Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tak Perlu Meributkan "Penghapusan Skripsi", Cari Cara Lainnya

1 September 2023   02:25 Diperbarui: 1 September 2023   02:31 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedianya, saya ingin menulis sebuah surat terbuka yang saya haturkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Pak Nadiem Makarim. Tetapi, niat itu saya urungkan. Sebab, saya merasa ada yang lebih pantas menuliskan itu. Maka, saya pilih untuk menuliskan gagasan yang barangkali saja bisa dijadikan sumbang saran atas polemik "penghapusan skripsi" bagi mahasiswa S1.

Saya mulai dari sepenggal kisah yang pernah saya alami. Ketika saya masih duduk di salah satu bangku kampus negeri di Semarang. Tepatnya, saat saya masih menjadi mahasiswa S1 pada program studi Sastra Indonesia.

Pada suatu pagi, di tahun 2003, saya sengaja menemui Kepala Jurusan. Saya duduk empat mata dengan beliau. Di atas meja beliau, saya taruh dua manuskrip karya saya, berupa novel dan naskah drama. Lalu, saya sampaikan kepada beliau untuk saya minta bantuan memberi komentar. Alangkah bahagianya hati saya, karena beliau sama sekali tak berkeberatan untuk memberi komentar.

Lepas dari itu, obrolan kami masih berlanjut. Saat itu saya ajukan sebuah pertanyaan mengenai kemungkinan seorang mahasiswa lulus tanpa membikin skripsi. Sebagai gantinya, saya usulkan karya dalam bentuk buku yang diterbitkan.

Kali itu, beliau menjawab, bahwa hal itu mustahil dilakukan. Alasannya, skripsi itu menjadi salah satu kompetensi ilmiah seorang mahasiswa S1. Dan lagi, itu syarat untuk bisa melanjutkan studi di S2.

Saya menghargai jawaban itu. Tetapi, saya agak keberatan. Bagi saya, sebuah karya tidak mungkin dihasilkan dari kekosongan. Karya---lebih-lebih karya sastra---dilahirkan melalui upaya untuk menyelami fakta-fakta yang berkelebatan di dalam kehidupan sehari-hari. Fakta-fakta itu menjadi bahan dasar, diolah dengan meramu bahasa ke dalam kemasan yang terimajinasikan. Sehingga, terkesan lebih hidup.

Betapa, sebuah karya mesti melewati proses yang rumit dan memerlukan kecermatan. Sebuah karya bahkan mungkin sekali untuk menyajikan fakta-fakta secara terperinci. Campurannya dengan olah imajinasi bisa saja membuahkan sebuah metode baru untuk menyingkap fakta-fakta lain yang tidak tertangkap oleh tulisan-tulisan yang sifatnya lugas. Fakta-fakta yang tersembunyi di balik realitas.

Jadi, keberatan saya lebih didorong oleh anggapan yang menempatkan seolah-olah karya sastra hanya sebuah karya rekaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Maka, saat itu saya memberanikan diri untuk mengusulkan cara lain bagi mahasiswa untuk lulus. Terutama, melalui karya.

Mengapa begitu? Karena setiap manusia memiliki sisi unik yang juga perlu diakomodir. Tidak semua bisa dipukul rata, harus sama. Ketika dipaksakan untuk melakukan hal yang sama, hasilnya juga akan berbeda. Dengan begitu, potensi yang ada di dalam diri setiap orang bisa saja tidak muncul ke permukaan. Dampaknya, bisa saja akan berantai dan tak berujung.

Bisa saja seseorang akan merasa keliru menentukan pilihan, sehingga bisa saja ia akan membunuh potensi dirinya dan membuangnya jauh-jauh dari kehidupannya. Ia merasa bahwa kompetensinya tidak berguna. Alih-alih menjalankan apa yang mesti ia kerjakan, ia bisa saja berjalan terseok-seok dan merasa kehilangan rasa percaya diri. Parahnya, jika hal itu pada gilirannya justru akan kesulitan mengidentifikasi dirinya sendiri. Bahkan, bisa saja ia mengalami disorientasi. Ngerinya lagi, kalau hal itu mendorong ia terjebak pada trauma.

Seperti yang pernah dialami oleh dua orang kawan satu angkatan saya yang mengalami masa-masa trauma. Saya memahami kedua kawan saya adalah orang-orang yang punya daya kreasi yang tidak diragukan kala itu. Akan tetapi, mereka dipaksa oleh keadaan untuk menjadi "robot penurut".

Trauma yang dialami kedua kawan saya ini bahkan mendorong mereka menjadi pribadi yang dipenuhi oleh perasaan kecewa. Tragisnya, salah seorang dari kedua kawan saya akhirnya menyerah. Merasa hidup yang ia jalani hanyalah kesia-siaan. Sampai-sampai ia memilih mengakhiri hidupnya dengan kondisi yang tragis, pasca ia lulus.

Saya ingat, sewaktu masa kuliah dulu beliau---Kepala Jurusan yang sempat saya temui itu berkata, bahwa kuliah di program studi sastra itu bukan untuk melahirkan sastrawan. Akan tetapi, lebih dititiktekankan pada keilmuan. Artinya, sarjana sastra mesti menjadi para kritikus sastra atau ahli sastra. Mula-mula saya berusaha keras untuk memahami pernyataan itu. Belakangan, saya kemudian memahami, mengapa menjadi sastrawan bukan sesuatu yang dianjurkan? Sebab, bisa saja sastrawan dipandang bukan "pekerjaan yang menjanjikan". Sampai kini, tak ada perusahaan atau instansi yang membuka lowongan kerja untuk posisi sebagai sastrawan.

Tetapi, apakah salah memilih sastrawan sebagai pekerjaan? Tentu tidak. Akan tetapi, menjadikan sastrawan sebagai pekerjaan mesti dilandasi oleh mentalitas yang kuat dan tahan banting. Apalagi, cara kerja sastrawan itu cenderung independen dan harus siap menjadi seorang petarung. Sayangnya, mentalitas inilah---sebagaimana yang saya alami---tidak pernah diajarkan di bangku perkuliahan.

Sebagai calon masyarakat intelektual, bangku-bangku perkuliahan cenderung mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang punya kelas. Jenis manusia yang bermoral. Berwibawa dengan cukup duduk tenang di balik meja. Seolah-olah dunia baik-baik saja. Padahal, di dunia nyata, persaingan bisa saja berlaku bengis.

Rasanya, dunia kampus terlalu mengagungkan budaya aristokratik. Sehingga abai pada persoalan hidup yang sesungguhnya. Bahwa kehidupan yang berjalan tidak selempang yang dipikirkan. Saya menyaksikan kehidupan yang demikian keras itu. Terutama, ketika saya bekerja di jalanan. Memburu peristiwa untuk selanjutnya dikumandangkan sebagai berita. Dan sejak itu pula, saya selalu bergairah untuk mengaspal di jalanan, hingga sekarang. Berkawan dengan ketidaknyamanan, hingga mengubah ketidaknyamanan itu menjadi kenyamanan itu sendiri tanpa mengurangi kewaspadaan.

Agaknya, cerita saya kepalang ngelantur. Tetapi sekali lagi, saya sungguh mengapresiasi keputusan Pak Menteri. Setidaknya, itu memberi angin segar bagi mahasiswa yang memiliki daya kreasi agar mendapatkan tempat yang selayaknya. Tinggal bagaimana mekanismenya.

Saya kira, tidak menjadi keliru jika lulus melalui karya yang dilahirkan dari pembacaan mahasiswa terhadap fenomena yang berlaku di tengah masyarakat. Artinya, karya itu lahir dari sebuah riset yang mungkin sederhana saja.

Bisa juga melalui bentuk lain. Misalnya, dengan mengerjakan proyek penelitian di desa-desa, syukur desa tempat mahasiswa itu berasal. Mereka bisa saja mengajukan sebuah proyek untuk pengembangan desa mereka masing-masing, disesuaikan dengan studi yang mereka ambil. Kegiatan ini bisa juga disatukan dengan KKN (Kuliah Kerja Nyata). Sehingga, laporan KKN yang mereka tulis bukan lagi laporan kegiatan, melainkan sebuah laporan proyek riset.

Dengan cara ini, mahasiswa akan lebih mengenal dan memahami masalah yang dihadapi masyarakat. Juga mengetahui dan mengerti apa sebenarnya yang masyarakat desa butuhkan. Mereka juga akan belajar bagaimana bersikap rendah hati, mau belajar kepada warga desa. Mereka akan berkenalan dengan dunia nyata yang senyata-nyatanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun