Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukan Intelektual, Saya Lebih Hina dari Telek Ayam

30 Agustus 2023   12:22 Diperbarui: 31 Agustus 2023   15:26 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agaknya, tulisan saya yang berjudul "Bukan Menjawab, Pendidikan Itu Bertanya" mendapat respons yang cukup beragam dari beberapa kawan diskusi malam itu (Minggu, 27/8/2023). Diskusi itu dilangsungkan di sebuah komunitas anak muda yang getol memperjuangkan hak pendidikan bagi masyarakat luas, tanpa pembeda kelas sosial.

Komunitas ini telah membangun sebuah lembaga pendidikan non formal untuk warga yang belum lama ini mendapatkan izin dari Dinas Pendidikan Kota Pekalongan. Tak cuma itu, pendidikan yang mereka selenggarakan juga gratis alias tidak berbayar. Padahal, mereka memulai dari nol rupiah. Satu-satunya modal yang mereka punya adalah tekat untuk melakukan sesuatu.

Atas perjuangan mereka itu, saya menaruh hormat setinggi-tingginya. Apalagi di tengah recoknya dunia pendidikan sekarang ini akibat industrialisasi yang terlalu dalam merangsek ke seluruh sendi-sendi pendidikan. Tidak hanya pada sistemnya, melainkan pula cara pandang dan pola pikir sebagian pelaku pendidikan. Mereka yang "kerasukan" budaya industri dalam dunia pendidikan cenderung pragmatis dan berpikir praktis. Sehingga, cenderung abai pada permasalahan yang dihadapi masyarakat, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah.

Lain dengan komunitas anak muda yang boleh saya bilang idealis ini. Mereka menolak cara berpikir yang demikian. Mereka memiliki cita-cita agar siapapun yang terdidik kelak menjadi orang-orang yang paham apa gunanya mereka belajar, mengembangkan diri, dan menguasai ilmu pengetahuan. Mungkin tak harus menjadi ilmuwan. Akan tetapi, ketika kaum terdidik ini kembali ke tengah masyarakat, mereka bisa mengambil peran sebagai problem solving.

Betapa mulia cita-cita mereka. Sementara, saya yang pernah merasakan nyamannya duduk bersama mahasiswa di sebuah kampus pun tak sempat terbersit dalam benak, pikiran yang demikian. Yang saya kerjakan sekadar memenuhi kewajiban dan menyelesaikan beban tugas yang seabrek. Mengisi berkas-berkas saat akhir semester demi mengejar angka kredit. Selebihnya, menikmati waktu untuk sekadar cari angin.

Tak ada waktu untuk memikirkan mahasiswa yang saya ajar. Apakah mereka memahami yang sedang mereka kerjakan. Apakah mereka cukup mengerti yang sedang mereka pelajari. Apakah mereka punya keluhan atau tidak, lebih-lebih yang berkenaan dengan masalah keuangan. Dan, sejauh mana langkah mereka bawa.

Yang saya cemaskan justru diri saya sendiri. Saya mesti berburu pekerjaan sampingan. Mulai dari mengisi acara-acara diskusi, seminar, workshop, atau membuat proyek penelitian yang ala kadarnya, hingga kegiatan-kegiatan lain yang sebenarnya tidak ada dampaknya bagi mahasiswa.

Begitu pula pada masa-masa mahasiswa mulai disibukkan dengan urusan skripsi. Hanya soal jumlah mahasiswa bimbingan yang tak sama, saya bisa mati-matian mendebat dan ngotot, pokoknya saya harus dapat banyak. Mengapa? Kata kawan sejawat saya, ini urusan cuan. Paham, kan?

Jadi, apakah skripsi itu dibimbing beneran atau tidak, bukan soal utama. Apakah mahasiswa mengerti tentang apa yang sedang dikerjakan atau tidak, itu tak penting. Yang penting itu adalah mencari cara agar wajah mahasiswa bimbingan itu lekas-lekas enyah dari tatapan mata saya. Mereka kudu lulus cepat. Kalau tidak, itu artinya membuat jatah pembimbingan saya bisa menipis jumlahnya. Tipis pula akhirnya isi dompet saya.

Supaya tak tipis, saya perlu menyiapkan berbagai pilihan solusi bagi mahasiswa itu. Pertama, membuat si mahasiswa itu "peka". Saya akan bilang pada si mahasiswa itu, "Baju batik kamu bagus. Cocok tuh buat model sarimbitan", atau begini, "Tadi kamu lewat Alun-alun? Soalnya kemarin itu, saya lewat. Di sana ada banyak penjual duren. Wah, aromanya itu loh bikin ngiler", atau juga begini, "Saya tuh heran sama laptop saya. Suka nge-hang. Mungkin laptop saya nggak kompatibel dengan sistem yang baru kali ya?", bisa juga begini, "Anak saya itu sekarang kalau berangkat sekolah maunya naik motor sendiri. Ya, daripada ribut, akhirnya saya suka ngalah. Saya kasih saja kunci motornya ke anak saya. Saya mah masih bisa naik ojek online," atau begini, "Maaf, kalau WA kamu jarang aku balas. Maklum, hp saya sekarang suka nge-lag. Maklum juga, hp model lama," dan sebagainya, dan sebagainya.

Cara kedua, memberi solusi praktis agar si mahasiswa cepat selesai bikin skripsi. Saya akan katakan padanya, "Topik skripsi kamu ini terlalu sulit untuk mahasiswa S1. Ini kelasnya S2 atau malah S3. Saran saya, mbok mending kamu jangan mempersulit diri sendiri. Saya pikir, topik ini lebih cocok buat kamu. Saya jamin, kamu cepat lulus. Dijamin juga kamu nggak perlu bolak-balik ajuin revisian. Cukup kamu bilang setuju, saya akan siapkan semuanya. Gimana?" Selanjutnya, tahu sendiri dong. He he he....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun