Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Pak Tarto, Guru Berhati Mulia

26 Juni 2023   14:23 Diperbarui: 26 Juni 2023   14:26 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: seorang guru tengah mengajari muridnya menggambar (sumber: kompas.id)

Tidak ada yang layak diceritakan tentang mereka yang telah tiada, kecuali kebaikan-kebaikannya. Begitu pula tulisan ini yang ingin menceritakan tentang Pak Tarto, guru SD saya. Meski perjumpaan kami telah berlalu 33 tahun silam, nama Pak Tarto masih membekas betul dalam ingatan saya.

Pak Tarto dulu mengajar saya ketika duduk di kelas 3 di SD Negeri Landungsari 4. Ketika itu usia beliau sudah tidak muda lagi. Setidaknya, bisa dilihat dari keriput pada garis wajahnya, uban di atas kepala, juga pipinya yang kempot. Kalau tersenyum, tampak pula beberapa giginya tanggal.

Walau begitu, suara Pak Tarto ketika mengajar di kelas masih terdengar lantang. Nafasnya juga tak terlihat ngos-ngosan. Padahal, beliau tergolong perokok berat. Itu bisa dilihat dari warna bibirnya yang kebiruan.

Kalau berjalan, langkah kakinya masih tampak tegap. Masih kuat menjejak. Tidak menyeret apalagi tersengal-sengal.

Hal lain yang masih membekas dalam ingatan saya adalah kacamata yang dikenakan Pak Tarto. Bingkai hitam dan tebal. Lensa pada kacamatanya pun cukup tebal. Namun, beliau masih saja tekun membaca.

Pak Tarto memang bukan orang Pekalongan asli. Beliau berasal dari Klaten. Di masa Orde Baru, guru PNS bisa saja ditugaskan ke daerah lain. Bahkan, bisa saja dipindahtugaskan ke daerah yang jauh dari tanah kelahiran. Itu wajar. Sebab, di masa itu keberadaan guru masih sangat minim. Persebarannya pun tidak merata.

Salah satu kota yang memiliki jumlah guru tidak terlalu banyak adalah Pekalongan. Di era itu guru dipandang sebagai profesi rendah. Lebih-lebih guru PNS. Masyarakat Pekalongan kala itu memilih menjadi pekerja atau buruh batik selepas lulus SD atau SMP. Sementara, mereka yang melanjutkan ke jenjang SMA, umumnya adalah anak-anak PNS.

Memang, kala itu gaji guru tak seberapa. Kehidupan mereka pun teramat sederhana. Seperti yang saya lihat pada diri Pak Tarto. Rumah yang ditinggali Pak Tarto tak terlalu luas. Hanya sepetak kecil yang berimpitan dengan rumah-rumah lain di sebuah gang padat di kawasan Krapyak Kidul. Dan, harta termewah yang dimiliki beliau hanyalah sebuah sebuah sepeda motor Suzuki FR70.

Kendaraan itulah yang selalu menemani perjalanan Pak Tarto mengarungi pasang-surut kehidupan beliau. Kendaraan itu pula yang menjadi saksi bisu kehidupan cinta beliau yang romantis bersama istri yang menjalani profesi yang sama. Tiap pagi dan siang, kendaraan itu mereka tumpangi bersama. Melintasi jalan-jalan yang menjadi kenangan.

Tetapi, cengkeraman kehidupan yang jauh dari kemewahan itu tak membuat beliau surut dalam mendedikasikan diri sebagai seorang pendidik. Ya, saya katakan pendidik karena beliau benar-benar mendidik. Tidak sekadar mengajar.

Beliau begitu telaten menghadapi murid-muridnya. Di dalam kelas, beliau mengajari satu per satu murid-muridnya membaca, menulis, berhitung, menyanyi, dan sebagainya. Kebetulan, di kelas saya waktu itu ada beberapa anak yang kesulitan membaca dan menulis. Beliau tak segan-segan mengajari mereka satu per satu. Pak Tarto tidak akan melanjutkan pelajaran ke tahap yang lebih rumit, sebelum mereka yang kesulitan itu tuntas. Otomatis, murid-murid yang lain pun dimintanya agar bersabar.

Pak Tarto selalu mengatakan kepada kami, agar terbiasa belajar bersama. Artinya, setiap tahap yang dilalui mesti dirasakan bersama-sama. Tidak ada yang mendahului, tidak ada yang merasa tertinggal. Sebab, menurut Pak Tarto, manusia itu tidak bisa hidup sendirian. Manusia itu saling membutuhkan.

Setiap jam istrirahat, Pak Tarto sebentar saja ke ruang guru. Lantas, keluar lagi dan menemani kami di halaman sekolah. Kadang ikut mengantre untuk jajan sambil mengajarkan kepada kami untuk tertib mengantre. Lalu, ia duduk bersama kami di bawah pohon jambu.

Di sana, beliau memanfaatkan waktu untuk berbincang-bincang dengan murid-murid. Yang diobrolkan bisa apa saja. Tetapi, lebih banyak beliau berkisah tentang kisah-kisah teladan. Pembawaannya juga menarik dan dibumbui lelucon yang khas anak-anak.

Kadang, di saat seperti itu, beliau memanfaatkannya untuk mengulang pelajaran yang baru saja dibelajarkan di kelas. Beliau akan memungut ranting yang ada di sekitar, lalu membuat coretan-coretan di atas tanah. Memang, waktu itu halaman sekolah kami belum dipasang paving. Masih berupa tanah. Jadi, bisa dimanfaatkan untuk corat-coret dengan ranting.

Lewat corat-coret di tanah itu Pak Tarto kadang mengajari kami cara menghitung. Kadang mengajari kami cara menulis aksara Jawa. Pun kadang mengajari kami bagaimana menulis huruf latin dan menggambar.

Selain itu, kadang pula beliau main tebak-tebakan. Sebagai penyemangat, beliau akan memberikan hadiah berupa jajan yang dibeli dari uangnya. Saya tak bisa membayangkan, berapa besar uang yang dikeluarkan Pak Tarto demi membelikan jajan untuk murid-muridnya. Padahal, gajinya tak seberapa.

Tidak jarang pula di jam-jam istirahat itu Pak Tarto mengajari kami tembang Jawa atau menyanyikan lagu-lagu daerah dan lagu-lagu nasional. Ketika salah seorang dari kami kedapatan salah nada, beliau tak sungkan-sungkan membetulkannya.

Tak hanya itu, Pak Tarto juga membuka pintu rumahnya lebar-lebar bagi murid-muridnya yang ingin belajar di rumah beliau. Saya dan beberapa teman kerap memanfaatkan waktu untuk belajar di rumah beliau. Biasanya, selepas magrib, sehabis mengaji, kami berombongan belajar ke rumah beliau yang jaraknya cukup jauh untuk ukuran anak-anak, tiga kilometer lebih. Kami tempuh perjalanan itu dengan mengayuh sepeda.

Beliau selalu menyambut kami dengan ramah dan hangat saat kami tiba di rumah beliau. Kami sudah dianggap seperti anak kandung beliau. Lalu, segera menyilakan kami masuk.

Di dalam ruang tamu yang luasnya hanya 3 x 5 meter, beliau mengajar kami dengan penuh perhatian sampai benar-benar kami mengerti. Istri beliau biasanya akan sibuk di dapur menyiapkan cemilan untuk kami. Dan, semua itu tidak beliau pungut biaya sepeser pun.

Ah, begitu banyak kenangan yang tidak bisa saya lupakan tentang beliau. Bahkan, saat lulusan SD, Pak Tarto sempat menyampaikan pesan kepada saya, "Tugas seorang manusia itu adalah belajar, karena manusia tidak luput dari kesalahan."

Pesan itu, sampai kini masih membekas dan kuat menancap dalam ingatan saya. Rasanya, ribuan atau bahkan miliyaran kali ucapan terima kasih tak cukup membalas kebaikan beliau. Bagi saya, beliaulah guru sejati, walau sependek ingatan saya, beliau tak pernah mendapatkan sematan guru teladan dari manapun. Sebab, yang saya tahu, beliau tidak pernah berambisi untuk mendapatkan predikat-predikat itu.

Doa terbaik untuk beliau. Semoga Tuhan memberikan tempat terindah bagi beliau, di taman yang keindahannya teramat mulia dan agung di sisi-Nya. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun