Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mistismisme Cinta dalam Tari Sintren

20 Juni 2023   02:44 Diperbarui: 20 Juni 2023   14:19 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tari inilah yang pada akhirnya, secara susur galur diabadikan sebagai monumen kisah cinta Sulasih-Sulanjana. Hingga kini sebagian besar warga Pekalongan meyakini, bahwa di dalam setiap pertunjukan tari Sintren, dua sejoli yang berkasih itu dipertemukan di alam arwah. Keduanya sama-sama melepas kangen. Boleh dibilang tari Sintren menjadi pengikat jiwa antara Sulasih dan Sulanjana.

Memang, tampaknya tak masuk akal. Akan tetapi, yang mesti diingat adalah kisah asmara kedua tokoh ini jauh berbeda dengan kisah Romeo-Juliet. Kisah Sulasih-Sulanjana tidak diakhiri kematian yang tragis dan terkesan konyol, melainkan menjadi kisah yang tak pernah selesai. Seolah kisah ini ingin menyampaikan pesan, bahwa cinta dan kasih sayang itu tidak mengenal ruang-waktu. Malah, ia bisa melampaui dimensi ruang dan waktu; mengabadi.

Akan tetapi, untuk mengabadikan cinta dan kasih sayang itu diperlukan upaya, dibutuhkan perjuangan walau melewati jalan terjal yang menanjak dan curam menurun, pun berkelok-kelok. Bukan malah menyudahi hidup.

Cinta, sebagaimana dimaknai dalam kisah Sulasih-Sulanjana, tak cukup hanya pada wilayah fisik atau jasmani. Bukan pula semata-mata luapan emosi atau tumpahan hasrat. Apalagi sebatas pada soal bagaimana sepasang kekasih dapat melampiaskan birahi.

Cinta yang diajarkan dalam tari Sintren adalah bentuk ikatan jiwa terdalam. Ia tak mengambil bentuk kesementaraan. Ia tak menghamba kepada kefanaan. Akan tetapi, ia malah menghadirkan keabadian lewat ikatan jiwa, tali jiwa.

Betapa cinta menjadi sakral dalam tari Sintren. Kesakralan ini pula yang kemudian terhadirkan dalam nuansa mistis pada tarian ini. Bahkan, saking sakralnya, ada persyaratan khusus bagi penari Sintren. Sang penari mesti dalam keadaan lajang dan suci. Artinya, tidak sedang datang bulan.

Lalu, mengapa lajang dan suci itu menjadi syarat? Ada beberapa dugaan menyoal persyaratan itu. Pertama, karena saat Sulasih menjalani ritual tarian ini masih dalam keadaan lajang. Hal itulah yang kemudian diabadikan sebagai tradisi turun-temurun oleh masyarakat.

Kedua, ada keyakinan kuat pada masyarakat Jawa di masa lalu. Bahwa, untuk menjalankan ritual yang sakral seseorang mesti menjaga kesuciannya lahir batin. Dengan demikian, ia mesti menjaga kehormatannya. Sebab, segala hal yang disakralkan akan lebih berdaya kuat kalau yang melakukan adalah orang yang memang memiliki dan sanggup menjaga kehormatan itu.

Boleh jadi, tradisi Sintren merupakan sebuah cara leluhur untuk menjaga kesucian dan kehormatan anak-anak gadis mereka. Dengan cara itu para orang tua turut menjaga kehormatan keluarga dari kemungkinan-kemungkinan lain yang tak diharapkan. Para orang tua mesti membentengi anak-anak gadis mereka dari pergaulan bebas. Sebab, anak-anak gadis yang dinobatkan sebagai penari Sintren mesti menjaga segala perilakunya.

Atas dasar itu pula, kuat dugaan, bahwa tari Sintren merupakan sebuah ungkapan pengagungan cinta sekaligus metode pemaknaan cinta. Kemurniannya harus dijaga dari hal-hal yang berpotensi menodainya. Terutama sekali dari hal-hal yang bersifat fana.

Kemungkinan lain, cara ini dianggap Mbah-mbah dulu sebagai metode yang sangkil mangkus di dalam mendidik anak-anak mereka. Para orang tua tak semata memberi larangan keras dengan mengunci pintu rumah dan memperlakukan anak-anak gadis mereka seperti anak pingitan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun