Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tak Perlu Meributkan "Penghapusan Skripsi", Cari Cara Lainnya

1 September 2023   02:25 Diperbarui: 1 September 2023   02:31 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Trauma yang dialami kedua kawan saya ini bahkan mendorong mereka menjadi pribadi yang dipenuhi oleh perasaan kecewa. Tragisnya, salah seorang dari kedua kawan saya akhirnya menyerah. Merasa hidup yang ia jalani hanyalah kesia-siaan. Sampai-sampai ia memilih mengakhiri hidupnya dengan kondisi yang tragis, pasca ia lulus.

Saya ingat, sewaktu masa kuliah dulu beliau---Kepala Jurusan yang sempat saya temui itu berkata, bahwa kuliah di program studi sastra itu bukan untuk melahirkan sastrawan. Akan tetapi, lebih dititiktekankan pada keilmuan. Artinya, sarjana sastra mesti menjadi para kritikus sastra atau ahli sastra. Mula-mula saya berusaha keras untuk memahami pernyataan itu. Belakangan, saya kemudian memahami, mengapa menjadi sastrawan bukan sesuatu yang dianjurkan? Sebab, bisa saja sastrawan dipandang bukan "pekerjaan yang menjanjikan". Sampai kini, tak ada perusahaan atau instansi yang membuka lowongan kerja untuk posisi sebagai sastrawan.

Tetapi, apakah salah memilih sastrawan sebagai pekerjaan? Tentu tidak. Akan tetapi, menjadikan sastrawan sebagai pekerjaan mesti dilandasi oleh mentalitas yang kuat dan tahan banting. Apalagi, cara kerja sastrawan itu cenderung independen dan harus siap menjadi seorang petarung. Sayangnya, mentalitas inilah---sebagaimana yang saya alami---tidak pernah diajarkan di bangku perkuliahan.

Sebagai calon masyarakat intelektual, bangku-bangku perkuliahan cenderung mengajarkan bagaimana menjadi manusia yang punya kelas. Jenis manusia yang bermoral. Berwibawa dengan cukup duduk tenang di balik meja. Seolah-olah dunia baik-baik saja. Padahal, di dunia nyata, persaingan bisa saja berlaku bengis.

Rasanya, dunia kampus terlalu mengagungkan budaya aristokratik. Sehingga abai pada persoalan hidup yang sesungguhnya. Bahwa kehidupan yang berjalan tidak selempang yang dipikirkan. Saya menyaksikan kehidupan yang demikian keras itu. Terutama, ketika saya bekerja di jalanan. Memburu peristiwa untuk selanjutnya dikumandangkan sebagai berita. Dan sejak itu pula, saya selalu bergairah untuk mengaspal di jalanan, hingga sekarang. Berkawan dengan ketidaknyamanan, hingga mengubah ketidaknyamanan itu menjadi kenyamanan itu sendiri tanpa mengurangi kewaspadaan.

Agaknya, cerita saya kepalang ngelantur. Tetapi sekali lagi, saya sungguh mengapresiasi keputusan Pak Menteri. Setidaknya, itu memberi angin segar bagi mahasiswa yang memiliki daya kreasi agar mendapatkan tempat yang selayaknya. Tinggal bagaimana mekanismenya.

Saya kira, tidak menjadi keliru jika lulus melalui karya yang dilahirkan dari pembacaan mahasiswa terhadap fenomena yang berlaku di tengah masyarakat. Artinya, karya itu lahir dari sebuah riset yang mungkin sederhana saja.

Bisa juga melalui bentuk lain. Misalnya, dengan mengerjakan proyek penelitian di desa-desa, syukur desa tempat mahasiswa itu berasal. Mereka bisa saja mengajukan sebuah proyek untuk pengembangan desa mereka masing-masing, disesuaikan dengan studi yang mereka ambil. Kegiatan ini bisa juga disatukan dengan KKN (Kuliah Kerja Nyata). Sehingga, laporan KKN yang mereka tulis bukan lagi laporan kegiatan, melainkan sebuah laporan proyek riset.

Dengan cara ini, mahasiswa akan lebih mengenal dan memahami masalah yang dihadapi masyarakat. Juga mengetahui dan mengerti apa sebenarnya yang masyarakat desa butuhkan. Mereka juga akan belajar bagaimana bersikap rendah hati, mau belajar kepada warga desa. Mereka akan berkenalan dengan dunia nyata yang senyata-nyatanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun