Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nasib Sebatang Pohon

21 Januari 2024   03:51 Diperbarui: 21 Januari 2024   05:40 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebatang pohon termangu di gelap malam. Pikirannya menerawang pada bayang-bayang pekat himpunan awan yang menutupi cahaya bintang-bintang. Hatinya, digerogoti cemas, hingga perlahan-lahan rantingnya berpatahan. Begitu pula cabang-cabangnya yang lunglai. Adapun dedaunan, tak lagi tegak pada tangkainya. Warnanya muram.

Lalu, apa yang membuatnya demikian mengurungkan kesegaran daya hidup? Ricik air pada sungai kecil di sebelah pohon itu mengandung pertanyaan-pertanyaan. Mereka berhimpun, berbisik-bisik lirih, membicarakan kemurungan sebatang pohon tua di tepi sungai. Saling menanya, apakah gerangan yang memurungkan wajah pohon tua itu.

Datanglah air, mendekat pada pohon itu. Menumpu pada ujung daun rumput yang segar. Menopangkan badannya, lalu bertanya, "Tidak biasanya aku melihatmu semurung ini, hingga kehilangan kegagahan batangmu. Ada apa, sahabatku?"

Lekas-lekas pohon tua itu membenahi diri. Menegakkan batangnya. Menegakkan daun-daunnya. Tetapi, tetap saja kemurungan itu tak sanggup ia sembunyikan.

Baca juga: Sebatang Pohon Tua

"Hei, apakah aku mengganggumu?" tegur air.

"Ah tidak," balas pohon tua itu.

"Lalu, mengapa kau tampak gusar begitu?" sergah air.

"Tak apa-apa. Aku baik-baik saja," jawab pohon tua.

"Sudahlah, jangan kau berusaha membohongi. Aku bisa menangkap kemuraman pada dirimu. Lihatlah, wajahmu di permukaan air. Kau tampak kehilangan daya, sahabatku," ucap air.

Kali ini pohon tua itu tak sanggup mengelak lagi. Apa yang disangkakan air padanya, semua benar belaka. Tetapi, untuk menceritakannya, ia belum benar-benar mau. Ia masih berusaha menyembunyikan semua rahasia itu dari air. Banyak pertimbangan yang mesti ia perhitungkan akibatnya, jika apa yang sempat ia dengar itu dikatakannya pada air.

Sementara, air masih setia menemani. Walau susah payah ia bergayutan pada ujung daun rumput. 

"Air, apa kau tak punya pekerjaan malam ini?" tanya pohon tua mengalihkan perhatian.

"Pertanyaan yang aneh. Tidak biasanya kau menanyakan itu padaku. Bukankah, apa yang aku lakukan tak pernah luput dari perhatianmu? Kami tak mengenal hari libur, sobat? Sedetik pun tak ada. Lalu, mengapa tiba-tiba kau tanyakan? Ada apa sesungguhnya?" ucap air menyelidik. Ia makin curiga dengan tingkah aneh pohon tua di hadapannya itu.

"Ah, maafkan. Aku ngelantur," kilah pohon tua.

Nyaris pecah tawa air, saat itu. Tingkah pohon tua itu makin lucu. Tetapi, air cukup tahu diri. Ia menahan tawanya agar tak membuat hati sang pohon tua itu rantas dan patah. 

Dan, diam-diam, air sebenarnya telah mengetahui perihal apa yang membuat pohon tua itu kehilangan pesonanya. Siang tadi, tanah menyiarkan kabar kepadanya. Bahwa, besok, begitu matahari naik sepenggal, seluruh pohon yang berdiri tegak di atas tanah itu akan mengakhiri hidupnya. Konon, sekelompok manusia yang berkuasa merencanakan sebuah pembangunan gedung mewah berlantai 30. Konon lagi, gedung itu akan dijadikan semacam kondominium. Tempat tinggal para konglomerat di kota ini.

"Aku sudah mendengar semuanya, sahabatku. Aku maklum. Tetapi, aku pikir, tidak ada jalan lain bagi makhluk seperti kita ini, selain menuruti kodrat hukum alam. Sudahlah, jangan terlalu membebani dirimu dengan apa-apa yang tak perlu kau pikirkan," bujuk air.

"Jadi, kau sudah mendengar?"

"Ya!"

"Lalu, bagaimana menurutmu?"

"Kita punya Tuhan. Serahkan saja semua keputusan pada-Nya," jawab air.

Pohon terdiam. Menunduk. Ucapan air benar adanya. Tak terbantah. Tetapi, benak pohon tua itu masih dihinggapi rasa khawatir yang lain. Ia bimbang, apakah perlu atau tidak, untuk menyampaikan kekhawatirannya itu pada sahabat karibnya, air.

"Sudahlah. Jangan terlalu dipikir. Sambutlah masa akhirmu itu dengan kebahagiaan. Toh, bukankah selama puluhan tahun kau telah banyak melakukan kebaikan kepada siapa saja, kepada apa saja?" ucap air menyergah.

