"Sudahlah. Jangan terlalu dipikir. Sambutlah masa akhirmu itu dengan kebahagiaan. Toh, bukankah selama puluhan tahun kau telah banyak melakukan kebaikan kepada siapa saja, kepada apa saja?" ucap air menyergah.
"Kau benar. Tak perlu memang, memikirkan hal-hal itu. Tetapi...," ucapan itu terhenti seketika. Pohon tua itu masih menimbang-nimbang kebimbangannya.Â
"Apalagi?"
"Ah, tidak. Aku tidak ingin memikirkannya."
"Kalaupun kau pikirkan, toh sia-sia bukan?"Â
Pohon tua itu kembali diam. Di medan hatinya, bertarunglah antara kemauan dan keragu-raguannya. Berkali-kali kemauannya itu ditinju oleh sikap ragu-ragunya, hingga jatuh dan bangun. Bangkit melawan, lalu jatuh lagi. Bangun, bangkit dan dihantam lagi. Begitu seterusnya. Sampai akhirnya, dalam keadaan babak belur, kemauan yang bersarang di hatinya, tak lagi memedulikan rasa perih akibat luka-luka hasil pukulan maut keragu-raguan. Dalam pedihnya, ia akhirnya bersuara.Â
Pohon tua itu merundukkan batangnya, lalu berbisik lirih pada air, "Wahai sahabatku, dengarkan aku. Sebelum hari terakhir perjumpaan kita, aku ingin menyampaikan satu permohonan kepadamu. Maukah kau memenuhi?"
"Permintaan? Kau ini aneh!"
"Dengarkan aku dulu, sahabatku! Aku serius!" ucap pohon menggertak.
Sontak, air terperanjat. Nyaris ia jatuh terpelanting dari ujung daun rumput. Untung, ia cukup kuat berpegang.Â
"Oke, oke! Aku akan mendengarmu! Tapi, tolong jangan bikin aku jantungan, sahabatku!"