Sependek yang saya tahu, tradisi membaca di perguruan tinggi, khususnya lagi di kota kelahiran saya, tidak terlalu kuat. Bahkan, kini dihajar habis-habisan oleh gempuran teknologi informatika dan komunikasi.
Mungkin, salah satu faktornya adalah ketiadaan bahan bacaan utama yang wajib dibaca seluruh civitas akademika. Di kampus, terlalu banyak bahan bacaan yang mereka baca, sehingga sulit untuk menentukan buku mana yang wajib dibaca. Sedang, di pesantren ada tradisi membaca yang harus dijalankan secara bertahap. Maksudnya, seorang santri mesti menguasa satu kitab terlebih dahulu sebelum beralih ke kitab lain.
Di sisi lain, tiap-tiap pesantren memiliki keunggulan pada kajian kitab yang berbeda-beda. Misal, pesantren A meski diajarkan semua kitab, tetapi memiliki kekhususan di bidang penguasaan kitab A. Sementara, pesantren B memiliki penguasaan yang lebih baik terhadap kitab B.Â
Oleh sebab itu, santri memiliki keleluasaan untuk mempelajari kitab-kitab itu dari satu pesantren ke pesantren lain. Hal ini juga diperkuat dengan tradisi pesantren yang saling berjejaring satu sama lain.
Gus Haidar juga mengungkapkan, melalui tradisi membaca kitab ini pula para santri kemudian diarahkan untuk belajar ilmu bahasa Arab. Mulai dari tingkat dasar hingga tingkat yang kompleks. Maka, diajarkan pula ilmu-ilmu sastra dan sastra itu sendiri. Sebab, ilmu sastra dalam kaidah pembelajaran bahasa Arab, merupakan bagian dari ilmu bahasa Arab.
Menyandarkan pada keterangan Gus Haidar, saya lantas menangkap kesan, bahwa kajian sastra di pesantren telah mendapatkan porsinya yang proposional. Ilmu sastra tidak dikurung ke dalam program studi yang khusus. Akan tetapi, sastra di pesantren menjadi pelajaran umum yang semua santri mesti mempelajarinya tanpa pandang bulu asal prodinya.
Sungguh, ini pula yang membedakan pesantren dengan perguruan tinggi. Di perguruan tinggi, khususnya di tempat saya pernah mengajar, kajian sastra tidak menjadi mata kuliah umum. Ia hanya diberikan kepada mahasiswa prodi yang berkaitan dengan bahasa dan sastra.Â
Di luar itu, misalnya fakultas hukum, ekonomi, kesehatan, dan lain-lain, kajian sastra tidak pernah diberikan. Dengan kata lain, sastra masih dipandang sebagai perihal yang tidak penting.
Padahal, jika mau terbuka, membaca buku-buku sastra merupakan kegiatan yang tidak hanya mengasyikkan. Akan tetapi, dengan membaca dan mengkaji karya-karya sastra, mahasiswa akan mendapatkan pengalaman baru. Mereka juga akan memiliki kemampuan untuk membaca keadaan dengan lebih baik. Juga, dapat melatih berpikir kritis.
Sayang, hal itu belum terjadi. Mungkin, masih perlu waktu lama lagi untuk bermimpi. Mungkin, perlu gebrakan pula. Sebab, tidak jarang mereka yang belajar bahasa dan sastra di perguruan tinggi merasa minder jika dihadapkan dengan mahasiswa-mahasiswa prodi lain, prodi yang dipandang punya gengsi. Perasaan minder ini boleh jadi karena ada anggapan yang berkembang di masyarakat awam, bahwa mahasiswa sastra merupakan mahasiswa yang tidak jelas masa depannya.
Tentu, pandangan itu saya tolak. Bukan lantaran saya anak sastra, melainkan karena sastra merupakan sebuah ladang pengetahuan yang kaya. Ia tidak hanya mengisahkan cerita-cerita. Akan tetapi, di dalamnya termuat gagasan, pemikiran, dan berbagai hal yang berpeluang untuk direalisasikan sebagai konsep pembangunan di segala bidang.