"Kau benar. Tak perlu memang, memikirkan hal-hal itu. Tetapi...," ucapan itu terhenti seketika. Pohon tua itu masih menimbang-nimbang kebimbangannya. 

"Apalagi?"

"Ah, tidak. Aku tidak ingin memikirkannya."

"Kalaupun kau pikirkan, toh sia-sia bukan?" 

Pohon tua itu kembali diam. Di medan hatinya, bertarunglah antara kemauan dan keragu-raguannya. Berkali-kali kemauannya itu ditinju oleh sikap ragu-ragunya, hingga jatuh dan bangun. Bangkit melawan, lalu jatuh lagi. Bangun, bangkit dan dihantam lagi. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya, dalam keadaan babak belur, kemauan yang bersarang di hatinya, tak lagi memedulikan rasa perih akibat luka-luka hasil pukulan maut keragu-raguan. Dalam pedihnya, ia akhirnya bersuara. 

Pohon tua itu merundukkan batangnya, lalu berbisik lirih pada air, "Wahai sahabatku, dengarkan aku. Sebelum hari terakhir perjumpaan kita, aku ingin menyampaikan satu permohonan kepadamu. Maukah kau memenuhi?"

"Permintaan? Kau ini aneh!"

"Dengarkan aku dulu, sahabatku! Aku serius!" ucap pohon menggertak.

Sontak, air terperanjat. Nyaris ia jatuh terpelanting dari ujung daun rumput. Untung, ia cukup kuat berpegang. 

"Oke, oke! Aku akan mendengarmu! Tapi, tolong jangan bikin aku jantungan, sahabatku!"

"Maaf, kalau agak meledak tadi. Aku kesal. Karena sejak tadi aku hanya bisa menahan. Karena, sesungguhnya ada sesuatu yang ingin sangat aku katakan padamu," ucap pohon terbata-bata.

Air hanya melongo. Lalu, dengan tampanya yang tampak polos itu ia berkata, "Katakanlah!"

"Sahabat, ini bukan soal kehilangan daya hidup. Bukan itu, sahabatku. Sebagai makhluk yang oleh sebagian manusia dipandang remeh, kami tak kuasa melawan takdir. Apalagi setelah penguasa bangsa manusia itu memutuskan, bahwa kami akan dihabisi besok pagi demi proyek mereka. 

"Aku tak bisa membayangkan, bagaimana kematian kami akan sangat menyakitkan dan memedihkan hati. Tubuh kami dipotong dengan gergaji mesin, akar kami dicabut, dan batang, cabang, juga ranting-ranting kami akan mereka cincang menjadi potongan-potongan kecil. Tak hanya itu, nasib kami juga akan dihabiskan dalam nyala api. 

"Sementara, kau tahu sendiri, bahwa selama ini, kami hanya menjalankan apa yang dititahkan Yang Maha Pencipta. Bahwa kami harus melindungi manusia dari segala mara bahaya yang mengancam. Membendungmu, menahan gerak tanah, mengalirkan kesegaran udara di saat hawa panas, dan menjadi peneduh bagi pandang mata dan tubuh manusia. 

"Tetapi, tugas itu akan segera diakhiri. Kami semua akan binasa, setelah matahari terbit di langit timur. Kami tak bisa membela diri. Tak ada pengacara yang membela kami. Tak ada hakim yang mau mendengar kami. Padahal, palu yang mereka gunakan adalah potongan kecil kami.

"Pun tak sanggup kami menyatakan keberatan kepada Sang Pencipta. Kami tak mampu. Maka, aku mohon kau dengar baik-baik permintaanku ini, wahai air. 

"Setelah semua lenyap dari tanah ini, aku mohon agar kau selalu menahan diri. Jangan sampai kau luapkan semua amarahmu kepada manusia dengan banjir atau tanah longsor, atau apapun itu. Kasihan manusia, mereka tidak cukup mampu mengatasi amarahmu, air. Aku mohon, kasihani mereka. Dan, perlu kau tahu. Permintaanku ini juga telah aku sampaikan kepada tanah dan angin. Agar mereka selalu bersabar melayani keinginan manusia," ucap pohon.

Mendadak air termangu-mangu. Ia tak percaya akan perkataan pohon. Aliran yang semula menderas, melamban dan nyaris tak bergerak. Membuat sungai kecil itu penuh.

"Hei, kenapa kau malah membanjiri tanah tempat kami berdiri? Sudahlah, kalian berjalan saja sewajarnya. Lupakan perkataanku tadi. Anggaplah, besok hanyalah perpisahan sementara. Mungkin, kelak Tuhan menempatkan kita di surga yang sama. Sekarang, aku ingin tidur sejenak. Dan kau, jangan basahi tanahku," ucap pohon.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun