Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pesantren Salaf Penjaga Tradisi Sastra, Pewaris Tradisi Keilmuan

28 Juni 2023   04:44 Diperbarui: 28 Juni 2023   14:20 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin perguruan tinggi di Pekalongan, khususnya perguruan tinggi non agama, patut berpikir keras sebelum akhirnya kena mental. Perannya sebagai lembaga pendidikan formal kelas tinggi bisa saja tergeser oleh pondok pesantren, khususnya pesantren salaf. Mengapa bisa begitu?

Anda pasti sudah tidak sabar untuk mengetahui jawabannya. Iya kan? Sabar, saya tidak akan memberikan jawaban secara langsung. Saya akan ajak Anda menyelami apa yang dikisahkan Gus Haidar, seorang santri alumni Pondok Pesantren Amtsilati-Jepara, saat saya undang sebagai bintang tamu di program siaran Kojah Sastra di Radio Kota Batik.

Lewat pengalamannya, saya menangkap kesan bahwa ternyata pondok pesantren itu lembaga pendidikan yang mendidik para santri dengan sungguh-sungguh. Di sana, para santri benar-benar digembleng untuk dapat menguasai kitab-kitab yang dibelajarkan. Tidak mengherankan segala macam kecakapan berbahasa (meliputi membaca, menulis, menyimak, dan berbicara)---khususnya bahasa Arab---tak sekadar diajarkan, melainkan mentradisi.

Sampai di sini mungkin Anda masih beranggapan bahwa hal itu tidak jauh beda dengan perguruan tinggi umum. Sah-sah saja Anda berpandangan seperti itu. Tetapi, sependek ingatan saya, pembelajaran di perguruan tinggi umum (khususnya di Pekalongan) cenderung tidak memiliki bahan bacaan yang spesifik untuk dipelajari. Buku-buku yang dianjurkan sekadar menjadi referensi. Sayangnya, buku-buku itu cenderung berupa buku-buku pengantar alias bukan buku induk.

Tak heran, setiap mahasiswa mengalami kebingungan saat menyusun skripsi atau karya tulis ilmiah lainnya. Terutama, ketika harus berhadapan dengan uraian teoretis yang mesti mereka susun secara rapi sehingga mampu dijadikan sebagai piranti analisis. Begitu pula ketika mereka mesti merancang metode penelitian yang akan mereka jalankan bagi penelitian mereka.

Salah satu alasan yang kerap muncul dari mahasiswa tingkat akhir, karena ketersediaan buku-buku induk teori sangat terbatas. Bukan hanya jumlahnya, melainkan pula karena kapasitas perpustakaan yang sangat terbatas.

Tanpa bermaksud membandingkan, mari kita lihat bagaimana Cambridge University menyediakan fasilitas perpustakaan. Dalam satu kampus sebesar Cambridge, setidaknya ada lebih dari 100 gedung perpustakaan, 33 di antaranya adalah perpustakaan fakultas.

Hebatnya lagi, di dalam perpustakaan itu terkoleksi jutaan bahan bacaan dari berbagai rumpun keilmuan. Sudah begitu, tiap tahun perpustakaan ini juga menerima lebih dari 100.000 item dari para donatur. Selain bahan-bahan bacaan, perpustakaan Cambridge University juga menjadi tempat menyimpan arsip-arsip penting.

Artinya, untuk mengelola sebuah perguruan tinggi sekelas Cambridge University, perpustakaan adalah jantungnya perguruan tinggi. Dengan kata lain, ketersediaan bahan bacaan dan pengelolaan arsip yang baik menjadi kebutuhan yang mutlak terpenuhi. Tujuannya, tidak lain untuk membangun tradisi akademik yang baik pula.

Memang, Anda berhak berkilah, bahwa itu di luar sana. Tidak bisa disamakan dengan daerah ini. Anda juga berhak mengatakan, budaya akademik di sana dan di sini berbeda. Kita tak harus mengkiblat pada mereka.

Oke. Memang seharusnya begitu. Kita tidak mengkiblat pada mereka. Akan tetapi, saya kembali teringat sebuah pernyataan yang disampaikan oleh Wardiman Djayanegara (Mentri Pendidikan dan Kebudayaan RI 1993 -- 1998) dalam Kuliah Umum Peningkatan Sastra dan Budaya (6 Desember 2018) di Jakarta. 

