Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Bahasa dan Kecerdasan Manusia

10 Oktober 2023   23:54 Diperbarui: 30 Oktober 2023   16:26 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi, hitungan itu tak selamanya menetap. Sebab waktu terus bergulir tanpa henti. Jarak antara kapal pesiar dan ombak itu kian memendek. Setiap detik jarak mereka terus memendek. 

Satu detik bagi laju ombak sama artinya sembilan meter lebih mendekati kapal. Satu detik bagi kapal sama artinya tujuh meter lebih makin dekat dengan gulungan ombak. "Limapuluh empat detik sisa waktu tak lebih sekadar hitungan yang sia-sia," batin sang nakhoda.

Seluruh awak kapal yang berada di sekeliling nakhoda pun tercekat. Diam tanpa satu kata pun tersuara. "Jarak kita sesungguhnya hanya enampuluh tiga meter. Itu artinya kita punya waktu sembilan detik untuk berdoa," ucap lirih sang nakhoda. 

Sambil menggenggam erat dadanya, sang nakhoda menunduk berdoa. Ia menekan dengan sangat dadanya, menekan agar airmatanya tak menetes. Berusaha tegar dan lapang menerima kenyataan. Lalu, dalam sekelebat, angannya melayang. Dalam gambaran ruang imajinya, ia melihat pintu rumahnya. Dibukanya dan terdengar suara teriakan yang penuh riang.

"Selamat ulang tahun Ayaaah....." seru si kecil yang tiba-tiba muncul dari ruang tengah. Dengan membentangkan tangannya ia berlari mendekati sang ayah, nakhoda hebat itu. Senyumnya lebar, matanya berbinar. 

Sorot mata kerinduan yang begitu mendalam. Lalu, dipeluknya erat-erat tubuh sang ayah. Sebuah pelukan cinta yang amat tulus dari seorang anak pada ayahnya. Kemudian, dicium pula tubuh ayahnya yang masih berseragam seorang pelaut.

Dari balik pintu yang menjadi batas antara ruang tamu dan ruang tengah, muncul pula istrinya. Ia tampak tersenyum bahagia. Seketika itu pula, imajinasinya meloncat menuju masa yang lebih lama. 

Saat keduanya terlibat dalam sebuah pertengkaran hebat. Tanpa sadar, bibir sang nakhoda itu berucap lirih, "Ya Allah, aku mohon, sampaikan permohonan maafku padanya. Aku belum sempat mengatakannya."

Seketika itu, kapal pesiar yang dinakhodainya dihantam gulungan ombak yang amat dahsyat. Kapal itu berguling-guling di telan ombak. Terombang-ambing oleh badai.

Ini baru kisah pertama. Aku pastikan kau akan mendapatkan kisah lainnya. Kisah yang mungkin akan membuatmu semakin mengerti. Hidup itu hanya soal bahasa. 

Sekarang, kau boleh kemasi barang-barang bawaanmu, masukkan ke dalam tas, lalu tinggalkan ruangan kelasmu. Tetapi, aku tak memaksa jika engkau masih ingin tinggal di dalam ruang kelasmu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun