Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pondok Pesantren Itu Milik Masyarakat, Bukan Milik Pribadi

22 Juni 2023   13:04 Diperbarui: 23 Juni 2023   22:55 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lampu hias yang terpasang di tiang-tiang pondok pesantren Al Maliki (dok.pribadi)

Aroma harum memenuhi interior Mazda 4wd yang saya tumpangi. Mobil putih mulus itu lincah melaju di antara butiran hujan, membawa saya dan beberapa kawan menuju ke Majelis Taklim Al Maliki-Pekalongan. Kebetulan, malam itu di Majelis Taklim Al Maliki sedang ada pengajian rutin.

Setiba di Majelis Taklim Al Maliki yang bermarkas di Kelurahan Jenggot, tampak jemaah Al Maliki memenuhi ruang dalam, hingga luber di teras rumah-rumah warga sekitar. Begitu takzim mereka duduk menyimak materi pengajian Pak Kiai Din, sapaan akrab K.H. Muhammad Saifudin Amirin, yang dicorongkan lewat pelantang suara. Sampai-sampai tetesan hujan dari atap dan talang pun tak dirasa.

Kami tak kebagian tempat. Kami memilih duduk melantai di teras kediaman Pak Kiai Din. Walau begitu, suara Pak Kiai masih terdengar jelas. Kami pun turut menyimak materi pengajian beliau.

Sekitar lima belas menit kemudian, pengajian usai. Diakhiri dengan doa. Kami dan seluruh jemaah Al Maliki menengadahkan tangan sambil mengucap "amin", bermohon kepada Tuhan semoga segala kebaikan akan terlimpah bagi semua.

Pada "amin" yang terakhir, seketika suasana tenang. Tak terdengar suara apapun. Suasana menjadi hening dan khusyuk. Kami bertahan untuk tidak berpindah tempat. Setidaknya, menghormati kekhusyukan jemaah yang tengah menundukkan kepala. Selain itu, keperluan kami memang ingin menemui Pak Kiai. Ada tamu istimewa pula dari Bandung yang ingin bertemu beliau.

Setelah beberap saat menunggu, akhirnya kami pun bertemu Pak Kiai Din. Oleh Pak Kiai Din, kami dipersilakan menemui beliau di Sejogati, salah satu rumah yang ada di kompleks Majelis Taklim Al Maliki.

Kami pun tak berlama-lama, segera memasuki rumah Sejogati. Di sana, tamu dari Bandung ini seketika tatapannya menabrak pada sesuatu yang membuatnya berbinar-binar. Tatapannya menangkap sesuatu yang sangat unik. Antik pula! Warnanya hijau tentara. Berbahan besi. Dan bentuknya mirip motor tentara. Pada sisi tanki bensin, tertera tulisan "Royal Enfield".

Kawan saya yang dari Bandung itu langsung nyelatuk, "Wah, satu frekuensi nih! Sama-sama anak motor!"

Kami yang duduk di Sejogati pun tertawa. Merasa senang membawakan tamu dari Bandung yang hobi traveling ini.

Tak lama, Pak Kiai tiba. Beliau langsung menerima tamu istimewa itu dan perbincangan hangat dan akrab pun terjadi. Tak ada jarak yang senjang di antara Pak Kiai Din dan para tamu. Semua bicara dengan lepas. Lebih-lebih tamu dari Bandung yang biasa saya sapa, Kang Kampret.

Beliau dosen ITB. Tetapi, juga seorang social engineering. Banyak hal yang sudah dilakukan di setiap tempat yang ia singgahi. Terutama, di luar Jawa. Ia tak sekadar membuat eksperimen sosial, akan tetapi berhasil menuntaskan beberapa masalah warga dan melerai konflik.

Tentu, ia tak sendirian. Ia punya kelompok pejuang yang biasa diajak keliling. Bahkan ustaz muda, Handy Bonny diajak juga untuk keliling motoran. Melihat masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dan berusaha membantu menyelesaikannya. Ada juga ustaz Fahmi, seorang kepala Madrasah Aliyah serta penggerak literasi di Bandung. Kerap turut bersafari, menemani warga daerah yang mereka kunjungi.

Kembali ke pertemuan tadi. Singkat cerita, dalam pertemuan itu banyak hal menarik yang kami bicarakan. Termasuk, kondisi saat ini. Tetapi, dari sekian banyak hal itu yang paling menarik adalah tentang sikap Pak Yai. Terutama, dalam hal menjaga idealismenya.

Tutur beliau, saat beliau mulai membangun dan mengembangkan Majelis Taklim Al Maliki, banyak pihak yang tertarik dan datang pada beliau. Mereka bermaksud baik, yaitu menawarkan bantuan-bantuan dalam beragam bentuk. Terutama, untuk pengembangan Majelis Taklim Al Maliki agar memiliki Pondok Pesantren.

Boleh dibilang, bantuan-bantuan itu sangat menggiyurkan. Apalagi bagi saya yang belum pernah melihat langsung nominal yang angka nolnya berderet-deret kayak gerbong kereta api. Wah, pasti tergiur saya.

Tetapi, beliau rupanya tak mudah silau oleh tawaran itu. Dengan santun, beliau tak menerima bantuan itu. Beliau memilih untuk bersikap sangat hati-hati. Beliau menjunjung tinggi rasa persaudaraan dengan siapapun. Namun, untuk menjaga rasa persaudaraan itu, beliau bersikap tegas, jangan sampai bantuan-bantuan yang ditawarkan itu justru akan merusak rasa persaudaraan.

Sikap itu ditunjukkan pula lewat perjuangan beliau membangun Pondok Pesantren. Beliau memilih agar Pondok Pesantren itu dibangun secara swadaya, dengan mendayakan para jemaah dan para dermawan yang benar-benar tulus ingin membantu. Padahal, andai beliau mengiyakan tawaran bantuan-bantuan dari pihak-pihak itu, jelas-jelas pembangunan Pondok Pesantren akan lekas selesai. Tetapi, demi menjaga rasa persaudaraan dan menumbuhkan rasa memiliki jemaah majelis taklim yang beliau asuh, beliau memilih berswadaya.

Dari tuturan panjang beliau, saya kemudian menangkap kesan. Bahwa apa yang dilakukan Pak Yai mungkin saja sebagai cara beliau mendakwahkan perilaku mandiri. Akan tetapi, kemandirian itu bukan sikap individualis. Justru sebaliknya, kemandirian baru akan bisa terbangun manakala di antara sesama dapat dan sanggup saling mendukung. Apapun bentuk dukungannya. Dan memang, tidak gampang membangun kemandirian itu. Butuh perjuangan yang berdarah-darah. Seperti yang beliau alami sampai saat ini di dalam membangun Pondok Pesantren.

Beliau hanya ingin mengatakan bahwa Pondok Pesantren yang beliau bangun itu adalah milik warga. Bukan milik pribadi. Maka, mesti diupayakan bersama-sama agar kelak juga dijaga bersama-sama pula.

Sebuah sikap yang sangat patut dihormati. Salut untuk beliau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun