Lantas, kita menjadi mudah tersinggung, marah, dan tidak terima jika apa-apa yang dirasa menjadi milik kita itu diusik. Bahkan, bila perlu kita sampaikan kepada khalayak tentang apa-apa yang dirasa sebagai milik kita itu. Tentu, harapannya adalah agar orang lain pun mengakui kepemilikan kita terhadap apa-apa yang dirasa sebagai milik kita itu. Dan paling konyolnya lagi, ketika apa yang kita miliki itu raib atau hancur, kita pun akan mengatakan kepada semua orang tentang peristiwa apa yang menyebabkan raib dan hancur itu.
Ya, betapa repotnya kita.
Bahkan, di wilayah yang lebih sensitif, klaim-klaim kepemilikan juga masih berlaku. Misalnya, kebenaran. Kita kerap tak sadar, bahwa kita ini kerap membuat klaim atas kebenaran. Kita merasa bahwa kebenaran adalah milik kita. Sementara kebenaran orang lain, kebenaran yang berbeda, dianggap sebagai sesuatu yang keliru, sesuatu yang salah. Kita lupa, bahwa sesungguhnya kebenaran itu milik Gusti Allah. Maka, hak manusia adalah menerima petunjuk kebenaran dari Gusti Allah sesuai dengan kehendak-Nya. Jika demikian, kebenaran adalah kuasa-Nya, bukan wilayah kekuasaan kita sebagai makhluk-Nya.
Sebab itu, yang paling bisa dilakukan adalah memasrahkan diri kepada-Nya. Bertanya tentang kebenaran mana yang akan ditimpakan kepada kita. Tetapi, tak perlu menilai-nilai kebenaran orang lain.
Tetapi, kenyataan kerap menjebak kita. Bukannya sibuk menanyakan kebenaran apa yang akan menimpa, kita malah sibuk menilai orang lain. Padahal, peristiwa mi'raj-nya Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w., tatkala Beliau diharuskan bolak-balik menghadap Gusti Allah untuk bertanya dan menawar jumlah rakaat salat yang akan diamanatkan kepada Beliau dan selanjutnya diteruskan kepada umatnya itu adalah sebuah tanda bagi umat manusia agar mereka memilih untuk sibuk menanyakan kebenaran-kebenaran Gusti Allah. Begitu pula dengan peristiwa nabi Ibrahim, Musa, Nuh, dan semua nabi yang pernah diturunkan dan diutus oleh Gusti Allah untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran-Nya.
Kebenaran Tuhan jelas tak bisa ditolak, tetapi masih ada ruang-ruang untuk didialogkan. Sebagai hamba, manusia diberi hak untuk melakukan dialog itu kepada Tuhannya. Bahkan, Tuhan lebih senang jika ada seorang hamba yang suka mengajak-Nya dialog. Tetapi, Tuhan tidak begitu suka dengan sikap hamba-Nya yang justru sibuk menuding sana-sini sebagai pihak yang salah.
Kepasrahan Canus adalah bentuk dialog itu. Apakah ia akan menerima kebenaran yang tidak diinginkannya, bukanlah urusan yang mesti ditakuti. Canus tahu persis proporsi manusia sebagai hamba. Ia tak mungkin melanggar porsi itu sekalipun sebenarnya bisa saja dilakukan. Tetapi, ia tidak ingin melakukannya. Bagi Canus, cukuplah Gusti Allah yang jadi penolongnya. Jika memang tertolong, ia akan selamat. Jika tidak, maka sesungguhnya ada pelajaran baik yang sedang diajarkan Tuhan kepadanya.
Ah, sepertinya aku sendiri pun harus memburu Canus. Di mana Canus berada sekarang? Ada banyak hal yang ingin aku pelajari darinya.