Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sastra, di Pesantren Lebih Terhormat Dibandingkan di Perguruan Tinggi

26 Juni 2023   03:30 Diperbarui: 26 Juni 2023   05:15 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para santri tengah bercengkerama sambil membaca kitab (lokasi: Ponpes Girikusumo-Mranggen, Demak, dok.pribadi)

Gus Haidar memang bukan seorang penyair. Bukan pula seorang prosais. Apalagi seorang penulis naskah drama. Ia hanya seorang santri jebolan pondok pesantren Amtsilati-Jepara yang pernah mengenyam pendidikan di STAI Imam Syafi'i, Cianjur, Jawa Barat. Kini, ia menjadi seorang ustaz di desa kelahirannya, Samborejo, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan.

Sehari-hari ia mengajar di sebuah madrasah. Ia juga kerap mengisi kelas-kelas bahasa Arab. Terutama, di Sokola Sogan (sebuah lembaga pendidikan berbasis komunitas warga yang didirikan oleh Komunitas Omah Sinau Sogan). Saya salah satu murid beliau.

Tetapi, ada satu hal menarik tentang beliau. Dalam sebuah obrolan ringan, sempat saya tanyakan kepada beliau mengenai pengajaran sastra di pondok pesantren yang menjadi tempat tempaannya. 

Pertanyaan itu muncul, karena saya penasaran, seperti apa model pembelajaran di pondok pesantren. Apakah di sana diajarkan sastra atau tidak? Sebab, sependek yang saya tahu, kitab-kitab yang ditulis para ulama besar biasanya memiliki gaya sastra yang khas. Selain itu, para ulama besar tidak jarang pula menuliskan kitab khusus yang berisi syair-syair.

Berangkat dari asumsi yang gambling itu saya lantas berpikir, agaknya menjadi fatal akibatnya jika sastra tidak diajarkan di pondok pesantren. Apalagi, kitab-kitab klasik yang para santri pelajari berbahasa Arab. Kalaupun diterjemahkan secara tekstual, tanpa mengindahkan kaidah bahasa dan gaya bahasa, mungkin saja akan terjadi mispersepsi atau bahkan misinterpretasi.

Belum lagi, sejumlah kitab karya ulama juga tak jarang memuat kisah-kisah. Tentu saja, untuk dapat menangkap maksud dari kisah-kisah itu dibutuhkan pendekatan yang interpretatif. Teks dan konteks mesti diulas dan dikaji secara mendalam.

Pertanyaan-pertanyaan itu saya ajukan kepada Gus Haidar ketika suatu malam, di tengah perjalanan dari Jogja ke Pekalongan. Tepatnya, setelah saya dan kawan-kawan Omah Sinau Sogan sowan ke kediaman Ketua Lesbumi, Mas Kiai Jadul Maula dan Mbah Toto Rahardjo (pentolan Kiai Kanjeng).

Oleh Gus Haidar, pertanyaan itu dijawab dan diulas tuntas. Ia mengaku, bahwa selama belajar di pondok pesantren, pelajaran sastra---khususnya sastra Arab---merupakan pelajaran wajib. Bahkan, itu diberikan selama 8 semester. Meski begitu, ia mengakui pula, kajian-kajian sastra di beberapa pesantren tidak terlalu menonjol. 

Jawaban itu membuat saya takjub. Sebab, itu sangat di luar dugaan. Semula, saya mengira bahwa di tempat Gus Haidar nyantri tidak akan dikenalkan apa itu sastra. Yang makin membuatku takjub adalah pelajaran sastra itu diberikan 8 semester. Padahal, saat berkuliah di STAI Imam Syafi'i -- Cianjur, ia tercatat sebagai mahasiswa program studi Hukum Keluarga Islam. Lalu, mengapa ia diberi pelajaran sastra?

Gus Haidar lantas mengisahkan perjalanannya selama nyantri. Di pesantren, kata Gus Haidar, tradisi membaca kitab sangat dianjurkan. Bahkan, wajib. Membaca kitab menjadi keharusan bagi para santri. Membaca menjadi keterampilan yang mutlak dikuasai oleh para santri.

Bagi saya, tradisi ini keren. Apalagi di tengah-tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seperti sekarang ini. Gambaran itu sangat berbalik arah dengan institusi pendidikan formal, khususnya perguruan tinggi. 

Sependek yang saya tahu, tradisi membaca di perguruan tinggi, khususnya lagi di kota kelahiran saya, tidak terlalu kuat. Bahkan, kini dihajar habis-habisan oleh gempuran teknologi informatika dan komunikasi.