Beliau katakan, "Orang Indonesia budaya bacanya tipis, budaya sejarahnya tipis, menghargai sejarah juga tipis, apalagi menghargai warisan sejarah. Jadi, masih tipis semua kita". Lalu, apakah ini yang dimaksudkan untuk tidak mengkiblat kepada Barat?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru itu juga mengisahkan pengalamannya ketika mencari dokumen pidato Bung Karno di Konferensi Asia Afrika (1955) sampai ke Unesco. Apa yang terjadi? Ia lagi-lagi harus gigit jari. Dokumen itu tidak ditemukan. 

Begitu pula dengan naskah pidato Bung Karno saat membela diri di Pengadilan Bandung. Yang ia temukan hanya notulensinya setebal 800 halaman. Tetapi, dari notulen itu tidak selembar pun dari 174 halaman pidato Bung Karno termuat. Padahal, jika dihitung, dokumen-dokumen itu usianya belumlah tertalu tua. Baru puluhan tahun.

Beliau juga sampaikan, bahwa puluhan juta naskah dan arsip kuno yang menjadi kekayaan bangsa ini tersimpan di luar sana. Tersebar di berbagai perpustakaan milik negara-negara walanda. Bahkan, hingga kini masih belum bisa diambil kembali. Mungkinkah ini pula yang membuat sikap kita tak perlu mengkiblat mereka?

Pondok pesantren---wabilkhusus pesantren salaf---memang tidak mengkiblat Barat. Dugaan saya, pesantren salaf merupakan sebuah perpaduan antara lembaga pendidikan khas Nusantara dengan lembaga pendidikan Timur Tengah, khususnya di era kejayaan Islam. 

Metode pengajaran yang dilangsungkan di sana mungkin saja merupakan rancangan para cendekiawan bangsa Nusantara. Sementara bahan-bahan yang dikaji dan diajarkan adalah kitab-kitab kuno dan klasik dari para ulama terdahulu. Kitab-kitab itu berumur ratusan bahkan ribuan tahun.

Artinya, selain sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren juga menjadi perawat tradisi keilmuan sekaligus penyelamat dokumen-dokumen kuno. Dengan cara itu, pesantren salaf memiliki fungsi yang sangat vital bagi ketersambungan dan keberlanjutan dari sejarah keilmuan. 

Pesantren salaf memiliki akar yang kuat dalam urusan khazanah keilmuan. Hal ini diperkuat pula dengan sanad keilmuan para pengajarnya. Ini pula yang membedakan pesantren salaf dengan perguruan tinggi umum.

Memang, tidak bisa ditampik pula anggapan sebagian orang, bahwa pesantren salaf itu tidak up to date. Sudah ketinggalan zaman. Berbeda dengan perguruan tinggi umum yang dapat lebih leluasa bergerak menyesuaikan dengan alur perubahan zaman. 

Seperti saat sekarang, ketika zaman dikuasai oleh teknologi, ramai-ramai kampus perguruan tinggi berebut untuk ikut beralih wahana. Mereka berenang-renang di telaga algoritma di bawah kubah jaring gelombang tak kasat mata yang terhubung lewat satelit.

Saya kira, itu baik. Asal jangan sampai hanyut saja. Jangan pula sampai tenggelam ke dalam genangan algoritma, hingga kehilangan kendali diri.

Memang, tidak bisa ditolak pula anggapan sebagian lainnya, bahwa perguruan tinggi umum lebih menjanjikan bagi masa depan para konsumennya. Bahasa praksisnya, mereka yang bersekolah di perguruan tinggi umum memiliki kesempatan yang lebih longgar dalam urusan pekerjaan. 

Hal itu tidak lepas dari penyusunan kurikulum di perguruan tinggi umum yang cenderung menyesuaikan kebutuhan industri. Pembekalan yang diberikan pun bisa beraneka rupa.

Begitu kompleksnya pendidikan yang diselenggarakan perguruan tinggi umum ini. Semua itu tidak lain demi mewujudkan harapan para pengguna jasa layanan perguruan tinggi umum. Yaitu, mendapatkan pekerjaan.

Berbeda dengan pesantren salaf yang mengarusutamakan keilmuan. Sesuatu yang mungkin saja dianggap abstrak. Bahkan, ada pula yang menganggap ilmu sebagai sesuatu yang tidak bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya untuk mencari cuan atau mencari makan. Anggapan itu muncul lantaran jarak antara realitas sosial dengan ilmu pengetahuan terlalu senjang.

Dan memang, antara ilmu dan dunia kerja memiliki jarak. Ilmu berfokus pada upaya pengenalan diri melalui olah pengetahuan, pemahaman, pengalaman, dan penghayatan atas segala fenomena kehidupan di alam semesta. 

Agar ilmu terejawantahkan ke dalam kehidupan sehari-hari, ia mesti menjalani serangkaian proses hingga memiliki kegunaan yang tepat dan benar. Tidak sekadar dapat dimanfaatkan secara praksis. Oleh sebab itu, diperlukan moralitas dan etika dari pelaku ilmu itu sendiri. Sebab, ilmu bisa saja akan membawa mudarat apabila diterapkan secara serampangan, tanpa mengindahkan akhlak.

Rangkaian panjang ini pula yang menjadi tantangan bagi para santri pondok pesantren salaf. Setelah lulus dari pesantren, mereka mesti diuji oleh berbagai macam hal. Tidak terkecuali dalam urusan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. 

Tak ayal pula jika kemudian muncul pula adagium, bahwa atribut santri akan terus melekat walau telah dinyatakan lulus. Bahkan, hubungan di antara santri dengan para gurunya pun masih terjalin erat meski kedua pihak tidak lagi hidup satu atap di dalam pesantren salaf. Lebih-lebih ketika seorang santri tersebut masih menggunakan waktunya untuk belajar setelah lulus dari pesantren.

Inilah yang menurut pandangan saya sebagai awam, keistimewaan pesantren salaf. Pengalaman faktual para santri dan guru-guru mereka boleh jadi adalah pengejawantahan dari model pendidikan yang telah dikonsepsikan di pesantren salaf. 

Seperti telah disinggung sebelumnya, pesantren salaf merupakan lembaga pendidikan yang menjaga dan merawat keterhubungan dan keberlanjutan tradisi keilmuan dari masa ke masa, hingga sampai pada akar sejarahnya.

Menariknya, sebagaimana dituturkan Gus Haidar, salah satu studi yang diwajibkan untuk dipelajari di pesantren salaf adalah sastra, khususnya sastra Arab. Tentu, saya dan mungkin saja Anda akan bertanya-tanya, mengapa sastra? Kata Gus Haidar, sastra Arab memiliki hubungan yang kuat dengan agama Islam. 

Bahkan, pada masa Rasulullah SAW hidup, beliau pernah berpesan kepada Aisyah agar mengajarkan kepada anak-anaknya tentang ilmu sastra. Tujuannya, agar ketika berbicara dengan orang dapat menggunakan bahasa dengan sebaik-baiknya.

Selain itu, pesan tersebut juga berkait erat dengan keberadaan Al Qur'an. Kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ini memiliki gaya bahasa sastrawi yang teramat indah. Untuk menafsirkan tiap-tiap ayat dalam Al Qur'an sangat dibutuhkan penguasaan ilmu bahasa dan sastra. Ditambah lagi pengetahuan kebudayaan dan sejarah.

Sekaitan dengan sejarah dan budaya, Gus Haidar memberikan keterangan, bahwa tradisi sastra di Arab pada masa Jahiliyah sudah sedemikian kuat dan hebat. Sastra bukan menjadi barang asing bagi masyarakat Arab di masa itu. Panggung-panggung sastra kerap digelar di tanah Arab. Para pengisi panggung itu tak hanya warga Arab. Akan tetapi, juga penyair-penyair dari luar Arab.

Istimewanya lagi, panggung-panggung sastra itu digelar di hadapan umum. Seperti yang terjadi di Pasar Ukaz, sebuah pasar kuno yang telah berdiri sejak tahun 500 SM di Kota Al Athdia. Di pasar ini panggung sastra digelar sebagai media promosi. 

Para pedagang yang datang biasanya akan membawa serta para penyair untuk mempromosikan produk unggulan mereka. Tak hanya itu, para penyair ini juga akan mengisahkan tokoh leluhur atau pahlawan asal bangsa mereka, kejayaan kerajaan asal mereka, keindahan alam tanah air asal mereka, dan sebagainya.

Panggung sastra itu juga menjadi ajang lomba bagi para penyair kala itu. Boleh dibilang, semacam poetry battle. Penilaiannya dititikberatkan pada aspek kualitas syair yang dibawakan. Untuk alasan itu, juri dari lomba syair ini tidak serampangan. 

