Beliau katakan, "Orang Indonesia budaya bacanya tipis, budaya sejarahnya tipis, menghargai sejarah juga tipis, apalagi menghargai warisan sejarah. Jadi, masih tipis semua kita". Lalu, apakah ini yang dimaksudkan untuk tidak mengkiblat kepada Barat?
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru itu juga mengisahkan pengalamannya ketika mencari dokumen pidato Bung Karno di Konferensi Asia Afrika (1955) sampai ke Unesco. Apa yang terjadi? Ia lagi-lagi harus gigit jari. Dokumen itu tidak ditemukan.Â
Begitu pula dengan naskah pidato Bung Karno saat membela diri di Pengadilan Bandung. Yang ia temukan hanya notulensinya setebal 800 halaman. Tetapi, dari notulen itu tidak selembar pun dari 174 halaman pidato Bung Karno termuat. Padahal, jika dihitung, dokumen-dokumen itu usianya belumlah tertalu tua. Baru puluhan tahun.
Beliau juga sampaikan, bahwa puluhan juta naskah dan arsip kuno yang menjadi kekayaan bangsa ini tersimpan di luar sana. Tersebar di berbagai perpustakaan milik negara-negara walanda. Bahkan, hingga kini masih belum bisa diambil kembali. Mungkinkah ini pula yang membuat sikap kita tak perlu mengkiblat mereka?
Pondok pesantren---wabilkhusus pesantren salaf---memang tidak mengkiblat Barat. Dugaan saya, pesantren salaf merupakan sebuah perpaduan antara lembaga pendidikan khas Nusantara dengan lembaga pendidikan Timur Tengah, khususnya di era kejayaan Islam.Â
Metode pengajaran yang dilangsungkan di sana mungkin saja merupakan rancangan para cendekiawan bangsa Nusantara. Sementara bahan-bahan yang dikaji dan diajarkan adalah kitab-kitab kuno dan klasik dari para ulama terdahulu. Kitab-kitab itu berumur ratusan bahkan ribuan tahun.
Artinya, selain sebagai lembaga pendidikan, pondok pesantren juga menjadi perawat tradisi keilmuan sekaligus penyelamat dokumen-dokumen kuno. Dengan cara itu, pesantren salaf memiliki fungsi yang sangat vital bagi ketersambungan dan keberlanjutan dari sejarah keilmuan.Â
Pesantren salaf memiliki akar yang kuat dalam urusan khazanah keilmuan. Hal ini diperkuat pula dengan sanad keilmuan para pengajarnya. Ini pula yang membedakan pesantren salaf dengan perguruan tinggi umum.
Memang, tidak bisa ditampik pula anggapan sebagian orang, bahwa pesantren salaf itu tidak up to date. Sudah ketinggalan zaman. Berbeda dengan perguruan tinggi umum yang dapat lebih leluasa bergerak menyesuaikan dengan alur perubahan zaman.Â
Seperti saat sekarang, ketika zaman dikuasai oleh teknologi, ramai-ramai kampus perguruan tinggi berebut untuk ikut beralih wahana. Mereka berenang-renang di telaga algoritma di bawah kubah jaring gelombang tak kasat mata yang terhubung lewat satelit.
Saya kira, itu baik. Asal jangan sampai hanyut saja. Jangan pula sampai tenggelam ke dalam genangan algoritma, hingga kehilangan kendali diri.