini yang memiliki koleksi buku novel di rumahnya. Dalam satu kampung, jumlahnya tidak melebihi jari di kedua tangan. Bahkan, mungkin saja dalam satu kampung tak satu pun rumah yang mengoleksi buku novel. Apakah itu salah?

Saya tidak bisa menyalahkan. Juga tidak bisa menganggap hal itu sebagai sesuatu yang benar. Tetapi, saya kira memaksa keadaan yang sudah kadung krodit agar kembali pada rel yang semestinya juga akan sangat sulit. Maka, salah satu jalan yang bisa dilalui adalah dengan melahirkan kebiasaan baru kepada generasi selanjutnya. Mengapa begitu?

Problem tiap-tiap rumah sudah begitu kompleks dan ruwet. Dapat bekerja sebagai pekerja serabutan saja sudah sangat bersyukur, bagi masyarakat yang dikelaskan di bawah oleh sistem. Kondisi ini diperparah pula dengan cara pandang yang serba pragmatis. Sebuah cara pandang yang sependek pengamatan saya, juga disebabkan oleh sistem yang telah melahirkan kesenjangan kelas sosial.

Lalu, bagaimana dengan masyarakat yang telah memasuki tahap tertib sosial? Saya tidak tahu. Kalaupun saya tahu, tentu yang saya ketahui masih sangat terbatas. Maka dari itu, sepertinya sudah menjadi kebutuhan mendesak bagi negara untuk melakukan semacam survei mengenai kebiasaan membaca pada kelompok ini. Dikaitkan pula dengan cara berpikir mereka di dalam mengambil keputusan dan tindakan. Supaya jelas, seperti apa gambaran kebiasaan membaca di negeri ini, sebagaimana dinyatakan pula oleh kawan diskusi saya kali ini, "Sayang, minat baca anak sekarang (mungkin juga ini fenomena masyarakat Indonesia sepanjang zaman) kurang."

Lalu, saya kembali melanjutkan ketikan pesan yang saya balaskan kepada sahabat saya itu. "Problemnya, tidak seluruh guru mau melakukan itu. Sementara waktu, ada pemahaman yang boleh saya katakan keliru mengenai karya sastra dalam dunia persekolahan kita, Pak guru. Yaitu, sastra dianggap sebagai domainnya guru mapel bahasa Indonesia. Pemahaman itu menggiring guru-guru mapel lain enggan menyentuh sastra."

Melalui jawaban itu, sesungguhnya saya sekaligus ingin menyampaikan, bahwa pola pengajaran di bangku-bangku sekolah cenderung masih terkotak-kotak (saya katakan cenderung, karena mungkin saja sudah ada sekolah yang tidak demikian). Pola itu sebenarnya tinggalan sistem pengajaran ala kolonial. Di era sebelum para juragan berambut pirang datang ke negeri ini, sistem pengajaran tidak demikian. Bidang-bidang keilmuan tidak dikotakkan atau bahkan dikalengkan sendiri-sendiri dengan label a, b, c, dan seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun