Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sebatang Pohon Tua

31 Oktober 2023   01:28 Diperbarui: 31 Oktober 2023   17:31 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelan, Ki Ageng Wanenpati mulai membuka suara, “Seekor kerbau yang marah, lalu mengamuk, tenaganya akan berlipat-lipat. Sulit ditaklukkan. Tidak mudah pula dilawan. Kecuali, oleh pawangnya. Itu pula yang pernah terjadi, ketika pemuda Tingkiran itu menggugat Kesultanan Demak, Dhimas.”

Ki Ridong masih terdiam.

“Sayangnya, kita bukan pawang itu, Dhimas.”

“Lalu?” balas Ki Ridong dengan suara yang mengambang.

“Kau tahu, saat ini laskar-laskar Jawa berpencar. Sebagian masuk hutan. Sebagian ke gunung. Sementara, jalur-jalur penghubung kita diputus. Begitu pula dengan istana, mereka susupi. Makin sempit ruang gerak kita, Dhimas,” jelas Ki Ageng Wanenpati.

Ki Ridong mengangguk. Berusaha menangkap keresahan orang yang sangat dihormatinya itu. Tak hanya sempit, segalanya serba terapit. Segalanya menjadi rumit. Serba sulit.

Seorang telik sandi tiba menghampiri. Tergopoh-gopoh ia mengantarkan kabar, bahwa serdadu VOC tinggal sejengkal menuju dukuh tempat sembunyi mereka.

Tak lagi berpanjang pikir, Ki Ageng Wanenpati memutuskan. Dukuh tempat sembunyi mereka harus segera ditinggalkan, malam itu juga. Orang-orang dihimpun. Berbagai bekal dibawa. Juga persenjataan yang cukup. Lalu, diperintahnya pula beberapa orang untuk membakar seisi dukuh itu.

Bagai sebuah pesta, nyala api itu menari-nari sambil menjilati apa saja yang ada di dekatnya. Melumat seluruh isi dukuh. Dari ketinggian, sejenak Ki Ageng Wanenpati dan pengikutnya menyaksikan tarian api itu seraya menyampaikan salam perpisahan kepada dukuh itu. Lalu, melanjutkan perjalanan.

Keesokan pagi, di antara rerimbun Alas Jajarwuluh, di dekat bantaran sungai, mereka mengistirahatkan badan. Ki Ageng Wanenpati duduk meneduh di bawah naungan sekumpulan pokok bambu. Kerisik daun-daun yang saling bergesek oleh tiupan angin cukup menenangkannya. Memberi daya pada tubuh lelah, selepas menempuh perjalanan malam yang dingin dan lembab. Sementara, sahutan kicau burung menambah kesan tenteram pada jiwa yang tengah digusarkan oleh ketakpastian.

“Dhimas, kemarilah!” seru Ki Ageng Wanenpati kepada Ki Ridong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun