Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Canus Kena Tilang

7 Juni 2023   23:18 Diperbarui: 7 Juni 2023   23:37 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerita ini dimulai dari tokoh yang pekerjaannya nggak jelas. Sebab, di dalam kategorisasi jenis pekerjaan---terutama seperti yang dicantumkan di dalam KTP ataupun kartu identitas lainnya---pekerjaan Canus kerap dikelirukan. Di KTP-nya tercantum "swasta". Sementara di SIM yang biasa ia tenteng ke mana-mana, tercantum pekerjaannya adalah wiraswasta. Beda pula yang disebutkan dalam Kartu Keluarga. Pekerjaan Canus adalah karyawan.

Kalau yang dimaksud swasta adalah ia bekerja di sebuah perusahaan swasta alias bukan perusahaan pemerintah, maka ia sama sekali bukan orang yang dimaksud. Mungkin itu adalah Canus yang lain, karena ia tidak bekerja di perusahaan swasta. Kalau ia dimasukkan sebagai wiraswasta, maka mestinya ia memiliki jenis usaha yang bisa memberi peluang bagi orang lain untuk bekerja padanya. Nyatanya, Canus tidak demikian. Ia memang punya usaha mandiri tetapi tidak membutuhkan tenaga orang lain. Kalaupun ia disebut sebagai karyawan, barangkali ia adalah karyawan, tetapi karyawan bagi dunianya sendiri.

Sungguh, ini yang kadang kala membuat Canus geli sendiri. Geli pada dirinya sendiri. Sambil ia tertawakan pula kejadian-kejadian itu, Canus kadang merasa bingung bin heran, mengapa tak tuntas pula urusan sepele semacam ini. Dan imbasnya, kerap pula ia menerima perlakuan yang berbeda-beda. Ketika ia menggunakan KTP-nya, ia diperlakukan oleh petugas kantor atau instansi resmi laiknya sebagai seorang buruh yang dianggap tak punya pendidikan tinggi. Ia kadang dikasari dan dianggap tidak penting. 

Berbeda ketika ia menggunakan SIM-nya. Ia mendapatkan perlakuan manis. Dipandang sebagai orang berpunya dan dianggap sebagai bos, sehingga kadang perlakuannya bisa berlebihan, penuh basa-basi, namun ketika harus membayar biaya ini-itu, tarifnya bisa berbeda dengan ketika ia menggunakan KTP-nya. Beruntungnya, Kartu Keluarga tak cukup banyak digunakan. Paling hanya pada saat-saat penting, terutama pada waktu ada pendataan penduduk. Mungkin untuk keperluan pendataan warga yang layak mendapat bantuan atau lainnya.

Ya sudah, karena sudah menjadi ketelanjuran, Canus hanya bisa menerimanya. Sekalipun itu dianggapnya sebagai kelucuan. Tetapi, apa sebenarnya yang menyebabkan kelucuan ini? Apakah karena pemerintah selaku pengemban amanat negara belum memiliki aturan baku mengenai penjenisan pekerjaan tiap-tiap warga negara? Ataukah karena terlalu banyaknya jenis pekerjaan yang digeluti oleh warga negara yang pada gilirannya membuat pemerintah kebingungan mengidentifikasi dan mendefinisikan pekerjaan itu sendiri? 

Mungkinkah juga karena begitu seringnya tiap-tiap warga negara itu mudah melakukan peralihan pekerjaan, sehingga menyulitkan bagi para pelaksana aturan itu untuk mendatanya tiap saat? Atau barangkali karena banyak warga negara yang secara terselubung menjadi penganggur, sehingga untuk mengurusi masalah demografi yang demikian kompleks itu pemerintah merasa kesulitan? Atau jangan-jangan ada gerak lambat yang amat lamban dilakukan oleh para pemegang kekuasaan itu di dalam menyelesaikan urusan-urusan yang sederhana ini?

Ah! Rasa-rasanya tak bijak jika terlalu banyak penilaian negatif tentang pemerintah. Karena bagaimanapun, keberadaan pemerintah itu perlu dan menjadi penting bagi masyarakat. Setidak-tidaknya, manakala masyarakat memang benar-benar membutuhkannya. Seperti saat mengurus Akta Kelahiran, Kartu Keluarga, KTP, dan sebagainya. Selebihnya, soal bagaimana setiap warga negara menyusun rencana dan mengelola kehidupannya untuk menyongsong nasib, semata-mata urusan yang amat pribadi sifatnya. 

Sebesar apapun kekuasaan yang dibangun oleh sebuah sistem kekuasaan, selama sistem kekuasaan itu masih berada di wilayah akal manusia, tentu tidak akan dapat mengurai persoalan nasib tiap-tiap warganya. Yang paling mungkin dilakukan hanyalah mendata dan mendata. Soal kemudian ada insentif, bantuan, kompensasi, dan lain sebagainya, semata-mata hanya urusan teknis yang sangat praktis. Sebab, memang belum bisa dipastikan ukuran keberhasilan dari hal-hal teknis itu dari wilayah esensi. Yang bisa dievaluasi, diapresiasi, dan diperbaiki umumnya hanya menyangkut bagaimana mengkondisikan. Ukuran fisik, tentunya masih diyakini sebagai ukuran yang valid, karena memang ukuran ini bisa diamati.

Tetapi, bagaimana dengan ukuran batin? Apakah dengan dibangunkannya rumah susun untuk warga itu bisa membahagiakan mereka? Apakah dengan dibangunkannya gedung-gedung sekolah itu bisa membuat warga mampu memahami apa-apa yang dihadapi dan penyikapan atas persoalan-persoalan mereka? Apakah dengan ditambahnya pendingin ruangan bisa membuat para karyawan, baik swasta maupun negeri itu bisa menjamin peningkatan kualitas diri mereka? Belum tentu.

Kualitas diri, kebahagiaan, kedewasaan, dan segala macam yang berkait paut dengan suasana batin tidak bisa diukur hanya dengan hal-hal yang bersifat fisik. Sebab, ukuran fisik itu bersifat fana. Ia sangat terbatas dan sangat mudah berubah-ubah. Maka, tidak heran juga jika ketika ukuran fisik dianggap sebagai parameter dari ukuran batin akan menghasilkan fluktuasi psikis. Kejiwaan seseorang akan mudah naik-turun, pasang-surut. Sifat fana dan kesementaraan yang amat terbatas itu, mestinya tidak ditempatkan sebagai penyebab utama dari kesanggupan diri di dalam memahami diri.

Sebaliknya, ukuran fisik sejatinya yang dipengaruhi oleh ukuran batin. Apa yang tampak kasatmata mestinya menjadi dampak dari yang tak kasatmata. Maka, tidak ada lagi perdebatan panjang mengenai apa yang terpahami oleh tiap-tiap orang. 

Sebab, dalam pemahamanku, perdebatan sejatinya hanya menyoal apa saja yang tercerap oleh indera. Perselisihan paham hanyalah urusan bagaimana seseorang memandang cara orang lain mengenakan pakaian. Tetapi, bukan cara yang diperselisihkan, melainkan soal potongan bajunya, warna bajunya, juga bagaimana baju itu ditampilkan. Sedang yang tak tersentuh oleh indera tak perlu didebat-debatkan lagi. Kita bisa sangat mungkin menjadi keliru memahami atau lebih parahnya gagal memahami yang tidak tampak itu.

Kecerdasan seseorang misalnya, apakah kecerdasan itu sesuatu yang tampak? Mungkin saja ia bisa ditampilkan di depan publik, tetapi apakah tampilan itu yang membuat seseorang dinyatakan cerdas? Sebab, ada kalanya seseorang itu---sekalipun dengan kecerdasannya yang tak tertandingi itu---bisa menjadi tampak bodoh manakala ia tidak mengerti ruang dan waktunya.

Dan untuk mengerti cerdas atau tidaknya seseorang, kali ini Canus akan membuka pikiran kita sejenak. Lewat kisahnya sebagai tukang ojek, Canus mungkin saja sedang menyindir kebodohan kita yang selama ini kita simpan rapat-rapat di ruang rahasia pribadi. Sebab, pada hakikatnya kita senantiasa tidak rela juga dicela orang lain. Apalagi mencela diri sendiri.

Sebagai tukang ojek, Canus adalah orang yang sangat lihai memainkan peran instingnya. Pengalamannya berburu penumpang, telah banyak mengajarinya tentang banyak hal. Peta wilayah yang ia susun, jalur-jalur yang ia urutkan menjadi rute, tidak semata-mata hanya diukur lewat pengetahuan geografisnya. Melainkan pula pada persoalan-persoalan demografi, psikologi, sosiologi, ekonomi, antropologi, dan juga pengetahuan matematisnya. Tetapi, ia juga tak mengabaikan aspek politis. Semua itu dilakukan secara otodidak, lewat observasi yang berbekal pengalaman. Dan dari situlah, Canus memiliki kepekaan saat mengatur strategi.

Canus kenal betul siapa calon penumpangnya. Ia mengerti tipikal tiap-tiap calon penumpangnya, kebiasaan-kebiasaannya, kesukaannya, bahkan apa saja tentang calon penumpangnya. Gosip terbaru tentang calon penumpangnya juga ia ikuti betul. Tak heran jika ia memiliki beribu cara untuk menggaet dan melayani calon penumpangnya. Pokoknya, ia lihai!

Tetapi, di balik kelihaiannya itu, ada kala ia ketiban apes juga. Siang itu, seorang lelaki dengan seragamnya lengkap menghampirinya. Pria berseragam ini tampak lebih muda usianya dibandingkan Canus yang sudah menginjakkan kaki di atas permukaan bumi ini lebih dari 50 tahun lamanya. Ia menunjukkan sikap yang tenang dan berwibawa di hadapan Canus. Lalu, menyapa Canus yang sedang duduk-duduk di atas kendaraannya.

"Selamat siang, Pak," sapa si petugas itu.

Canus pun menyahut, "Siang, Pak."

"Maaf Pak, boleh saya ganggu waktu Bapak sebentar?" kata petugas itu sopan kepada Canus.

Sikap sopan petugas itu pun membuat Canus merasa tak enak hati. Ia pun lantas turun dari kendaraannya. Lalu, mempersilakan si petugas itu. "Mangga, mangga. Barangkali ada yang bisa saya bantu, Pak?" ucap Canus bersungguh-sungguh.

Si petugas ini pun tersenyum melihat polah Canus. Lalu, mulailah ia menjelaskan maksudnya, "Gini, Pak, saya sekadar mengingatkan saja, Bapak tahu kan arti dari lambang rambu-rambu lalu lintas yang ada di belakang Bapak itu?"

Canus pun lantas menengok ke arah rambu-rambu yang terpasang di belakangnya itu. "Oh ya ya, saya tahu, Pak. Itu artinya dilarang markir di sini. Nggih to, Pak?" ujarnya.

"Nah, itu Bapak tahu," ucap si petugas sambil tersenyum ramah. "Dan syukurlah kalau Bapak tahu. Itu artinya Bapak tidak keberatan kan jika Bapak mesti memindahkan kendaraan Bapak dari sini?"

"Lho, salah sepeda motor saya itu apa, Pak? Kok pakai harus dipindah segala?" kilah Canus.

Si petugas ini pun berusaha menjelaskan kesalahan yang dipertanyakan itu, "Karena Bapak sudah melanggar aturan rambu-rambu lalu lintas. Bapak sudah markir kendaraan di tempat yang salah."

"Wah, ngapunten Pak, saya di sini ini, nggak sedang markir kendaraan. Saya itu mangkal di sini, Pak. Bukan markir. Kalau markir biasanya kendaraan ditinggal dan tidak untuk ngangkut orang, Pak. Lha saya kan masih tetap di atas kendaraan saya dan sekali ada yang minta bantuan angkutan saya layani," kilah Canus.

