Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sastrawan Tionghoa Asal Pekalongan Itu Terasingkan di Kota Kelahirannya

7 September 2023   13:11 Diperbarui: 11 September 2023   01:23 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Khazanah pustaka Sastra Melayu-Tionghoa (sumber: kompas.com)

Tak banyak orang Pekalongan yang mengetahui, bahwa ternyata Pekalongan punya sastrawan Tionghoa yang menjadi salah satu tokoh pelopor Sastra Melayu-Tionghoa. Saya belum akan menyebut namanya. Sebab, ketika membaca kalimat pertama, saya tahu, pasti dalam pikiran Anda muncul pertanyaan, "Siapa namanya?".

Tulisan ini saya awali dengan kisah pengalaman saya sebagai seorang penyiar radio yang bertugas memandu program siaran sastra di Radio Kota Batik. Sehari sebelum edisi ke-162 dari program itu disiarkan, saya sempat kelimpungan. Saya belum menemukan topik yang tepat untuk saya bawakan.

Lalu, saya menyibukkan diri dengan beragam buku dan jurnal-jurnal penelitian yang telah dipublikasikan. Membacanya satu demi satu. Tetapi, tak satupun yang membuat saya tertarik untuk mengangkatnya. Pikir saya, momentumnya belum tepat untuk mengangkat topik-topik yang saya baca itu.

Selintas, muncul di benak saya sebuah kisah yang ditulis Remy Sylado. Kisah tentang seorang Tionghoa yang banyak membantu para pejuang di masa-masa pergerakan. Kisah itu ditulis Remy dalam novel Ca Bau Kan. Spontan, kisah itu mendorong saya berupaya menemukan topik menarik yang saya bahas dalam siaran Kojah Sastra.

Mula-mula saya tulis sebuah judul untuk topik yang akan saya bawakan dengan kalimat yang cenderung patriotik, "Sastrawan Tionghoa yang Berjasa bagi Sastra Indonesia". Saya renungkan lagi judul itu. Saya timbang-timbang, judul itu terlampau luas jagkauannya. Mungkin sekali tidak akan menarik untuk didiskusikan. Selain skalanya terlampau luas, juga karena kedekatan emosional pendengar yang tidak terlalu.

Saya ganti judul itu. Tetapi, sebelum menggantinya, saya berusaha menemukan sebuah nama yang tepat untuk saya hadirkan dalam siaran Kojah Sastra. Bagi saya, nama seorang tokoh menjadi sangat penting. Terlebih, jika nama itu memiliki peran besar dan berkesan.

Muncullah beberapa nama. Mula-mula, Kwee Tek Hoay, seorang perantau dari negeri Tiongkok, yang kemudian dikenal sebagai sastrawan Tionghoa di tanah Jawa pada abad ke-19. Lalu, muncul nama lagi, Lie Kim Hok. Seorang sastrawan Tionghoa kelahiran Bogor. Ia juga dikenal sebagai perintis sastra Melayu-Tionghoa di abad ke-19. Dan, sederet nama-nama lainnya.

Pada akhirnya, saya menemukan sebuah nama yang membuat saya terkesan. Tokoh ini lahir di Pekalongan pada tahun 1885. Di tahun yang sama, ada dua peristiwa besar di Pekalongan. Pertama, pemugaran klenteng bersejarah di Kota Pekalongan, Klenteng Po An Thian dilangsungkan. Kedua, pengangkatan patih baru bagi Pekalongan yang dijabat oleh R.M. Soetodikoesoemo. Wah, ini menarik! Seketika, saya mengambil nama tokoh sastrawan Tionghoa itu dan menaruhnya sebagai judul.

Langkah berikutnya, saya kumpulkan bahan yang berkaitan dengan ketokohan sastrawan Tionghoa asal Pekalongan ini. Mulai dari artikel, jurnal, buku-buku, dan lain sebagainya. Uniknya, tak satupun tulisan di media lokal Pekalongan yang pernah mengangkat nama itu. Malah, di laman dinaskebudayaan.jakarta.go.id nama itu muncul. Sementara, di laman dinparbudpora.pekalongankota.go.id, nama itu tak ditemukan.

Padahal, dalam beberapa bahan yang saya baca, sekalipun terbatas, menyebutkan, nama beliau itu dikenal sebagai salah seorang pelopor Sastra Melayu-Tionghoa. Ia tergolong generasi pertama yang mempublikasikan karya-karyanya. Tak hanya itu, lewat novel dan roman yang ia tulis, tokoh ini dikenal cukup lantang menyuarakan dan menunjukkan entitas dirinya sebagai seorang Tionghoa. Terutama, pada periode-periode awal tulisannya.

Namun, beriring dengan perjalanan waktu, pikirannya yang awalnya sangat primordial itu lambat laun mencair. Leleh oleh kedewasaan pikirannya yang mulai diliputi oleh kenyataan. Bahwa, penjajahan bangsa Eropa di negeri ini telah melumpuhkan seluruh sendi kehidupan. Manusia tidak ditempatkan sebagaimana mestinya. Dikotak-kotakkan dengan cara yang rasis.

Secara tidak langsung, lewat karya-karyanya pada periode-periode berikutnya, ia menyuarakan pentingnya membangun kesadaran sebagai manusia seutuhnya. Manusia tidak untuk dikotak-kotakkan dalam sekat rasial dan membaginya ke dalam tinggi-rendahnya kelas sosial. Manusia punya hak untuk mencintai dan dicintai. Sedang, cinta tidak mengenal warna kulit, warna bendera, bahasa, atau segala macam atribut yang disandangkan pada diri manusia itu.

Agaknya, pandangan itu menjadi titik balik sosok sastrawan Tionghoa asal Pekalongan ini menjadi sosok yang bijaksana di kemudian hari. Dan, lewat karya-karyanya, saya menemukan sebuah pembacaan menarik tentang perjalanan hidup seorang anak manusia. Di masa muda, seseorang mungkin sekali sangat berambisi untuk menunjukkan jati dirinya di hadapan banyak orang. 

Lambat laun, pandangan semacam itu akan luntur bersamaan dengan waktu yang membuatnya merenta. Hingga, ia menyadari bahwa kehidupan pada akhirnya bermuara pada penerimaan atas segala hal yang ada di muka bumi. Kendati demikian, di dalam penerimaan itu selalu ada pula yang ditolak. Yaitu, pandangan-pandangan atau perilaku dan perlakuan yang tidak mengindahkan kemanusiaan. Sebagaimana dilakukan oleh kolonialisme Eropa atau sejenisnya.

Sungguh, sebagai seorang yang terlahir di Pekalongan, saya merasa berutang besar kepada beliau, Thio Tjin Boen namanya. Mengapa? Karena saya baru menyadari akan keberadaan beliau belakangan ini. Nama beliau juga membuat saya penasarn, apakah di kota kelahiran saya masih ada keturunannya? Kalaupun ada, dimanakah rumah tinggalnya dulu di Pekalongan? Dan, mengapa nama sebesar beliau begitu saja dilupakan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan? Bahkan, nama beliau juga tak pernah didiskusikan di kampus-kampus di Pekalongan.

Konon, di kota ini banyak berdiri kampus yang juga menggeluti ilmu sastra. Tetapi, mereka sepertinya membisu untuk membahas tokoh-tokoh sastra asal Pekalongan. Ah, mungkin sibuk mengurus administrasi untuk naik kelas akreditasi. Mungkin saja begitu. Atau, terlalu banyak yang mereka urusi sehingga lupa membaca. Alhasil, keberadaan sastra tak sekadar menduduki warga negara kelas dua di sekolah seperti ditulis Herry Mardianto di kompasiana, melainkan pula asing atau bahkan diasingkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun