Pak Tarto selalu mengatakan kepada kami, agar terbiasa belajar bersama. Artinya, setiap tahap yang dilalui mesti dirasakan bersama-sama. Tidak ada yang mendahului, tidak ada yang merasa tertinggal. Sebab, menurut Pak Tarto, manusia itu tidak bisa hidup sendirian. Manusia itu saling membutuhkan.
Setiap jam istrirahat, Pak Tarto sebentar saja ke ruang guru. Lantas, keluar lagi dan menemani kami di halaman sekolah. Kadang ikut mengantre untuk jajan sambil mengajarkan kepada kami untuk tertib mengantre. Lalu, ia duduk bersama kami di bawah pohon jambu.
Di sana, beliau memanfaatkan waktu untuk berbincang-bincang dengan murid-murid. Yang diobrolkan bisa apa saja. Tetapi, lebih banyak beliau berkisah tentang kisah-kisah teladan. Pembawaannya juga menarik dan dibumbui lelucon yang khas anak-anak.
Kadang, di saat seperti itu, beliau memanfaatkannya untuk mengulang pelajaran yang baru saja dibelajarkan di kelas. Beliau akan memungut ranting yang ada di sekitar, lalu membuat coretan-coretan di atas tanah. Memang, waktu itu halaman sekolah kami belum dipasang paving. Masih berupa tanah. Jadi, bisa dimanfaatkan untuk corat-coret dengan ranting.
Lewat corat-coret di tanah itu Pak Tarto kadang mengajari kami cara menghitung. Kadang mengajari kami cara menulis aksara Jawa. Pun kadang mengajari kami bagaimana menulis huruf latin dan menggambar.
Selain itu, kadang pula beliau main tebak-tebakan. Sebagai penyemangat, beliau akan memberikan hadiah berupa jajan yang dibeli dari uangnya. Saya tak bisa membayangkan, berapa besar uang yang dikeluarkan Pak Tarto demi membelikan jajan untuk murid-muridnya. Padahal, gajinya tak seberapa.
Tidak jarang pula di jam-jam istirahat itu Pak Tarto mengajari kami tembang Jawa atau menyanyikan lagu-lagu daerah dan lagu-lagu nasional. Ketika salah seorang dari kami kedapatan salah nada, beliau tak sungkan-sungkan membetulkannya.
Tak hanya itu, Pak Tarto juga membuka pintu rumahnya lebar-lebar bagi murid-muridnya yang ingin belajar di rumah beliau. Saya dan beberapa teman kerap memanfaatkan waktu untuk belajar di rumah beliau. Biasanya, selepas magrib, sehabis mengaji, kami berombongan belajar ke rumah beliau yang jaraknya cukup jauh untuk ukuran anak-anak, tiga kilometer lebih. Kami tempuh perjalanan itu dengan mengayuh sepeda.
Beliau selalu menyambut kami dengan ramah dan hangat saat kami tiba di rumah beliau. Kami sudah dianggap seperti anak kandung beliau. Lalu, segera menyilakan kami masuk.
Di dalam ruang tamu yang luasnya hanya 3 x 5 meter, beliau mengajar kami dengan penuh perhatian sampai benar-benar kami mengerti. Istri beliau biasanya akan sibuk di dapur menyiapkan cemilan untuk kami. Dan, semua itu tidak beliau pungut biaya sepeser pun.
Ah, begitu banyak kenangan yang tidak bisa saya lupakan tentang beliau. Bahkan, saat lulusan SD, Pak Tarto sempat menyampaikan pesan kepada saya, "Tugas seorang manusia itu adalah belajar, karena manusia tidak luput dari kesalahan."