Mendengar jawaban Canus, si petugas agaknya mulai kesal. Lalu, dengan nada yang agak ditinggikan, si petugas ini pun berkata, "Saya tahu, Bapak sedang mangkal di sini. Tapi, parkir kendaraannya mbok jangan di sini. Bisa mengganggu yang lain. Bisa bikin macet jalanan, Pak."

Kontan, Canus pun merasa tersinggung. Apalagi usia si petugas ini jauh lebih muda darinya. Kok berani-beraninya ia mengucapkan kata-kata dengan nada yang agak tinggi. Ini tidak sopan namanya, pikir Canus. Ia pun lantas berkelit, "Lho gimana to ini, ada orang mau cari rejeki kok dibilang ngganggu. Wong nyatanya orang-orang yang biasa langganan pada saya saja malah merasa terbantu kok, Pak. Kok ini malah saya dianggap mengganggu. Aneh."

Kelit Canus kali ini membuat si petugas makin geram. Ia pun tak mau kurang akal. Dimainkanlah perannya sebagai petugas yang merasa punya kuasa untuk melakukan tindakan. Ia pun menantang Canus, "Ya sudah, Bapak saya tilang atau bagaimana?"

Mendengar tantangan itu Canus diam. Di saat bersamaan, si petugas merasa telah mencapai kemenangannya. Sebab, ia berhasil membungkam Canus. Itu artinya, tidak lama lagi, Canus akan nurut.

"Bagaimana, Pak? Tilang?" tanya si petugas ini meyakinkan Canus.

Untuk beberapa saat, Canus tak langsung menjawab iya atau pun tidak. Tetapi, sesaat berikutnya, ia malah bertanya, "Hmmm... kira-kira kalau saya ditilang bisa bikin rejeki saya seret nggak, Pak?"

Di luar dugaan! Pertanyaan itu benar-benar tak diduga-duga oleh petugas yang gagah ini. Tetapi, demi menjaga kewibawaan, petugas ini pun segera harus tanggap menjawab pertanyaan itu. "Soal rejeki, itu semua ada pada ketentuan Gusti Allah, Pak. Jadi tidak ada hubungannya dengan tilang-menilang," katanya.

Lega dengan jawaban itu, Canus kemudian menimpal, "Ya sudah, kalau begitu saya ditilang saja."

Jawaban Canus pun disambut gembira oleh si petugas. Ia merasa menang setelah berdebat deng tukang ojek yang satu ini.

"Nanti urusan rejekinya saya minta sama Gusti Allah, semoga dengan tilang itu rejeki saya makin diperlancar dan dipermudah," lanjut Canus.

Mendengar ucapan itu, petugas yang mulai sibuk dengan secarik kertas untuk diorat-oret itu tersenyum geli. Ia merasa konyol dengan jawaban Canus.

"Lho, Pak? Kok nggak diamini? Kata orang-orang kalau ada yang berdoa itu sebaiknya ikut mengamini loh, Pak," tegur Canus pada petugas yang berdiri di hadapannya itu.

Sebentar si petugas itu menoleh sambil berkata, "Ya sudah, saya amini. Amin.... Gimana?"

"Nah, gitu!" seloroh Canus.

Selesai dengan orat-oretannya, si petugas ini pun segera menyodori Canus kertas tilang, "Nah, ini surat tilangnya, Pak."

"Wah, saya sudah tidak lagi butuh surat tilang itu, Pak. Jawaban amin Bapak sudah cukup buat saya. Dan ini kendaraan saya, silakan Bapak bawa saja. Buat Bapak," setelah mengatakan itu, Canus beringsut meninggalkan petugas itu tanpa beban. Tanpa menengok lagi ke arah petugas yang kebingungan dengan sikap Canus. Malah, petugas itu clingukan, nggak ngerti apa yang mesti ia perbuat dengan motornya Canus.

Ya ya, Canus mungkin sedang mencoba membuka mata batin kita. Mengetuk pintu-pintu kesadaran agar kita kembali membuka catatan yang lama telah kita tinggalkan. Membacanya lagi dengan sungguh-sungguh. Bahwa selama ini mungkin saja sedang menjalani kehidupan yang meninggalkan hakikat kehidupan itu sendiri. Kita begitu repot mempertahankan apa-apa yang dirasa sebagai milik kita. Harta benda, jabatan, pangkat, pekerjaan, dan sebagainya betapa telah melenakan kita dari hakikat. 

Lantas, kita menjadi mudah tersinggung, marah, dan tidak terima jika apa-apa yang dirasa menjadi milik kita itu diusik. Bahkan, bila perlu kita sampaikan kepada khalayak tentang apa-apa yang dirasa sebagai milik kita itu. Tentu, harapannya adalah agar orang lain pun mengakui kepemilikan kita terhadap apa-apa yang dirasa sebagai milik kita itu. Dan paling konyolnya lagi, ketika apa yang kita miliki itu raib atau hancur, kita pun akan mengatakan kepada semua orang tentang peristiwa apa yang menyebabkan raib dan hancur itu.

Ya, betapa repotnya kita.

Bahkan, di wilayah yang lebih sensitif, klaim-klaim kepemilikan juga masih berlaku. Misalnya, kebenaran. Kita kerap tak sadar, bahwa kita ini kerap membuat klaim atas kebenaran. Kita merasa bahwa kebenaran adalah milik kita. Sementara kebenaran orang lain, kebenaran yang berbeda, dianggap sebagai sesuatu yang keliru, sesuatu yang salah. Kita lupa, bahwa sesungguhnya kebenaran itu milik Gusti Allah. Maka, hak manusia adalah menerima petunjuk kebenaran dari Gusti Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Jika demikian, kebenaran adalah kuasa-Nya, bukan wilayah kekuasaan kita sebagai makhluk-Nya.

Sebab itu, yang paling bisa dilakukan adalah memasrahkan diri kepada-Nya. Bertanya tentang kebenaran mana yang akan ditimpakan kepada kita. Tetapi, tak perlu menilai-nilai kebenaran orang lain.

Tetapi, kenyataan kerap menjebak kita. Bukannya sibuk menanyakan kebenaran apa yang akan menimpa, kita malah sibuk menilai orang lain. Padahal, peristiwa mi'raj-nya Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w., tatkala Beliau diharuskan bolak-balik menghadap Gusti Allah untuk bertanya dan menawar jumlah rakaat salat yang akan diamanatkan kepada Beliau dan selanjutnya diteruskan kepada umatnya itu adalah sebuah tanda bagi umat manusia agar mereka memilih untuk sibuk menanyakan kebenaran-kebenaran Gusti Allah. Begitu pula dengan peristiwa nabi Ibrahim, Musa, Nuh, dan semua nabi yang pernah diturunkan dan diutus oleh Gusti Allah untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran-Nya.

Kebenaran Tuhan jelas tak bisa ditolak, tetapi masih ada ruang-ruang untuk didialogkan. Sebagai hamba, manusia diberi hak untuk melakukan dialog itu kepada Tuhannya. Bahkan, Tuhan lebih senang jika ada seorang hamba yang suka mengajak-Nya dialog. Tetapi, Tuhan tidak begitu suka dengan sikap hamba-Nya yang justru sibuk menuding sana-sini sebagai pihak yang salah.

Kepasrahan Canus adalah bentuk dialog itu. Apakah ia akan menerima kebenaran yang tidak diinginkannya, bukanlah urusan yang mesti ditakuti. Canus tahu persis proporsi manusia sebagai hamba. Ia tak mungkin melanggar porsi itu sekalipun sebenarnya bisa saja dilakukan. Tetapi, ia tidak ingin melakukannya. Bagi Canus, cukuplah Gusti Allah yang jadi penolongnya. Jika memang tertolong, ia akan selamat. Jika tidak, maka sesungguhnya ada pelajaran baik yang sedang diajarkan Tuhan kepadanya.

Ah, sepertinya aku sendiri pun harus memburu Canus. Di mana Canus berada sekarang? Ada banyak hal yang ingin aku pelajari darinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun