Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membaca Ulang Sastra Jawa, Membaca Laku Hidup Manusia Jawa

2 Juli 2023   03:20 Diperbarui: 2 Juli 2023   05:04 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap kelompok masyarakat memiliki kekayaan budaya yang diwujudkan ke dalam berbagai bentuk penyajiannya. Karya sastra dalam berbagai macam genre merupakan salah satunya. 

Tentu, di dalam karya sastra itu terdapat nilai-nilai luhur, ajaran-ajaran penting bagi masyarakatnya. Terutama, dalam melangsungkan hidup dan memberi makna pada kehidupan.

Pada masyarakat Jawa, sastra hidup dan terus berkembang beriringan dengan sepak terjang zaman yang berubah-ubah. Meski begitu, bukan berarti karya-karya sastra yang lama (klasik maupun kuno) tidak diperlukan lagi. 

Sebaliknya, karya-karya sastra lama Jawa patut dibaca ulang untuk menemukan kembali spirit budaya Jawa di tengah-tengah kehidupan yang serba global, kehidupan yang nyaris kehilangan batas di segala bidang.

Memang, untuk membaca ulang karya sastra lama Jawa bukan persoalan mudah. Memerlukan tarikan napas panjang dan kesiapan untuk "melawan arus" perubahan zaman. Apalagi ketika harus dihadapkan pada kenyataan, bahwa sebagian besar masyarakat Jawa mulai meninggalkan tradisi kesusastraannya, bahkan menanggalkan budayanya. Mereka bahkan rela bertukar pakaian budaya.

Modernitas---sebagai budaya kekinian dengan jargon materialismenya---bak pakaian baru yang menawarkan kemewahan. Kerlap-kerlip budaya modern yang kini mencapai masa puncaknya, mampu memperdaya sebagian besar masyarakat. Mengira, jika hal itu adalah tujuan yang esensial. Padahal, yang ditawarkan oleh era puncak modern semata-mata permainan simbol. 

Makna simbol-simbol itu diserahkan secara bebas kepada tiap-tiap individu modern untuk menentukan maknanya. Biasanya, didasarkan atas cara pandang yang emosif.

Perayaan kebebasan ini boleh jadi merupakan yang dicita-citakan oleh hampir sebagian besar umat manusia di seluruh muka bumi. Akan tetapi, kebebasan yang demikian bisa saja berpotensi menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. 

Segala macam aturan dan hukum bisa saja diabaikan. Lebih-lebih, manakala fungsi negara dan pemerintahan ditempatkan sebagaimana tanda-tanda yang lainnya; sebagai simbol semata.

Singgasana kekuasaan---dalam keadaan yang demikian---meradang. Dieksploitasi oleh para penguasa. Sekadar menjadi tempat meletakkan pantat para penguasa yang sibuk menjalankan fungsinya sebagai pialang. Ia bukan lagi menjadi tempat bagi dunia pemikiran untuk merancang masa depan yang lebih baik.

Akibatnya, tatanan sosial kacau. Diperparah dengan cara pandang masyarakat yang teramat pragmatis, hingga seolah-olah kehilangan daya hidup. Masyarakat, pada gilirannya sangat menggantungkan nasib mereka pada "jasa kebaikan".

Gambaran masyarakat yang demikian itu terungkap lewat obrolan kajian sastra Jawa bersama penggiat sastra Jawa dari Kabupaten Pekalongan yang sekaligus pengajar Bahasa Jawa, Muhammad Mirza Rofiq, dalam program Kojah Sastra, edisi 141(6 April 2023). 

Ketika itu, kami membincangkan topik "Mingkar-Mingkure Angkara", sebuah penggalan dari Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV.

Kalimat "mingkar-mingkure angkara" adalah kalimat yang diletakkan paling awal di dalam serat yang terdiri atas 100 pada (bait) itu. Boleh dibilang, kalimat itu menjadi pembuka dari seluruh rangkaian baris-baris dalam Serat Wedhatama. Uniknya, cara ini sama sekali berbeda dengan karya-karya sastra Jawa di masa-masa sebelumnya.

Pada sebagian besar karya-karya sastra Jawa kuno dan klasik, untaian bait-baitnya akan dimulai dan diawali dengan ungkapan puji-pujian kepada Sang Khalik, dewa-dewa, para resi, maupun raja. Tetapi, tidak pada Serat Wedhatama. 

Serat karya KGPAA Mangkunegara IV ini justru dibuka dengan menyajikan permasalahan yang dihadapi manusia. Yaitu, ketidakmenentuan hawa nafsu. Sudah pasti, hawa nafsu yang dimaksudkan adalah yang ada pada diri manusia.

Terasa kontras betul. Jika pada umumnya karya sastra Jawa lama mengawali dengan bahasa-bahasa yang melangit, Serat Wedhatama justru menampilkan wacana yang tak sekadar membumi, melainkan pula menampilkan citraan Dunia Bawah. Dunia yang gelap dan kalap. Dunia yang samar-samar, manipulatif; antara kebenaran dan kejahatan bertumpang tindih. Lalu, apa maksudnya?

Seperti diungkap Mas Mirza, penggalan kalimat itu merupakan pesan dan ajaran utama dalam Serat Wedhatama. Yaitu, ajaran tentang pengendalian diri. Sebagai manusia, semestinya tidak tunduk kepada hawa nafsu. Akan tetapi, manusia mesti mampu mengendalikan hawa nafsunya.

Bisa jadi pesan itu tidak semata-mata ditujukan kepada pembaca teks, melainkan kepada diri sang pujangga. Dengan kata lain, sang pujangga yang sekaligus seorang pemimpin itu tengah menasihati dirinya sendiri. Seolah-olah ia tengah berdialog dengan dirinya sendiri.

Bahwa, kedudukannya sebagai seorang Adipati di Mangkunegaran sangat memungkin baginya untuk melampiaskan hawa nafsunya kapan pun. Seorang pemimpin punya kecenderungan untuk berbuat semena-mena. Sebab, terlalu banyak godaan yang mengintainya. Dan, apabila ia lengah, niscaya ia akan terseret arus gelombang hawa nafsu yang sewaktu-waktu bisa saja menenggelamkannya. Di saat bersamaan, ia tidak lagi mampu mengendalikan dirinya, juga menjalankan roda kepemimpinannya.

Oleh sebab itu, kuat dugaan pula jika penempatan kalimat "mingkar-mingkure angkara" di bagian awal pada Serat Wedhatama berkorelasi dengan kedudukan sang pujangga sebagai seorang raja di istana Mangkunegara. Sang pujangga merasa tidak pantas jika ia memuji dirinya sendiri. Akan menjadi sangat memalukan jika hal itu dilakukan. Sebab, perilaku memuji diri sendiri sesungguhnya memperlihatkan ketidakmampuannya untuk mengendalikan diri, mengendalikan hawa nafsunya.

Penggalan kalimat pembuka dari Serat Wedhatama ini boleh dibilang sebagai upaya sang pujangga untuk menghancurkan rasa keakuannya. Sehingga, dapat ia temukan bentuknya yang paling hakiki. 

Bahwa, sekalipun raja, ia tetaplah manusia biasa yang memiliki kedudukan sederajat dengan sesama manusia di hadapan Sang Pencipta. Tersebab itu pula, tidak ada yang perlu disombongkan.

Begitulah sastra Jawa memberikan pengajaran, menuntun sekaligus menata laku hidup manusia Jawa. Tidak semata terlihat indah, tidak pula sekadar tulisan tanpa makna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun