Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Bahasa dan Kecerdasan Manusia

10 Oktober 2023   23:54 Diperbarui: 30 Oktober 2023   16:26 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku tahu, kau pasti sedang menunggu kedatanganku. Bukan ingin membedah otakku kan? Syukurlah. Karena otakku tak seistimewa otak Eistein yang diawetkan itu. 

Aku sendiri kadang heran, untuk alasan apa otak Einstein diawetkan dan dimuseumkan? Yang lebih gilanya lagi, potongan organ otak orang yang berjuluk si jenius itu disimpan dalam guci sampai hari ini, sejak ia meninggal tahun 1955 silam.

Mulanya, seorang ahli patologi, Thomas Harvey namanya, mengangkat otak penemu rumus energi itu tanpa sepengetahuan pihak keluarga, sebelum jasad ilmuwan itu dikremasi. 

Lalu, Thomas memotong organ otak itu menjadi 240 bagian. Empatpuluh enam potongan diberikan Harvey kepada koleganya, William Ehrich. Sebagiannya disimpan Harvey di rumahnya dan ada pula yang didonasikan kepada museum patologi Mutter di Philladephia. 

Memang, alasan Harvey cukup bisa dipertanggungjawabkan. Ia ingin meneliti keistimewaan yang dimiliki organ otak si jenius yang memiliki lebih dari 248 dokumen karya penelitian itu.

Tetapi begitulah manusia. Semakin pintar ia, semakin "gila" pula ide dan tingkahnya. Meski begitu, tidak semua orang pintar itu "gila".

Ah! Lupakan soal otak Einstein. Sekarang, aku ingin membuka pintu nalarmu melalui sebuah kisah. Dari kisah ini, sejatinya aku ingin mengatakan padamu tentang pentingnya memahami hakikat bahasa. 

Aku tak ingin banyak membuatmu membuka buku-buku teori, karena aku tahu, hal itu membosankan untukmu. Dan aku tahu, kau lebih suka aku bercerita ketimbang aku berceramah tentang hal-hal yang tak ingin engkau ketahui. Apalagi tentang bahasa.

Bagi orang-orang sepertiku, belajar memahami bahasa itu penting. Tetapi, apapun alasannya, aku yakin, kau tak ingin mengetahuinya. Kau hanya membutuhkan sebuah ruang untuk kita bisa saling ngobrol. 

Ngobrol tentang apa saja. Yang jelas, bukan tentang hal-hal yang "dibikin rumit". Dan tahukah kamu, ngobrol adalah obat mujarab bagi siapa saja yang sakit.

Ah, percuma saja aku terangkan. Yang penting, saat ini kau kupaksa membaca kisah yang kutulis ini. Selamat menikmati, selamat membayangkan kisah ini.

Di tengah-tengah perjalanan sebuah kapal pesiar, secara tiba-tiba ombak bergulung dahsyat menghantam bagian depan kapal itu. Tak pelak, kapal itu terguncang. Orang-orang di dalam kapal terkejut. Mereka saling pandang dan bertanya-tanya, apa gerangan yang tengah menimpa kapal mereka.

Tak berselang lama, terdengar suatu kabar yang disiarkan melalui pelantang suara yang terpasang di beberapa sudut ruang dan koridor kapal pesiar yang mewah itu. Dari corong pelantang suara awak kapal itu terdengar begitu tenang. Seolah-olah tak ada sesuatu hal yang merisaukan.

"Mohon perhatian. Seluruh penumpang kapal, bahwa guncangan kapal yang terjadi beberapa menit lalu hanya masalah teknis. Salah satu baling-baling kapal terganggu oleh ganggang yang tumbuh liar di laut. 

Untuk saat ini, kondisi baling-baling telah kembali normal setelah kami memperbaikinya. Sekali lagi, kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. 

Kami berharap agar seluruh penumpang kembali tenang dan silakan menikmati kembali perjalanan liburan Anda bersama kami Dewa Ruci ekspress." Demikianlah suara awak kapal itu terdengar.

Setiap kata yang diucapkan awak kapal itu tak satupun terdengar tekanan. Nada suaranya begitu datar, seolah ingin menunjukkan sikap santun. Ucapan sang awak kapal itu begitu menenangkan bahkan terasa demikian teduh.

Dari setiap kata dan cara pengucapannya, patut diduga bahwa awak kapal itu adalah orang yang terlatih dan memiliki intelektual yang cukup tinggi. Bagaimana tidak, kapal pesiar mewah tempatnya bekerja itu hanya ditumpangi oleh orang-orang berkelas. 

Rata-rata, mereka adalah para pebisnis papan atas, pejabat pemerintahan yang memiliki posisi sangat penting, politisi senior yang intelek, juga kaum pemikir kaliber dunia. 

Bagi awak-awak kapal atau pekerja kasar di kapal, mereka itu dianggap sebagai jenis orang-orang yang cukup "merepotkan". Apalagi kalau sampai mereka mengadu. Bisa muncul masalah besar yang berakibat buruk pada nasib awak-awak kapal.