Mungkin, salah satu faktornya adalah ketiadaan bahan bacaan utama yang wajib dibaca seluruh civitas akademika. Di kampus, terlalu banyak bahan bacaan yang mereka baca, sehingga sulit untuk menentukan buku mana yang wajib dibaca. Sedang, di pesantren ada tradisi membaca yang harus dijalankan secara bertahap. Maksudnya, seorang santri mesti menguasa satu kitab terlebih dahulu sebelum beralih ke kitab lain.

Di sisi lain, tiap-tiap pesantren memiliki keunggulan pada kajian kitab yang berbeda-beda. Misal, pesantren A meski diajarkan semua kitab, tetapi memiliki kekhususan di bidang penguasaan kitab A. Sementara, pesantren B memiliki penguasaan yang lebih baik terhadap kitab B. 

Oleh sebab itu, santri memiliki keleluasaan untuk mempelajari kitab-kitab itu dari satu pesantren ke pesantren lain. Hal ini juga diperkuat dengan tradisi pesantren yang saling berjejaring satu sama lain.

Gus Haidar juga mengungkapkan, melalui tradisi membaca kitab ini pula para santri kemudian diarahkan untuk belajar ilmu bahasa Arab. Mulai dari tingkat dasar hingga tingkat yang kompleks. Maka, diajarkan pula ilmu-ilmu sastra dan sastra itu sendiri. Sebab, ilmu sastra dalam kaidah pembelajaran bahasa Arab, merupakan bagian dari ilmu bahasa Arab.

Menyandarkan pada keterangan Gus Haidar, saya lantas menangkap kesan, bahwa kajian sastra di pesantren telah mendapatkan porsinya yang proposional. Ilmu sastra tidak dikurung ke dalam program studi yang khusus. Akan tetapi, sastra di pesantren menjadi pelajaran umum yang semua santri mesti mempelajarinya tanpa pandang bulu asal prodinya.

Sungguh, ini pula yang membedakan pesantren dengan perguruan tinggi. Di perguruan tinggi, khususnya di tempat saya pernah mengajar, kajian sastra tidak menjadi mata kuliah umum. Ia hanya diberikan kepada mahasiswa prodi yang berkaitan dengan bahasa dan sastra. 

Di luar itu, misalnya fakultas hukum, ekonomi, kesehatan, dan lain-lain, kajian sastra tidak pernah diberikan. Dengan kata lain, sastra masih dipandang sebagai perihal yang tidak penting.

Padahal, jika mau terbuka, membaca buku-buku sastra merupakan kegiatan yang tidak hanya mengasyikkan. Akan tetapi, dengan membaca dan mengkaji karya-karya sastra, mahasiswa akan mendapatkan pengalaman baru. Mereka juga akan memiliki kemampuan untuk membaca keadaan dengan lebih baik. Juga, dapat melatih berpikir kritis.

Sayang, hal itu belum terjadi. Mungkin, masih perlu waktu lama lagi untuk bermimpi. Mungkin, perlu gebrakan pula. Sebab, tidak jarang mereka yang belajar bahasa dan sastra di perguruan tinggi merasa minder jika dihadapkan dengan mahasiswa-mahasiswa prodi lain, prodi yang dipandang punya gengsi. Perasaan minder ini boleh jadi karena ada anggapan yang berkembang di masyarakat awam, bahwa mahasiswa sastra merupakan mahasiswa yang tidak jelas masa depannya.

Tentu, pandangan itu saya tolak. Bukan lantaran saya anak sastra, melainkan karena sastra merupakan sebuah ladang pengetahuan yang kaya. Ia tidak hanya mengisahkan cerita-cerita. Akan tetapi, di dalamnya termuat gagasan, pemikiran, dan berbagai hal yang berpeluang untuk direalisasikan sebagai konsep pembangunan di segala bidang.

Oleh penuturan Gus Haidar pula, saya pada akhirnya mengangkat topi kepada para santri yang hingga saat ini masih memelihara dengan baik tradisi membaca. Saya menaruh rasa hormat yang setinggi-tingginya.

Tak heran pula, jika seorang santri seperti Gus Haidar, meski lulusan Hukum Keluarga Islam, sangat terbuka untuk mempelajari sastra. Sebagaimana diakuinya, bahwa sekalipun bukan seorang sastrawan, ia sangat menjunjung tinggi sastra. Hingga kini, ia masih tekun mempelajari sastra. Bahkan, sering saya ajak untuk mengisi program Kojah Sastra yang disiarkan di LPPL Radio Kota Batik, Pekalongan, khusus untuk edisi sastra pesantren yang kini telah memasuki putaran keenam.

Salutnya lagi, setiap bersiaran, Gus Haidar tak lupa selalu membawa kitab-kitab sastra yang dulu pernah ia pelajari selama di pesantren. Lantas, kami membahasnya dengan gaya obrolan ringan tapi mengena.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun