Gambaran masyarakat yang demikian itu terungkap lewat obrolan kajian sastra Jawa bersama penggiat sastra Jawa dari Kabupaten Pekalongan yang sekaligus pengajar Bahasa Jawa, Muhammad Mirza Rofiq, dalam program Kojah Sastra, edisi 141(6 April 2023).Â
Ketika itu, kami membincangkan topik "Mingkar-Mingkure Angkara", sebuah penggalan dari Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegara IV.
Kalimat "mingkar-mingkure angkara" adalah kalimat yang diletakkan paling awal di dalam serat yang terdiri atas 100 pada (bait) itu. Boleh dibilang, kalimat itu menjadi pembuka dari seluruh rangkaian baris-baris dalam Serat Wedhatama. Uniknya, cara ini sama sekali berbeda dengan karya-karya sastra Jawa di masa-masa sebelumnya.
Pada sebagian besar karya-karya sastra Jawa kuno dan klasik, untaian bait-baitnya akan dimulai dan diawali dengan ungkapan puji-pujian kepada Sang Khalik, dewa-dewa, para resi, maupun raja. Tetapi, tidak pada Serat Wedhatama.Â
Serat karya KGPAA Mangkunegara IV ini justru dibuka dengan menyajikan permasalahan yang dihadapi manusia. Yaitu, ketidakmenentuan hawa nafsu. Sudah pasti, hawa nafsu yang dimaksudkan adalah yang ada pada diri manusia.
Terasa kontras betul. Jika pada umumnya karya sastra Jawa lama mengawali dengan bahasa-bahasa yang melangit, Serat Wedhatama justru menampilkan wacana yang tak sekadar membumi, melainkan pula menampilkan citraan Dunia Bawah. Dunia yang gelap dan kalap. Dunia yang samar-samar, manipulatif; antara kebenaran dan kejahatan bertumpang tindih. Lalu, apa maksudnya?
Seperti diungkap Mas Mirza, penggalan kalimat itu merupakan pesan dan ajaran utama dalam Serat Wedhatama. Yaitu, ajaran tentang pengendalian diri. Sebagai manusia, semestinya tidak tunduk kepada hawa nafsu. Akan tetapi, manusia mesti mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Bisa jadi pesan itu tidak semata-mata ditujukan kepada pembaca teks, melainkan kepada diri sang pujangga. Dengan kata lain, sang pujangga yang sekaligus seorang pemimpin itu tengah menasihati dirinya sendiri. Seolah-olah ia tengah berdialog dengan dirinya sendiri.
Bahwa, kedudukannya sebagai seorang Adipati di Mangkunegaran sangat memungkin baginya untuk melampiaskan hawa nafsunya kapan pun. Seorang pemimpin punya kecenderungan untuk berbuat semena-mena. Sebab, terlalu banyak godaan yang mengintainya. Dan, apabila ia lengah, niscaya ia akan terseret arus gelombang hawa nafsu yang sewaktu-waktu bisa saja menenggelamkannya. Di saat bersamaan, ia tidak lagi mampu mengendalikan dirinya, juga menjalankan roda kepemimpinannya.
Oleh sebab itu, kuat dugaan pula jika penempatan kalimat "mingkar-mingkure angkara" di bagian awal pada Serat Wedhatama berkorelasi dengan kedudukan sang pujangga sebagai seorang raja di istana Mangkunegara. Sang pujangga merasa tidak pantas jika ia memuji dirinya sendiri. Akan menjadi sangat memalukan jika hal itu dilakukan. Sebab, perilaku memuji diri sendiri sesungguhnya memperlihatkan ketidakmampuannya untuk mengendalikan diri, mengendalikan hawa nafsunya.
Penggalan kalimat pembuka dari Serat Wedhatama ini boleh dibilang sebagai upaya sang pujangga untuk menghancurkan rasa keakuannya. Sehingga, dapat ia temukan bentuknya yang paling hakiki.Â