Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sastra yang Diasingkan dari Bangku Sekolah

21 Mei 2023   23:57 Diperbarui: 24 Mei 2023   02:23 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari belakangan saya mengisi kelas menulis puisi di Sogan Institute. Pesertanya, terdiri atas siswa-siswi SMA kelas 10. Jumlahnya ratusan.

Untuk alasan itu, pembelajaran di Sogan Institute dibagi ke dalam beberapa kelompok belajar. Tiap kelompok dibatasi jumlah pesertanya paling banyak 10 orang, sehingga kelompok belajar yang dibentuk pun sampai 10 kelompok lebih. Tersebab itu, saya tidak mengajar sendirian.

Ada dua orang mentor dari Sogan Institute yang turut mengisi kelas, yaitu Ahmad Samuel Jogawi dan Tri Hono. Jadi, jumlah mentornya ada tiga orang. Masing-masing mendapat jatah 6 kelompok belajar yang diampu.

Sistem ini sengaja kami terapkan agar pembelajaran berjalan efektif dan dapat diikuti secara saksama. Selain itu, kami juga dapat memantau perkembangan tiap-tiap peserta. Juga dapat memberikan bimbingan yang lebih optimal kepada mereka.

Hari Minggu, tepat sehari setelah peringatan Hari Kebangkitan Nasional tahun 2023, menjadi hari belajar bagi kelompok belajar paling ujung yang saya ampu.

Seperti biasa, di awal pertemuan saya akan menanyakan ihwal pengetahuan masing-masing peserta tentang apa itu puisi. Tidak lupa saya tanyakan pula pengalaman mereka tentang menulis atau membaca puisi.

Mengapa itu perlu kami tanyakan? Tujuannya, tak lain agar bobot materi yang kami sampaikan tepat sasaran dan tidak membuat seluruh peserta merasa terbebani. Dan, sudah menjadi kebiasaan di Sogan Institute, penyampaian materi dan rumusan-rumusan yang diberikan mengenai menulis puisi akan dibawakan dengan cara ringkas, tidak bertele-tele, dan dapat dipraktikkan.

Meski begitu, kami juga memberikan pengetahuan tentang puisi sebagai dasar pijakan. Teori mengenai puisi kami sajikan di awal. Begitu pula dengan sejarah perkembangan puisi, kami sajikan sebagai bahan untuk memperkaya wawasan mereka. Tak lupa pula kami sajikan pula pengalaman-pengalaman unik dan menarik di bidang perpuisian untuk memancing antusias mereka.

Dan, sudah menjadi tradisi di Sogan Institute, metode pembelajaran yang diberlakukan adalah metode dialogis. Semua orang diberi kesempatan untuk berbicara secara bergantian. Mengungkap pengetahuan atau ingatan masing-masing mengenai yang sedang dipelajari.

Melalui metode inilah pada akhirnya saya mengetahui banyak hal tentang dunia pendidikan yang mereka alami belakangan. Terutama, ketika saya tiba-tiba menanyakan nama salah seorang begawan sastra Indonesia, mendiang W.S. Rendra. "Ada yang pernah mendengar nama beliau?" tanya saya.

Seluruh peserta dari seluruh kelompok belajar yang saya ampun memiliki jawaban yang seragam. Yaitu "tidak" dan gelengan kepala pelan dengan tatapan yang memang kosong. Artinya, mereka benar-benar tidak pernah mengetahui nama itu.

"Bagaimana dengan nama Chairil Anwar?" tanya saya lagi.

Pun pertanyaan itu. Jawaban mereka masih sama. Tidak lebih, tidak kurang.

"Taufik Ismail? Goenawan Muhamad? Sutardji Chalzoum Bachri? Atau sebutkan satu nama saja deh yang pernah Anda dengar," lanjut saya.

Ternyata, jawabannya masih tidak bergeser.

"Lalu, apa yang teman-teman peroleh selama ini?" tanya saya.

Salah seorang dari mereka menjawab, "Tidak ada, Kak. Kami kan belajarnya daring. Jadi, materi yang diberikan teramat sedikit. Waktu belajar pun tidak terlalu banyak."

"Tapi kan teman-teman masih bisa browsing kan? Searching apa-apa saja yang perlu diketahui tentang puisi. Iya kan?" gugat saya.

"Iya sih. Cuma kami browsing itu ya sesuai dengan tugas yang diberikan guru. Selebihnya, kami nggak ngulik lebih dalam lagi, Kak," jelas salah seorang peserta.

Sambil menepuk jidat, saya berseru, "Ampun! Jadi, selama duduk di bangku SMP kalian tak cukup diajarkan mengenai sastra? Mengenai puisi? Mengenai cerpen, novel, roman, dan lain-lain? Juga mengenai apa itu drama?"

Mereka mengangguk. Kompak.

Fix! Dunia kesusasteraan telah diasingkan dari bangku sekolah! Pikir saya saat mendengar penjelasan mereka.

Mengapa saya katakan fix? Karena sebelum mereka dipertemukan dalam satu ruang kelas di almamater mereka yang sekarang, mereka berasal dari berbagai SMP.

Memang, tidak bisa penjelasan itu digeneralisasikan. Bisa saja penjelasan itu hanya dialami oleh yang bersangkutan. Akan tetapi, bagaimana jika keterangan yang diberikan berlaku sama pada tiap kelompok belajar?

Pertanyaannya kemudian, mengapa hal itu bisa terjadi dan dialami seluruh siswa kelas 10 SMA itu? Apakah karena pengajaran sastra tidak lagi diperlukan? Ataukah karena pengajaran sastra dirasa tidak terlalu praktis? Lalu, kemana penelitian-penelitian yang telah disusun oleh para akademisi bidang ilmu sastra yang kerap menyuguhkan topik-topik pembelajaran sastra di sekolah? 

Adakah penelitian-penelitian itu termanfaatkan? Atau sekadar jadi pajangan yang memenuhi rak-rak buku perpustakaan kampus? Atau pula sekadar jadi "sampah" yang melayang-layang di jurnal-jurnal ilmiah online yang notabene dijadikan syarat utama bagi para dosen dan guru untuk mendapatkan pengakuan dari negara tentang keprofesionalan mereka?

Saya benar-benar belum mengerti bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Yang saya rasakan, hanya keprihatinan. Bagaimana di kemudian hari, anak-cucu kita belajar tanpa mengerti pentingnya mempelajari sastra. Saya tak bisa membayangkan, jika kelak mereka tumbuh menjadi manusia yang kehilangan kisah-kisah. 

Padahal, dalam teori yang disepakati oleh banyak ilmuwan di dunia menyebutkan, bahwa manusia adalah makhluk pengisah. Manusia memerlukan kisah. Manusia memerlukan cerita. Agar pertumbuhan dan kematangan berpikir mereka tidak terlepas dari pertalian sejarah asal-usul mereka. Bahkan, dalam setiap kitab suci agama apapun, kisah-kisah itu diceritakan dan dituliskan dalam bahasa yang sastrawi.

Akankah mereka yang sekarang tengah tumbuh didewasakan oleh ruang-ruang kelas sekolah itu kehilangan kisah-kisah itu? Lalu, bagaimana jadinya mereka kelak?

Mari kita renungkan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun