Akan tetapi, para orang tua juga memberikan kesempatan kepada anak-anak gadis itu untuk berkreasi dan dapat menyalurkan ekspresi mereka, selain pula membentuk kepribadian mereka secara tak langsung.
Meski begitu, hal serupa juga terjadi pada tari-tarian tradisional yang bernuansa mistik. Tari Bedaya misalnya, atau tari Saman asal Aceh dan tentu banyak tarian lainnya. Artinya, hal ini begitu mengakar pada masyarakat di Nusantara.Â
Barangkali itu sebagai pesan simbolik dari masa lalu kepada masa kini dan masa depan, bahwa di tengah-tengah perkembangan peradaban manusia akan selalu muncul hal-hal yang perlu diwaspadai. Terutama, menyoal kedudukan perempuan.
Sebagaimana kita tahu, di luar tari-tarian sakral turut berkembang pula tari-tarian yang sampai mengumbar birahi. Kadang, para penari tarian yang mengumbar birahi ini juga punya ritualnya sendiri.Â
Khususnya untuk membuat para penonton tertarik dengan kemolekan dan kecantikan paras penari itu. Bila perlu penonton benar-benar bisa ia gaet sebagai pasangan tidurnya semalam, atau menjerat penonton itu dengan ikatan asmara yang "dirahasiakan". Tetapi tidak pada tari Sintren.
Cinta semestinya tidak merusak. Cinta semestinya bukan hasrat untuk berkuasa. Cinta juga semestinya bukan untuk melukai rasa kemanusiaan dan keyakinan. Cinta mestinya menjaga dan memelihara yang telah diberikan Tuhan kepada manusia. Begitulah tari Sintren mengajarkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI