Tentu, sebagian banyak orang akan sepakat, bahwa udara pagi itu menyegarkan dan sejuk. Ya kan? Kalaupun ada yang bilang tidak, mungkin paginya sedang bermasalah. Atau, ia bangun kesiangan. Jadi, nggak sempat menikmati udara pagi. Atau juga, karena ia tinggal di sebuah kampung yang padat di pinggiran kota dan di dekat kampungnya ada tempat pembuangan sampah. Jadi, udara segar dan sejuk bisa saja hanya irisan tipis dari mimpi yang tak pernah bisa ia kunyah.
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada siapa pun, saya kira semua harus sepakat kalau udara pagi itu segar dan sejuk. Supaya tulisan ini seolah-olah punya nyawa. Setidaknya meniru apa yang kerap muncul di cerpen-cerpen atau novel-novel yang ditulis oleh para pendamba udara pagi yang sejuk dan segar, dengan titik-titik embun yang melekat di daun-daun.
Oke, klir. Sampai di sini, saya kira para pembaca sudah sepakatlah ya, bahwa udara pagi itu segar dan sejuk. Nah, sekarang bagaimana dengan suasana pagi?
Sebelum Anda memiliki jawaban yang tidak sama satu dengan yang lain, saya kembali harus memaksa Anda untuk menyepakati, bahwa suasana pagi itu menyenangkan dan membahagiakan. Lagi-lagi, pemaksaan ini terpaksa saya lakukan supaya di dalam imajinasi Anda tergambar bagaimana suasana pagi yang menyenangkan. Oke?
Baiklah. Selanjutnya, seperti yang mungkin sudah Anda tebak, saya ingin membuat udara dan suasana pagi itu tidak sama dengan yang tadi saya minta Anda sepakati. Ya, pagi itu mendadak tidak menyenangkan sama sekali. Dipenuhi polusi suara dan polusi udara, hingga burung-burung enggan terbang dan kicauannya tak terdengar.
Yang terdengar hanya sebuah suara sumbang dari pemilik nama Dulmangap. Seorang jejaka yang setelah mendapatkan gelar sarjana masih juga belum bisa move on dari acara wisuda. Ia masih kerap mengenang ketika namanya dipanggil oleh petugas. Tergopoh-gopoh ia menuju panggung. Begitu sampai di depan rektor, ia langsung menunduk dan tali ekor topi sarjana yang dikenakannya diraih pak rektor untuk dialihkan ke sisi kanan.
Peristiwa itu membuatnya begitu bangga. Sebab, itu kali pertama ia berhadapan langsung dan dekat dengan pak rektor. Plus, dapat salaman pula!
Seumur-umur, ia tak pernah mengalami itu. sejak awal masuk kuliah, hingga jelang hari kelulusannya, ia tak pernah bertemu langsung dengan pak rektor. Apalagi sedekat itu. Malah, nama rektornya pun masih terdengar asing di telinganya.
Lamat-lamat ia pernah mendengar nama iu. Tetapi, saking banyaknya yang mesti ia ingat selama mengikuti perkuliahan, lambat laun nama pak rektor ia lupakan. Sebab, tak pernah masuk dalam soal ujian akhir semester. Sekalinya ingat, saat ia menyusun skripsi. Nama itu dicantumkan dalam kata pengantar. Itu pun berkat copas dari skripsi teman seangkatan.
Sekarang, setelah tak lagi bisa dihitung lamanya bulan ia meloloskan diri dari kampus, ia rupanya masih menekuni iklan-iklan lowongan pekerjaan. Ya, pekerjaannya saat ini adalah membaca iklan-iklan lowongan pekerjaan. Entah itu di koran, majalah, lebih-lebih di media sosial. Lalu, menyeleksi iklan yang bakal ia tindaklanjuti dengan mengirim surat lamaran.