Mereka adalah orang-orang pilihan yang mengerti kaidah sastra. Mereka bertugas mencatat syair-syair yang didendangkan. Jika bagus, maka akan mereka sebarluaskan dan diakui sebagai syair yang bagus. Jika tidak, syair itu akan diabaikan.

Melalui panggung sastra itu pula, kedudukan para penyair di masyarakat Arab era itu menjadi sangat terhormat. Lebih-lebih, penyair yang memenangi ajang lomba. Nama mereka akan diperkenalkan kepada khalayak. Karya mereka juga akan diperdengarkan di mana-mana.

Meski begitu, rupanya ada pula praktik-praktik manipulasi karya sastra di masa itu. Praktik itu bahkan berlangsung hingga masa kerasulan Nabi Muhammad SAW. Itu pula yang membuat Al Qur'an diturunkan di tanah Arab melalui Nabi Muhammad yang notabene seorang ummy (tidak mengenal sastra). 

Tentu, ketika itu masyarakat Arab Jahiliyah terkaget-kaget dengan kemunculan Nabi Muhammad yang menurut mereka tiba-tiba menjadi seorang yang membawakan syair-syair yang mahadahsyat itu. Syair-syair yang tidak tertandingi keindahan dan kandungan kebenaran isinya.

Maka, seperti diungkap Gus Haidar, dalam studi sastra Arab---khususnya yang dipelajari di pesantren salaf---terbagi tiga tingkatan berdasarkan kompleksitas, kualitas, dan keindahannya. Sastra tertinggi adalah Al Qur'an, dilanjutkan hadis, dan pada tingkat paling rendah adalah syair. Namun, untuk mempelajari ketiga hal tersebut tidaklah mudah. Dibutuhkan beragam literatur pendukung.

Alasan ini pula yang membuat studi sastra menjadi kewajiban untuk diajarkan di pesantren salaf. Sebab, sebagaimana diungkap Gus Haidar, studi sastra ini diperlukan tidak sekadar untuk mengkaji kandungan makna dan berbagai macamnya. Akan tetapi, juga ditujukan untuk menjaga kemurnian bahasa Arab itu sendiri. Khususnya, bahasa Arab yang terdapat di dalam Al Qur'an dan hadis.

Jika demikian, patutlah saya menduga, bahwa alasan mengapa sastra erat kaitannya dengan khazanah keilmuan yang dibawa dan diajarkan oleh Islam. Sebab, Islam sebagai sebuah nilai tidak bisa diartikulasikan sebagai perihal yang parsial. Islam adalah perihal yang universal.

Studi sastra yang diajarkan di pondok pesantren salaf ditujukan untuk menggali, mengkaji, dan menemukan jawaban-jawaban yang tersembunyi di balik ayat-ayat Al Qur'an dan hadis. 

Sehingga, pada gilirannya akan dapat diejawantahkan ke dalam kehidupan sehari-hari, di semua aspek kehidupan. Agar, kehidupan berjalan dengan baik. Dan, manusia dapat menjalankan keyakinannya dengan lebih baik guna menjaga keselarasan hidup yang dibingkai dengan keindahan demi menggapai kebahagiaan yang hakiki.

Ini pula yang kemudian membuat saya berpikir, betapa perguruan tinggi umum di kota kelahiran saya terlampau jauh tertinggal dari apa yang dilakukan oleh pesantren salaf. Meski dikesankan sebagai lembaga pendidikan tradisional, nyatanya pesantren salaf memiliki kekhasan, karakternya begitu kuat. Sehingga, tidak mudah goyah oleh terpaan badai zaman, seperti yang saat ini terjadi. Bahasa kerennya era disrupsi. 

Dan, berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, saya dipertemukan dengan seorang santri yang luar biasa. Sehingga saya mendapatkan penjelasan yang demikian kompleks. Sampai-sampai saya takjub. Membuat saya yang tidak pernah menjadi santri di pesantren ini mengakui dan menghormati setinggi-tingginya keberadaan pondok pesantren salaf. 

Pandangan saya, seketika dibukakan pada realitas yang belum pernah saya lihat, belum pernah saya sentuh. Jazakumullah Khairan Katsiran Wa Jazakumullah Ahsanal Jaza, Gus Haidar. Saya benar-benar masih perlu banyak belajar dari panjenengan, Gus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun