Secara tidak langsung, lewat karya-karyanya pada periode-periode berikutnya, ia menyuarakan pentingnya membangun kesadaran sebagai manusia seutuhnya. Manusia tidak untuk dikotak-kotakkan dalam sekat rasial dan membaginya ke dalam tinggi-rendahnya kelas sosial. Manusia punya hak untuk mencintai dan dicintai. Sedang, cinta tidak mengenal warna kulit, warna bendera, bahasa, atau segala macam atribut yang disandangkan pada diri manusia itu.
Agaknya, pandangan itu menjadi titik balik sosok sastrawan Tionghoa asal Pekalongan ini menjadi sosok yang bijaksana di kemudian hari. Dan, lewat karya-karyanya, saya menemukan sebuah pembacaan menarik tentang perjalanan hidup seorang anak manusia. Di masa muda, seseorang mungkin sekali sangat berambisi untuk menunjukkan jati dirinya di hadapan banyak orang.Â
Lambat laun, pandangan semacam itu akan luntur bersamaan dengan waktu yang membuatnya merenta. Hingga, ia menyadari bahwa kehidupan pada akhirnya bermuara pada penerimaan atas segala hal yang ada di muka bumi. Kendati demikian, di dalam penerimaan itu selalu ada pula yang ditolak. Yaitu, pandangan-pandangan atau perilaku dan perlakuan yang tidak mengindahkan kemanusiaan. Sebagaimana dilakukan oleh kolonialisme Eropa atau sejenisnya.
Sungguh, sebagai seorang yang terlahir di Pekalongan, saya merasa berutang besar kepada beliau, Thio Tjin Boen namanya. Mengapa? Karena saya baru menyadari akan keberadaan beliau belakangan ini. Nama beliau juga membuat saya penasarn, apakah di kota kelahiran saya masih ada keturunannya? Kalaupun ada, dimanakah rumah tinggalnya dulu di Pekalongan? Dan, mengapa nama sebesar beliau begitu saja dilupakan oleh pihak-pihak yang memiliki kewenangan? Bahkan, nama beliau juga tak pernah didiskusikan di kampus-kampus di Pekalongan.
Konon, di kota ini banyak berdiri kampus yang juga menggeluti ilmu sastra. Tetapi, mereka sepertinya membisu untuk membahas tokoh-tokoh sastra asal Pekalongan. Ah, mungkin sibuk mengurus administrasi untuk naik kelas akreditasi. Mungkin saja begitu. Atau, terlalu banyak yang mereka urusi sehingga lupa membaca. Alhasil, keberadaan sastra tak sekadar menduduki warga negara kelas dua di sekolah seperti ditulis Herry Mardianto di kompasiana, melainkan pula asing atau bahkan diasingkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H