Pernah suatu ketika, seorang awak kapal di-PHK oleh perusahaan hanya karena menumpahkan minuman pada jas seorang asisten menteri. 

Asisten itu marah-marah dan tak sudi menerima permintaan maaf si awak kapal. Bahkan menolak permintaan maaf dari wakil perusahaan yang berada di dalam satu kapal.

Kemarahan itu hanya dipicu oleh rasa malu asisten menteri itu, karena mengenakan jas yang basah. Atas rasa malunya itu, ia lekas-lekas menelepon pemilik perusahaan maskapai kapal itu, dan meminta agar segera membina si awak kapal. 

Asisten itu juga mengancam akan membawanya ke meja pengadilan bahkan berencana pula akan mengajukan masalah itu sampai di meja sidang DPR jika masalah itu tak diselesaikan.

Benar saja. Tak perlu menunggu lama, masalah kecil itu menjadi besar. Asisten menteri itu memanfaatkan media untuk menghancurkan citra dari perusahaan kapal itu. Ia berkoar di koran, majalah, televisi bahkan di media-media online.

Dalam jumpa pers yang digelarnya, asisten menteri itu berkata, "Perusahaan pelayaran kapal pesiar megah yang bernama Dewa Ruci itu telah menghina saya. 

Saya yang semula membanggakan kebesaran nama perusahaan itu dihina pihak perusahaan karena ternyata mereka memelihara para pekerja yang tidak profesional. Ini tamparan buat saya! Karena dulu, sayalah orang pertama yang memberi jaminan pada mereka. Untuk itu, perusahaan ini harus segera ditutup!"

Kontan, setelah jumpa pers itu digelar, masalah itu pun menarik perhatian sejumlah pejabat dan politisi yang duduk di DPR. Seketika pula, masalah itu diagendakan dalam sidang DPR. Dari sidang itu, muncul wacana agar perusahaan kapal itu dibekukan. Tentu, banyak alasan yang dibuat atau sengaja dibuat-buat.

Tak mau kalah dan tak mau salah, pihak perusahaan pun segera ambil langkah. Perusahaan memberikan sebuah paket khusus bagi para pejabat dan politisi. Berpesiar dengan gratis sekaligus bonus uang saku. 

Ya, hanya dengan istilah 'gratis' dan 'bonus', semua masalah dapat diselesaikan. Perusahaan tak jadi dibekukan. Tetapi, pembekuan dilakukan hanya pada awak kapal yang menumpahkan minuman itu.

Prak! Terasa ditampar sudah. Awak kapal itu melenggang kaki keluar dari pintu perusahaan dengan langkahnya yang gontai. Tak ada yang bisa diperbuat, selain menyesali apa yang telah terjadi. 

Sesampainya di rumah, kata-kata yang diucapkan asisten menteri dan juga bosnya terngiang. Ia lalu seperti kehilangan obor hidupnya. Kegairahan hidupnya tiba-tiba redup.

Pengalaman pahit nasib seorang awak kapal itulah yang kemudian membimbing awak kapal si pemilik suara yang menyejukkan itu. Ia tak mau bernasib sama dengan kawannya yang telah di-PHK itu. 

Makanya, ia segera mencari tahu bagaimana cara melayani penumpang-penumpang yang bawel itu. Ya, penumpang-penumpang yang suka bikin masalah.

Mungkin sebuah kebetulan yang beralasan, awak kapal yang satu ini memang memiliki kebiasaan membaca buku yang terjaga. Biasanya, ia akan menyempatkan diri untuk membaca, mungkin hanya satu atau dua halaman dari buku bacaannya itu, di sela-sela waktu istirahatnya. 

Terutama saat ia tinggal di kapal untuk beberapa lama. Ia paling suka membaca karya-karya filsafat, selebihnya ia membaca novel. Dan, di setiap buku-bukunya selalu terselip kertas pembatas yang menandai halaman yang sedang ia baca. Kertas itu putih dan bertulis, 'Kata adalah senjata paling ampuh. Ia bisa membuatmu tunduk atau bahkan binasa.'

Kini, saat ia harus berhadapan dengan orang-orang bawel itu, ia tahu bagaimana harus bersikap. Ia harus mampu tampil memukau, walau hanya lewat kata-kata. 

Sebab, kata-kata ibarat mantra yang mampu menyihir siapa saja untuk tunduk atau tanpa sadar untuk menjadi binasa. Begitu pula saat ia menghadapi situasi yang serba menegangkan itu. Ia merasa telah melakukan sesutu yang baik walau mungkin tidak selamanya baik itu benar. Setidaknya, ia telah membuat suasana menjadi terkendali tanpa ada kekacauan.

Sementara para penumpang menjadi tenang, di ruang kemudi kapal, sang nakhoda justru tampak gelisah. Tangannya yang masih menggenggam teropong tampak bergetar. Tatapan matanya yang biasanya menunjukkan sikap percaya diri yang tinggi dan berwibawa berangsur pudar. 

Seolah-olah ia tengah berhadapan dengan sesuatu yang mengerikan. Sesuatu yang sangat menakutkan. Ini kali pertamanya, sang nakhoda merasa takut yang amat sangat. Pengalamannya selama dua puluh tahun dan segudang prestasinya yang gemilang dalam menakhodai kapal seolah tak mampu ia banggakan lagi. 

Semua itu menjadi sia-sia. Tak ada artinya lagi gelar nakhoda terbaik sedunia yang disandangnya bertahun-tahun. Tak ada artinya lagi bintang jasa yang menjubeli seragamnya itu. Sama sekali tak ada artinya.

Sesuatu yang lebih besar dari apa yang dibanggakannya kini tepat berada di depannya. Ya, dengan kecepatan yang tak terprediksi ombak yang amat besar dengan ketinggian duapuluh meter itu mendadak muncul di depan kapal itu. 

Hanya berjarak tiga kilometer. Sebuah jarak yang amat pendek bagi kapal pesiar yang tengah melaju dengan kecepatan normal sekalipun. Mustahil untuk memutar haluan dan menghindar. Apalagi pantauan radar kapal menangkap sinyal jika kecepatan laju ombak itu mencapai lima puluh kilometer per jam. 

Artinya, hanya dibutuhkan waktu tiga menit tigapuluh enam detik bagi ombak itu untuk menggulung kapal pesiar mewah itu. Sedang kecepatan laju kapal itu empatpuluh kilometer per jam. Itu artinya, kapal hanya memiliki waktu limapuluh empat detik untuk diselamatkan.

Tetapi, hitungan itu tak selamanya menetap. Sebab waktu terus bergulir tanpa henti. Jarak antara kapal pesiar dan ombak itu kian memendek. Setiap detik jarak mereka terus memendek. 

Satu detik bagi laju ombak sama artinya sembilan meter lebih mendekati kapal. Satu detik bagi kapal sama artinya tujuh meter lebih makin dekat dengan gulungan ombak. "Limapuluh empat detik sisa waktu tak lebih sekadar hitungan yang sia-sia," batin sang nakhoda.

Seluruh awak kapal yang berada di sekeliling nakhoda pun tercekat. Diam tanpa satu kata pun tersuara. "Jarak kita sesungguhnya hanya enampuluh tiga meter. Itu artinya kita punya waktu sembilan detik untuk berdoa," ucap lirih sang nakhoda. 

Sambil menggenggam erat dadanya, sang nakhoda menunduk berdoa. Ia menekan dengan sangat dadanya, menekan agar airmatanya tak menetes. Berusaha tegar dan lapang menerima kenyataan. Lalu, dalam sekelebat, angannya melayang. Dalam gambaran ruang imajinya, ia melihat pintu rumahnya. Dibukanya dan terdengar suara teriakan yang penuh riang.

"Selamat ulang tahun Ayaaah....." seru si kecil yang tiba-tiba muncul dari ruang tengah. Dengan membentangkan tangannya ia berlari mendekati sang ayah, nakhoda hebat itu. Senyumnya lebar, matanya berbinar. 

Sorot mata kerinduan yang begitu mendalam. Lalu, dipeluknya erat-erat tubuh sang ayah. Sebuah pelukan cinta yang amat tulus dari seorang anak pada ayahnya. Kemudian, dicium pula tubuh ayahnya yang masih berseragam seorang pelaut.

Dari balik pintu yang menjadi batas antara ruang tamu dan ruang tengah, muncul pula istrinya. Ia tampak tersenyum bahagia. Seketika itu pula, imajinasinya meloncat menuju masa yang lebih lama. 

Saat keduanya terlibat dalam sebuah pertengkaran hebat. Tanpa sadar, bibir sang nakhoda itu berucap lirih, "Ya Allah, aku mohon, sampaikan permohonan maafku padanya. Aku belum sempat mengatakannya."

Seketika itu, kapal pesiar yang dinakhodainya dihantam gulungan ombak yang amat dahsyat. Kapal itu berguling-guling di telan ombak. Terombang-ambing oleh badai.

Ini baru kisah pertama. Aku pastikan kau akan mendapatkan kisah lainnya. Kisah yang mungkin akan membuatmu semakin mengerti. Hidup itu hanya soal bahasa. 

Sekarang, kau boleh kemasi barang-barang bawaanmu, masukkan ke dalam tas, lalu tinggalkan ruangan kelasmu. Tetapi, aku tak memaksa jika engkau masih ingin tinggal di dalam ruang kelasmu.

Yang jelas, kututup lembaran ini dengan satu kata kunci. Dunia itu adalah lingkaran bahasa. Sst! Jangan kau tanyakan dulu apa maksudnya. Tapi, renungkan. Cukup itu saja. Maaf, ada pekerjaan lain. Aku pamit. Kita jumpa lagi di lain waktu!

                                                                                                                            

Salam dariku,
si peracik kisah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun