Saya sepakat, sebaiknya sebuah lagu memang tak perlu diantar oleh kisah di balik pembuatan lagu itu. Biarkan saja nada-nada itu tertangkap telinga dan menggema di dalam relung hati para penikmatnya. Lalu, biarkan pula nada-nada itu merasuk ke dalam batin mereka.
Dan, saya juga sepakat bahwa nyanyian pada dasarnya menjadi media yang paling ampuh untuk menyisipkan pikiran, pesan, dan perasaan. Ia adalah sesuatu yang kompleks. Tak heran jika sejumlah filsuf Yunani Kuno menempatkan musik sebagai studi yang sangat penting.
Pythagoras percaya, musik tunduk pada hukum matematika. Bahkan, bertalian pula dengan mekanika kosmos, yang kemudian berkembang sebagai musik bola. Pemikiran ini juga dapat dibaca melalui pandangan Aristoxenus. Ia menulis sejumlah risalah musikologi. Aristoxenus percaya, interval harus dinilai dengan telinga dan bukan rasio matematika.
Hal serupa juga dikembangkan oleh para filsuf Islam di kemudian hari. Al Farabi misalnya. Ia bahkan dikenal sebagai Bapak Musik di dunia Islam. Secara khusus, ia menulis sebuah kitab berjudul Kitab Al Musiqi. Buku ini pula yang kemudian dijadikan rujukan bagi pengembangan musik klasik Barat.
Belum lagi Imam Al Ghazali. Dalam Kitab Ihya Ulumiddin, Al Ghazali menyebutkan, "Orang yang jiwanya tak tergerak oleh semilir angin, bunga-bunga, dan suara seruling musim semi, adalah dia yang kehilangan jiwanya yang sulit terobati".
Baiklah, agar anda tidak terlalu penasaran, silakan nikmati lagu "Seperti Cinta Ini" yang dibawakan oleh kelompok musik Ujung Kuku. Kira-kira, akan dibawa kemana jiwa Anda dengan alunan nadanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H